08 September 2009

PARA FILSUF JAMAN HELLENISTIS (Jaman Yunani-Romawi)

(Pokok Bahasan VIII)

PENGERTIAN HELLENISME

Istilah Helenisme adalah istilah modern yang diambil dari bahasa Yunani kuno hellenizein yang berarti “berbicara atau berkelakuan seperti orang Yunani” (to speak or make Greek).

Penggunaan Istilah Hellenisme

Helenisme Klasik: Yaitu kebudayaan Yunani yang berkembang pada abad ke-5 dan ke-4 SM. Helenisme Secara Umum: Istilah yang menunjuk kebudayaan yang merupakan gabungan antara budaya Yunani dan budaya Asia Kecil, Syiria, Mesopotamia, dan Mesir yang lebih tua.

Rentang Waktu Masa Hellenis

Lama periode ini kurang lebih 300 tahun, yaitu mulai 323 SM (Masa Alexander Agung atau Meninggalnya Aristoteles) hingga 20 SM (Berkembangnya Agama Kresten atau Jaman Philo)

Tentang Hellenisme

1. Helenisme ditandai dengan fakta bahwa perbatasan antara berbagai negara dan kebudayaan menjadi hilang. Kebudayaan yang berbeda-beda yang ada pada jaman ini melebur menjadi satu yang menampung gagasan-gagasan agama, politik, dan ilmu pengetahuan.
2. Secara umum, ditandai dengan keraguan agama, melarutnya kebudayaan, dan pesimisme.

Fenomena Hellenisme

Dalam Konteks Agama
Ciri umum pembentukan agama baru sepanjang periode Helenisme adalah muatan ajaran mengenai bagaimana umat manusia dapat terlepas dari kematian. Ajaran ini sering kali merupakan rahasia. Dengan menerima ajaran dan menjalankan ritual-ritual tertentu, orang yang percaya dapat mengharapkan keabadian jiwa dan kehidupan yang kekal. Suatu wawasan menyangkut hakikat sejati alam semesta dapat menjadi sama pentingnya dengan upacara agama untuk mendapatkan keselamatan.

Dalam Konteks Filsafat
Filsafat bergerak semakin dekat ke arah ‘keselamatan’ dan ketenangan. Filsafat juga harus membebaskan manusia dari pesimisme dan rasa takut akan kematian. Dengan demikian batasan antara agama dan filsafat lambat laun hilang.
Secara umum, filsafat Helenisme tidak begitu orisinal. Tidak ada Plato baru atau Aristoteles baru yang muncul di panggung. Sebaliknya, ketiga filsuf besar itu menjadi sumber ilham bagi sejumlah aliran filsafat yang akan kita kemukakan secara ringkas setelah ini.

Dalam Konteks Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan Helenistik pun terpengaruh oleh campuran pengetahuan dari berbagai kebudayaan. Kota Alexandria memainkan peranan penting di sini sebagai tempat pertemuan antara Timur dan Barat. Sementara Athena tetap merupakan pusat filsafat yang masih menjalankan ajaran-ajaran filsafat Plato dan Aristoteles, Alexandaria menjadi pusat ilmu pengetahuan. Dengan perpustakaannya yang sangat besar, kota itu menjadi pusat matematika, astronomi, biologi, dan ilmu pengobatan.

Para Filsuf Jaman ini

A. EPIKUROS: “Kenikmatan adalah Awal dan Akhir Hidup yang Bahagia

Baginya, tujuan hidup ini adalah untuk mencapai kebahagiaan. Sesuatu dapat dianggap bahagia bila itu terkait dengan KENIKMATAN. Karena segala macam keutamaan hanya akan mempunyai arti sejauh membawa orang pada rasa nikmat.

Apa yang dimaksud rasa nikmat oleh Epikuros?

Kenikmatan, baginya, diartikan sebagai keadaan negatif; yaitu tidak adanya rasa sakit dan kegelisahan hidup. Kenikmatan ini tentunya mencakup kenikmatan indrawi dan batin/ketenangan jiwa (ataraxia). Dan epikuros memberikan prioritas pada kenikmatan yang terakhir.

Untuk mencapai ketenangan jiwa ini, Epikuros menganjurkan:
1. Agar orang menjauhkan diri dari kesibukan ber polis karena kegiatan ini berisiko tinggi terhadap ketenangan jiwa. Berkumpul dengan sahabat-sahabat karib dan membina hubungan dengannya jauh lebih menguntungkan dan membantu kita mencapai ketenangan jiwa.
2. Mengusahakan sikap ugahari dan menahan diri dalam memuaskan kenikmatan indrawi yang sementara. Atau dengan kata lain, orang harus pandai melakukan kalkulasi kenikmatan, dan juga rasa sakit, dengan berpatokan pada kenikmatan jangka panjang yang akan diraih dikemudian hari.

B. ZENON (333-262 SM)Tujuan Terakhir Adalah Hidup Sesuai Dengan Alam

Zenon adalah pendiri madzhab Stoa (Stoisisme) yang berseberangan pahamnya dengan Epikuras.

Bermula dari rasa takjubnya pada segala keteraturan dan keindahan dunia, seluruh fondasi filsafatnya dibangun.

Dalam keyakinannya, keteraturan dunia yang menakjubkan ini bukanlah suatu kebetulan belaka melainkan sesuai dengan rencana bijaksana dari logos. (logos: dalam ajaran Stoa miliki arti tidak hanya rasio manusia tapi juga rasio dunia yang kreatif yang sejajar dengan Allah, Zeus,) Ajaran ini selanjutnya disebut panteisme, yakni pandangan bahwa Allah dan Alam merupakan kenyataan yang satu dan sama.

Berdasarkan pandangan di atas, maka apa yang ditentukan oleh logos haruslah diusahakan dan diikuti oleh manusia.

Dalam konsep etikanya; “Manusia hendaknya mengikuti saja suratan takdir dan penentuan alam baginya. Dengan demikian, ia akan mencapai harmoni dengan alam yang akan membawanya kepada kebahagiaan (eudaimonia).

Jadi, hukum alam harus ditaati terlepas dari perasaan senang atau tidak, menguntungkan atau merugikan, mengenakkan atau menjengkelkan. Soalnya bagi Zenon, kebahagiaan terletak dalam tekad keras menjalankan kewajiban demi hukum alam yang objektif, bukan demi perasaan atau selera subjektif orang perorang.

C. PLOTINUS(204-270 SM): "Yang Esa"

Plotinus adalah filsuf pada puncak jaman Yunani Kuno yang merangkum dan mensintesakan dari berbagai aliran filosofis pada masanya, termasuk aliran pemikiran filsafat timur (persia dan India). Namun karena inspirasi utama filsafat Plotinus adalah pemikiran Plato, maka filsafatnya disebut NEO-PLATONISME.

Pada pokoknya, seluruh sistem filsafat Plotinus berpusat pada Yang Esa (to hen atau the one), yang terkadang juga ia sebut sebagai Yang Baik.

YANG ESA dalam pandangan Plotinus adalah kenyataan atau realitas negatif. Yaitu, Yang Esa tidak dapat dibicarakan, tidak dapat dipikirkan, dan tidak dapat diidentifikasikan. Ia bukan sesuatu dan bukan roh. Yang Esa yang Yang Esa. Tanpa atribut apapun.

Menurut Plotinus, Semua yang ada berasal dari dan menuju kepada Yang Esa. Ia adalah dan tujuan segala sesuatu. Dalam menjelaskan proses berasal dan menuju kepada Yang Esa ini, Plotinus menggunakan konsep Emanasi pelimpahan).

Mengenai Emanasi ini, Muhammad Hatta melukiskan demikian:
Yang Esa (The One) itu adalah sumber semuanya, tetapi tidak mengandung di dalamnya satu pun dari barang yang banyak (makhluk). Dasar yang banyak tidak mungkin yang banyak itu sendiri, dasar yang banyak adalah Yang Esa. Di dalam Yang Esa itu yang banyak belum ada, sebab di dalam-Nya yang banyak itu tidak ada, tetapi yang banyak itu datang dari Dia. Karena Yang Esa itu sempurna, tidak memerlukan apa-apa, tidak memiliki apa-apa, maka beremanasilah dari Dia yang banyak itu. Di dalam filsafat klasik Yang Asal itu dikatakan sebagai Yang Bekerja atau sebagai Penggerak Pertama. Di situ selalu dikemukakan dua hal yang berlawanan, seperti yang bekerja dan yang dikerjakan, idea dan benda, pencipta dan ciptaan. Penggerak Pertama itu berada di luar alam nyata, sifatnya transendens.
Sementara yang berkaitan dengan konsep emanasinya Plotinus, Hatta menjelaskan lebih lanjut:
... Tidak ada (dua hal) yang bertentangan. Padanya alam ini terjadi dari Yang Melimpah, yang itu tetap menjadi bagian dari Yang Melimpah itu. Bukan Tuhan berada di dalam alam, melainkan alam berada di dalam Tuhan. Hubungannya sama dengan hubungan benda dengan bayangannya. Makin jauh yang mengalir itu dari Yang Asal, makin tidak sempurna ia. Alam ini bayangan Yang Asal, tetapi tidak sempurna, tidak lengkap, tidak cukup, tidak sama dengan Yang Asal. Kesempurnaan bayangan itu bertingkat menurut jaraknya dari Yang Asal. Sama dengan cahaya, semakin jauh dari sumber cahaya, semakin kurang terangnya

03 September 2009

JAMAN PENCERAHAN (AUFKLARUNG)

(Pokok Bahasan XI)

PENCERAHAN

(Aufklärung, Jerman; Enlightenment, Inggris; eclaircissement, Prancis) berlangsung selama abad ke-17 dan ke-18.

Pada abad ini terjadi dua peristiwa penting, yaitu: The Glorious Revolution di Inggris tahun 1688 dan Revolusi Prancis tahun 1789.

sapare aude !
beranilah berpikir sendiri

Semboyan di atas menandai dimulainya jaman pencerahan. Immanuel Kant (1724-1804) menegaskan bahwa “pencerahan” merupakan sikap pembebasan manusia dari ke-tidak-dewasa-an (unmündigkeit) akibat kesalahannya sendiri.

Kesalahan itu terletak dalam keengganan atau ketidak-inginan manusia untuk memamfaatkan rasionya; orang lebih suka berpaut pada otoritas lain di luar dirinya (wahyu ilahi, nasihat para ahli, otoritas agama, atau negara).

Keyakinan pencerahan akan masa depan yang cerah mendapat dukungan kuat dari ilmu pengetahuan yang berkembang pesat kala itu, terutama ilmu pengetahuan alam dan teknik. Misalnya di Inggris, muncullah Isaac Newton (1643-1727) dengan hukum gravitasinya yang tidak mengijinkan segala macam spekulasi atau hipotesis atas fenomena dunia, melainkan menjamin kepastian. Hypotheses non fingo.

Di kalangan penyair, Newton dipuja sebagai pembawa terang: Nature and nature’s laws lay hid in night. God said, “Let Newton be!” and all was light. (Pada awalnya alam dan hukumnya tersembunyi dalam kegelapan malam. Allah berfirman “Jadilah Newton !”, maka segala sesuatunya menjadi terang).

PENCERAHAN DI TIGA KAWASAN PENTING

1. Inggris

Dalam wilayah sosial-politik, dihasilkanlah naskah-naskah penting yang menjamin kebebasan warga, mislahnya Habeas Corpus (1679) yang menetapkan bahwa seorang tahanan harus dihadapkan kepada seorang hakim dalam waktu tiga hari dan diberi tahun atas tuduhan apa ia ditahan. Hal ini menjadi dasar prinsip hukum bahwa seseorang hanya boleh ditahan atas perintah hakim.

Dalam ranah lainnya, Undang-undang Pers tahun 1693 menjamin kebebasan berpendapat bagi segenap warga. Ini berarti bahwa setiap orang memiliki hak untuk mengajukan kritik terhadap otoritas gereja atau negara tanpa perlu merasa takut. John Locke (1632-1704) mendesak agar dalam pemerintahan perlu ada pembagian kekuasaan dan memberikan jaminan atas hak kelompok minoritas mengadakan oposisi.

2. Prancis

Pencerahan di Prancis berlangsung secara liberal dan radikal –dengan sentimen anti-Gereja. Voltaire (1694-1778) menyerukan pemusnahan gereja “Ecrasez l’infâme !” (luluh lantakkan yang buruk). Contoh lainnya, adalah pendirian patung Dewi Rasio di dalam katedral Notre Dame, tahun 1793.

Puncaknya adalah manakala Prancis mencapai Revolusi Prancis yang diawali dengan penyerbuan penjara Bastille, tempat para tahanan politik dikurung, tanggal 14 Juli 1789.

3. Jerman

Pencerahan di Jerman lebih fokus pada persoalan moral dan upaya untuk menemukan hubungan antara rasio dan agama.

Gotthold Ephrain Lessing (1729-1781) dalam bukunya Pendidikan Bangsa Manusia melihat bahwa dengan dorongan semangat Pencerahan kelak akan tiba suatu jaman ketika kebenaran-kebenaran wahyu Allah dalam kitab suci akan digantikan dengan kebenaran-kebenaran berdasarkan akal budi, suatu jaman ketika orang “melakukan yang baik, karena hal itu adalah sesuatu yang baik, bukan karena adanya semacam ganjaran yang datang daripadanya”

Suatu ‘otonomi manusia’ menjadi proyek besar di sini. Suatu otonomi dalam berpikir dan menentukan tindakannya sesuai dengan prinsip-prinsip yang ia yakini sebagai sesuatu yang baik, benar, dan tahan uji.

Hal ini pulalah yang kita dapati dalam filsafatnya Kant. Bagi Kant, sudah tiba saatnya untuk menyatakan bahwa akal budi manusia adalah ukuran dan prinsip untuk segala-galanya; untuk apa saja yang ia ketahui (segi epistemologi), untuk apa saja yang ia perbuat (segi moral), dan untuk apa saja yang ia harapkan (segi teleologis).
Pandangan Kant di atas, mengarah pada ‘subjektivitas’ manusia. Berkat rasionya, sang ‘Aku’ menjadi pusat pemikiran, pusat pengetahuan, pusat perasaan, pusat kehendak, dan pusat tindakan sehingga manusia bukan lagi sebagai viator mundi (peziarah di dunia), melainkan sebagai faber mundi (pembuat dunia).

PARA FILOSOF JAMAN PENCERAHAN

Terdapat dua aliran filsafat yang saling bertentangan pada jaman ini, yaitu rasionalisme dan empirisme.

RASIONALISME

(Khususnya di Prancis dan Jerman) adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa sumber pengetahuan sejati adalah akal budi atau rasio, bukan pengalaman. Pengalaman hanya dapat dipakai untuk menegaskan pengetahuan yang telah didapatkan dari rasio. Rasio sendiri tidak memerlukan pengalaman; ia dapat menurunkan kebenaran-kebenaran dari dirinya sendiri berdasarkan asas-asas yang pasti. Metode kerjanya bersifat deduktif. Contohnya Matematika.

PARA FILSUF RASIONALISME

Para filsuf Rasionalisme sepakat bahwa rasio manusia mampu mengenal dan menjelaskan seluruh realitas berdasarkan asas atau prinsip pertama. Hanya mereka tidak sepakat mengenai jumlahnya. Menurut Descartes, prinsip pertama itu memiliki dua (atau lebih tepat tiga) substansi. Adapun Spinoza mengatakan hanya ada satu substansi. Sementara Leibniz mengatakan ada banyak substansi yang disebutnya sebagai monade.

Descartes: “Cogito, ergo sum

Rene Descartes (Nama Latinnya, Renatus Cartesius, 1596-1650) dijuluki Bapak Filsafat Modern.

Filsafat Descartes berawal dari satu pertanyaan: Apakah ada metode yang pasti sebagai dasar untuk melakukan refleksi filosofis? Untuk menjawabnya, Descartes melakukan apa yang kemudian dinamakan sebagai sikap keragu-raguan radikal. Ia menganggap bahwa segala sesuatu yang ada hanyalah tipuan, dan tidak ingin menerima apapun sebagai ssesuatu yang benar, jika kita tidak memahaminya secara jelas dan terpisah. Hanya yang bisa dipahami dengan jelas dan terpisah itulah yang menjadi norma untuk menentukan kepastian dan kebenaran.

Namun, jika segala sesuatu diragukan keberadaannya, ada satu hal yang sama sekali tidak bisa diragukan lagi sehingga harus diterima secara mutlak, yakni kenyataan bahwa Aku yang sedang meragukan segala sesuatu ini ada! Orang bisa menyangkal segala sesuatu, namun ia tidak bisa menyangkal keberadaan dirinya sendiri. “Saat aku mencermati dan berpikir bahwa segala sesuatu adalah salah…, pada saat itu aku menyadari kebenaran ini:
“Aku berpikir, maka aku ada”. Kebenaran ini tampak sangat jelas dan pasti, sehingga anggapan kaum Skeptis tida bisa mengguncangkannya. Sehingga aku merasa yakin aku bisa menerima kebenaran ini sebagai prinsip pertama filsafat yang tengah aku cari ”
Ungkapan Descartes mengisyaratkan satu hal bahwa pemikiran atau kesadaran tidak bisa dipisahkan dari diri seseorang. Hakikat manusia adalah pemikiran (res cogitans)
“Benar, aku hanyalah makhluk yang berpikir … Makhluk yang bisa meragukan, mengamati, membenarkan, menolak, menginginkan, tidak menginginkan, berimajinasi, dan merasakan”
Bagi Descartes, kesadaran diri seseorang harus diterima sebagai kebenaran karena saya memahaminya dengan jelas dan terpisah. Dan inilah kerangka-bangun filsafat Descartes.

Berkat kesadaran diri yang diperoleh dari refleksi atas keraguan radikal, Deskartes membangun suatu jalan kepastian intuitif yaitu dengan cara dua langkah:

1. Arah “ke dalam” atau pada kesadaran individu bersangkutan.

Menurut Descartes, karena segala sesuatu dari luar tidak bisa dipercaya, manusia perlu mencari kebenaran dalam dirinya sendiri, sambil menggunakan kriteria di atas (jelas dan terpisah). Sebagai hasilnya, Descartes menemukan bahwa dalam diri manusia ada tiga hal yang disebutnya “ide-ide bawaan” (Ideae innatae).
a. Ide pemikiran (cogitatio)
b. Ide Allah (deus)
c. Ide keluasan (extentio)

2. Arah “ke luar”.

Dari adanya kesadaran diri (cogito), Descartes berusaha memahami realitas alam-dunia. Seperti halnya para pemikir Yunani dan Skolastik, Descartes juga sampai pada kesimpulan bahwa apa yang ada merupakan suatu substansi, yakni “ada” yang berdiri sendiri. Menurut Descartes, selain (1) Allah, masih ada dua substansi lain, yakni (2) jiwa yang dalam hal ini adalah pemikiran, (3) materi atau keluasaan. Namun, karena Descartes meragukan keberadaan segala sesuatu, maka ia kesulitan untuk menerima adanya suatu realitas lain di luar kesadaran, yakni realitas alam-dunia material yang mempunyai kejelasan dan keterpisahan tersendiri. Saat menghadapi hal ini, Descartes menemukan jalan keluarnya pada Allah sebagai penyebab pandangan kesempurnaan.

Bagi Descartes, Allah sebagai wujud sempurna tidak mungkin menipu. Disinilah, Descartes menjadikan Allah sebagai penjamin kepastian pengetahuan kita mengenai realitas material-empiris atau alam dunia.

Proses pengetahuan di awali dari “Aku” melalui Allah menuju dunia. Dilihat dari sisi objek-materialnya (dunia), Allah adalah yang pertama, segala sesuatu berdasar kepada-Nya. Namun, dilihat dari sudut proses pengetahuan, kesadaran manusialah yang pertama.

Tugas filsafat adalah:
“Mendapatkan pandangan yang menjadikan hidup ini bisa menghasilkan buah bukan mengusahakan pegetahuan yang bersifat teoritis (Skolastik), filsafat harus mengusahakan pengetahuan praktis yang memungkinkan kita mengenali daya dan kekuatan dari api, air, udara, bintang, dan segala sesuatu di sekitar kita –seperti halnya pekerjaan yang dijalani oleh para pengrajin. Dengan demikian, filsafat haruslah mampu memanfaatkan daya dan kekuatan dari semua unsur tersebut untuk segala macam keperluan praktis manusia sehingga menjadikan kita sebagai tuan dan pemilik alam ini”
EMPIRISME

Adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa pengalaman (empeiria, Yunani) merupakan sumber utama pengetahuan, baik pengalaman lahiriah ataupun pengalaman batiniah. Rasio bukan sumber pengetahuan, tetapi ia bertugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman untuk dijadikan pengetahuan. Metodenya bersifat induktif. Contohnya Ilmu Pengetahuan Alam.

PARA FILSUF EMPIRISME

Rasionalisme dianut oleh para filsuf di wilayah Eropa, sedangkan Empirisme berasal dari Inggris. Empirisme dirintis oleh Francis Bacon yang menekankan metode empiris-eksperimental dalam menyelidiki apa yang bisa diketahui manusia. Setelah Bacon, Hobbes mendasarkan filsafat politiknya pada penelitian empiris atau motivasi-motivasi manusia yang dibandingkannya dengan sebuah arloji. Locke membangun epistemologinya dengan didasarkan pada anggapan bahwa semua pengetahuan manusia berasal dari pengalaman indrawi.

Locke: “Anggap saja, pikiran itu … seperti selembar kertas putih

John Locke (1632-1704), lahir di Wrington dekat Briston. Persahabannya dengan Robert Boyle, seorang ahli kimia Inggris, membangkitkan minatnya pada pendekatan empiris. Sejak tahun 1691, Locke yang menderita penyakit asma akut ini, hidup di pedesaan hingga wafatnya pada tahun 1702. Pada batu nisannya terdapat kata-kata yang ditulis oleh Locke sendiri saat masih hidup:
“Wahai para pejalan kaki, berhentilah sejenak ! Di sini terbaring John Locke. Kalau Anda bertanya, orang seperti apa dia, ia akan menjawab: seorang yang hidupnya puas dengan hal-hal sederhana, ia memang dibesarkan oleh ilmu pengetahuan, namun apa yang telah dijalankan seluruh hidupnya adalah pengabdian pada kebenaran. Pelajarilah ini dari tulisannya-tulisannya !”
Tentang Pengetahuan

Dari manakah sumber pengetahuan yang bisa dipercaya? Dari mana pengetahuan itu berasal? Locke menjawabnya, “Pengalaman. Semua pengetahuan kita berdasarkan pengalaman; dan dari pengalaman inilah pengetahuan itu berasal.

Sebelum mengalami sesuatu, pikiran atau rasio kita seperti tabula rasa atau kertas kosong. Baru kemudian kertas itu mendapat isinya dari pengalaman.

Ada dua macam pengalaman yang bisa dibedakan, yaitu ;
1. “Pengalaman lahiriyah” (sense atau external sensation) atau pengalaman indrawi, yang berhubungan dengan realitas material yang ditangkap dengan pancaindra kita, dan
2. “Pengalaman batiniah” (internal sense atau reflection) yang terjadi apabila kesadaran melihat aktivitasnya sendiri dengan cara “mengingat”, “menghendaki”, “meyakini”, dan sebagainya.

Dari dua macam pengalaman ini diperoleh “pandangan-pandangan sederhana” (simple ideas), yakni isi kesadaran yang berfungsi sebagai data-data empiris. Pandangan ssederhana ini masih bisa dibedakan menjadi empat jenis, yaitu pandangan yang:
1. Diterima hanya oleh satu indera kita, misalnya warna diterima oleh indera mata, bunyi diterima oleh indra telinga;
2. Diterima melalui beberapa indra, misalnya ruang dan gerak;
3. Dihasilkan berkat refleksi kesadaran, misalnya kenangan atau memori;
4. Yang menyertai saat-saat terjadinya proses penerimaan atau refleksi, misalnya rasa tertarik, minat, dan waktu.
5. Dalam menerima pandangan ini, pemikiran atau rasio sama sekali pasif. Baru kemudian, setelah pandangan sederhana ini tersedia, rasio bekerja membentuk “Pandangan Kompleks” (Complex Ideas) dengan cara membandingkan, mengabstraksi, dan menghubungkan pandangan-pandangan sederhana tersebut.

Dalam hal ini ada tiga jenis pandangan kompleks yang bisa dibedakan, yaitu:
1. Substansi atau sesuatu yang berdiri sendiri, misalnya manusia atau tumbuhan;
2. Modi atau pandangan kompleks yang keberadannya bergantung kepada substansi, misalnya siang adalah modus dari hari;
3. Hubungan sebab-akibat, misalnya pandangan kausalitas dalam pernyataan: “air mendidih karena dipanaskan dengan api hingga 100 celsius”.
4. Kalau “Pandangan Sederhana” berasal secara langsung dari pengalaman indrawi, maka “Pandangan Kompleks” tidak bisa diamati secara langsung, tetapi diketahui melalui kombinasi-kombinasi dari berbagai pandangan tunggal.
5. Demikianlah, Locke merasa yakin telah dapat menjelaskan terjadinya pengetahuan manusia.[]

02 September 2009

Merenungkan Pendidikan Yang Kita Peroleh Dengan Tindakan Yang Kita Lakukan

GAGASAN tulisan ini berawal dari SMA al-Hikmah Surabaya. Hikmah yang bisa dipetik adalah begitu pentingnya posisi guru di sekolah dalam membentuk kepribadian anak didik yang berakhlakul karimah dan memiliki segudang prestasi. "Apapun jenis lembaga pendidikan yang dikelola, pilar yang paling penting adalah sosok gurunya." Demikian ungkapan kata-kata yang masih segar dalam ingatan penulis. Guru merupakan sosok yang digugu dan ditiru. Keberhasilan anak didik tergantung bagaimana guru mendidiknya. Baik tidaknya prilaku anak didik, guru pulalah barometernya.

Kita sudah maklum, selain keluarga, sekolah adalah tempat yang sangat efektif dalam membentuk karakter (character building) anak didik. Selain membekali anak didik dengan perangkat pengetahuan (tools of knowledge), sekolah juga dapat membentuk kepribadian dan kedisiplinan anak didiknya. Tesis ini bertolak belakang dengan statemen yang menyatakan bahwa Sekolah Itu Candu. Gagasan ini mengasumsikan bahwa sekolah telah menggerus bahkan mematikan "bakat" asasi yang ingin dicapai oleh anak didik. Alhasil, sekolah tak lebih sebagai penjara yang sebenarnya bagi anak didik ketimbang tempat yang dapat membantu dirinya mengembangkan minat dan bakat yang hendak diraihnya.

Sedikitnya ada tiga sekolah yang pernah penulis kunjungi (SMA Dwiwarna [Boarding School] Parung Jawa Barat, SMA Labschool Jakarta, dan SMA Al-Hikmah Surabaya), terlepas dari kelebihan dan kekurangan dari masing-masing lembaga tersebut, satu pelajaran yang dapat diambil bahwa sekolah atau lembaga pendidikan merupakan media yang paling efektif dalam mengenalkan anak didiknya tentang sesuatu yang "baik" dan dapat ditransformasikan di dalam kehidupan masyarakat. Dan pada tahap ini –ketika mereka baru lulus dari sekolah masing-masing– dapat dikatakan SUKSES. Namun, cerita pendidikan tidak berhenti di sini. Mereka akan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Perguruan Tinggi. Di sinilah mereka mengenal lingkungan yang "beda" dengan apa yang pernah mereka alami dulu. Dunia kampus yang lebih menjanjikan kedewasaan karena mereka rata-rata sudah memasuki gerbang peralihan dari masa remaja ke dewasa. Plus jenis pendidikan yang ditempuh pun semakin kompleks dengan logika akademis yang tak cukup hanya dengan "ya" saja ketika belajar, tapi sudah "tidak", "mengapa", "bagaimana" dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang menuntut refleksi filosofis dan metodologs. Intinya, cara mereka belajar, cara mereka memahami, ataupun cara mereka menafsirkan telah menginjak tingkat kognitif kelas tinggi (highest cognitive level) dalam kerangka Bloom. Karenanya, apa yang mereka peroleh di bangku sekolah, terkadang, tak mempunyai bekas ketika sudah kuliah. Penulis melihat, ada mata rantai yang terputus di sini dalam kronologi pendidikan kita.

Melihat fenomena yang santer beberapa tahun terakhir ini, yaitu mengenai tindakan korupsi, penulis berpikir (walau ini masih berupa asumsi aksiomatik saja) di mana letak efektif pendidikan yang mereka peroleh di bangku sekolah dengan tindakan [korupsi] yang mereka lakukan di tempat kerja? Kalau memang benar bahwa apa yang kita lakukan berasal dari apa yang kita baca dan kita dengar, bukankah di sekolah dulu kita membaca tentang sesuatu yang 'baik' sekaligus juga kita mendengar 'nasehat' dari guru kita yang baik-baik. Di manakah sesuatu yang 'baik' yang pernah kita peroleh dulu itu dalam tindakan kita hari ini? Pertanyaan ini lama berkecamuk dalam diri penulis. Suatu saat penulis teringat kata-kata mutiara dalam bahasa Inggris; "experience is the best teacher" [pengalaman adalah guru yang paling bijak". Mutiara ini sedikit memberi jawaban. Apakah pengalaman yang mereka peroleh setelah bangku sekolah itu, telah sedemikian hebatnya mempengaruhi cara berpikir dan bertindak mereka? Apakah pengalaman-pengalaman bersama komunitas telah merubah cara pandang mereka? Kalau pertanyaan ini semakin diperluas, apakah pengalaman bangsa ini dengan korupsi yang telah diwarisi dari kakek moyangnya telah juga sedemikian akutnya menjangkiti generasi muda saat ini?

Akhirnya, deskripsi di atas mengantarkan kita pada sebuah kesimpulan sederhana; kita memiliki dua sosok guru. Guru di ruang-ruang sekolah kita, dan guru di ruang-ruang kehidupan nyata kita yang berupa pengalaman. Pertanyaan untuk diri kita, guru manakah yang paling mempengaruhi kita?

Titik Temu Pemikiran Islam dan Hellenisme

(Pokok Bahasan III)

Melacak Jejak-Tapak Sejarah Pertemuan Kebudayaan Yunani Vs Islam

Secara Umum:

Falsafah tumbuh sebagai hasil interaksi intelektual antara bangsa Arab Muslim dengan bangsa-bangsa sekitarnya. Khususnya interaksi mereka dengan bangsa-bangsa yang ada di sebelah utara Jazirah Arabia, yaitu bangsa-bangsa Syria, Mesir, dan Persia.
Interaksi itu berlangsung setelah adanya pembebasan-pembebasan (al-futuhat) atas daerah-daerah tersebut segera setelah wafat Nabi s.a.w., di bawah para khalifah.

Daerah-daerah yang segera dibebaskan oleh orang-orang Muslim itu adalah daerah-daerah yang telah lama mengalami Hellenisasi. Lebih dari itu, kecuali Persia, daerah-daerah yang kemudian menjadi pusat-pusat peradaban Islam itu adalah daerah-daerah yang telah terlebih dahulu mengalami Kristenisasi.

Bahkan sebenarnya daerah-daerah Islam sampai sekarang ini, sejak dari Irak di timur sampai ke Spanyol di barat, adalah praktis bekas daerah agama Kristen, termasuk heartlandnya, yaitu Palestina.

Daerah-daerah itu, dibawah kekuasaan pemerintahan orang-orang Muslim, selanjutnya memang mengalami proses Islamisasi. Tetapi proses itu berjalan dalam jangka waktu yang panjang, selama berabad-abad, dan secara damai.

Satu indikasi yang menarik dari pembebasan-pembebasan (futuhat) yang dilakukan oleh orang-orang Arab-Islam terhadap bangsa-bangsa non-Muslim itu adalah sikap-sikap penuh penghargaan dan pengertian kepada bangsa-bangsa dan budaya-budaya (termasuk agama-agama) yang mereka kuasai. Hasilnya ialah, seperti dikatakan Halkin sebagai berikut :
“...It is to the credit of the Arabs that although they were the victors militarily and politically, they did not regard the civilization of the vanquished lands with contempt. The riches of Syrian, Persian, and Hindu cultures were no sooner discovered than they were adapted into Arabic. Caliphs, governors, and others patronized scholars who did the work of translation, so that a vast body of non-Islamic learning became accessible in Arabic. During the ninth and tenth centuries, a steady flow of works on Greek medicine, physics, astronomy, mathematics, and philosophy, Persian belles-lettres, and Hindu mathematics and astronomy poured into Arabic.”
Interaksi intelektual orang-orang Muslim dengan dunia pemikiran Hellenik terutama terjadi antara lain di Iskandaria (Mesir), Damaskus, Antioch dan Ephesus (Syria), Harran (Mesopotamia) dan Jundisapur (Persia).

Di tempat-tempat itulah lahir dorongan pertama untuk kegiatan penelitian dan penterjemahan karya-karya kefilsafatan dan ilmu pengetahuan Yunani kuna, yang kelak kemudian didukung dan disponsori oleh para penguasa Muslim.

Gelombang Hellenisme

Gelombang Pertama (tahun 130 H/750 M - tahun 340 H/950 M)

Pada gelombang pertama ini, ada dua tokoh filosof Islam yang lahir, yaitu; Al-Kindi (801 M -873 M) dan Al-Farabi (870 M – 950 M).

Pada tahap awal pertemuan ini, unsur-unsur Neoplatonisme yang menyusup ke dalam alam pikiran Islam, baik yang sejalan ataupun tidak dengan Alquran berkisar pada:

1. Penegasan akan transendensi Asal Pertama (الاصل الاول) atau Tuhan;
2. Emanasi segala yang ada daripadaNya;
3. Peranan Akal sebagai perantara penciptaan oleh-Nya dan merupakan letak bentuk benda-benda serta sebagai sumber penerangan jiwa manusia;
4. Kedudukan Jiwa pada perbatasan dunia intelek dan sebagai sambungan atau cakrawala antara dunia intelek dan dunia indera; dan
5. Sikap merendahkan materi sebagai ciptaan atau emanasi paling hina dari Yang Maha Esa dan tingkat paling bawah dalam susunan kosmis. (Majid Fakhry:Sejarah Filsafat Islam)

Gelombang Kedua (tahun 340 H/950 M - tahun 660 H/1260 M)

Jika gelombang pertama Hellenisme terjadi pada saat-saat kemunduran rezim Umayyah di Damaskus dan permulaan kebangkitan kaum ‘Abbasiyyah, maka gelombang kedua ini berlangsung ketika kekuasaan Baghdad itu mulai merosot dan situasi politik intern Dunia Islam menjadi tidak menentu.

Pada tahap ini muncullah tokoh-tokoh falsafah seperti; Ibn Sina (980 M – 1037 M) hingga Quthb al-Din al-Syirazi (1236 M – 1311 M)

Aliran-Aliran Filsafat Islam

Terdapat, sedikitnya, lima aliran dalam filsafat Islam:
1. Teologi Dialektik (‘ilm al-Kalam)
2. Peripatetisme (Masysya’iyyah)
3. Iluminisme (Isyraqiyyah)
4. Sufisme/Teosofi (Tashawwuf atau ‘Irfan), khususnya yang dikembangkan Ibn ‘Arabi
5. Filsafat Hikmah (al-Hikmah al-Muta’aliyah)

Penjelasan:
Metode epistemologi yang digunakan oleh Teologi Dialektik hampir sama dengan metode Peripatetisme, yaitu bersifat deduktif-silogistik. Yakni, prosedur untuk mendapatkan kesimpulan (silogisme) dari mempersandingkan dua premis. Dalam silogisme Aristotelian, dua premis itu masing-masingnya adalah premis mayor dan premis minor.

Perbedaan silogistik antara peripatetisme dan Teologi Dialektik adalah sebagai berikut:

Penjelasan:
Sementara metode epistemologi yang digunakan oleh iluminisme dan sufisme atau Teosofi (‘irfan) adalah metode intuitif atau eksperiensial. Intuisi ini, dalam khazanah Islam, diidentikkan dengan hati (qalb atau fu’ad) atau bahkan dengan ruh, dan sebagainya.

Prinsip dasar iluminisme, seperti juga Sufisme, adalah bahwa : “mengetahui sesuatu adalah untuk memperoleh suatu pengalaman tentangnya, yang berarti intuisi langsung atas hakikat sesuatu.”

Perbedaan Iluminisme dengan Sufisme –dalam hal ini ‘irfan (teosofi)– antara lain bahwa, meskipun sama-sama mengandalkan pada pengalaman langsung, iluminisme percaya pada kemungkinan pengungkapan pengalaman tersebut melalui bahasa-bahasa diskursif-logis.

Dalam ranah ontologi.
Peripatetisme Islam tak secara khusus memberikan perhatian pada aspek ontologi. Di luar aspek epistemologi, aliran peripatetisme banyak membahas tentang kosmologi.
Sementara aliran ‘irfan, iluminisme, dan filsafat hikmah memberikann perhatian yang cukup jelas pada wilayah ontologi.
1. ‘irfan :
Menekankan pada prinsip kesatuan wujud segala sesuatu dan tingkatan-tingkatan (hierarkhi) nya.
2. Iluminisme
Menekankan pada filsafat cahaya (nur), yakni pengidentikkan wujud dengan cahaya, dan non-wujud/nirwujud dengan kegelapan. Di antara keduanya terdapat lapisan-lapisan wujud antara cahaya dan kegelapan.
3. Filsafat Hikmah
Menekankan prinsipialitas (fundamentalitas) eksistensi terhadap esensi. Yakni bahwa yang real –yang memiliki korespondensi dengan realitas– adalah eksistensi. Sedangkan esensi –penampakan atau atribut-atribut lahiriyah dan mental– sebenarnya tidak real dan hanya merupakan bentukan (keterbatasan) persepsi manusia (I’tibari).
Mengembangkankan juga prinsip ambiguitas (tasykik) wujud. Yakni bahwa wujud bersifat tidak tetap, melainkan berpindah-pindah dalam hierarki wujud sejalan dengan gerak substansial.

Pokok Bahasan X

Renaissance Dan Humanisme; Awal Perkembangan Filsafat Modern

Kearah Filsafat Modern: Suatu Pengantar Singkat


Jaman Modern ditandai dengan adanya berbagai perkembangan baru dan luar biasa pesat dalam berbagai bidang kehidupan manusia Barat, khususnya bidang kebudayaan, ilmu pengetahuan dan ekonomi.

Dalam konteks sejarah filsafat Barat, masa modern adalah suatu periode saat aliran pemikiran baru mulai muncul dan beradu dalam kancah pemikiran filosofis Barat. Para filsuf tampil dengan gaya dan argumentasinya yang khas. Kadang kasar dan sinis, kadang tajam dan sangat pragmatis, namun ada juga yang sentimental.

Sejarah Filsafat Modern Barat bisa dibagi ke dalam tiga jaman/periode:

1.Jaman Renaissans (Renaissance)
2.Jaman Pencerahan Budi (Aufklarung)
3.Jaman Romantik (khususnya Idealisme Jerman)

Jaman Renaissans

Jaman Renaissans adalah jaman kelahiran-kembali (renaissance) kebudayaan Yunani-Romawi di Eropa pada abad ke-15 dan ke-16. Kebudayaan klasik tersebut dipuja dan dijadikan model serta dasar bagi seluruh peradaban manusia.

Kebudayaan Yunani-Romawi adalah kebudayaan yang menempatkan manusia sebagai subjek utama. Misalnya, Filsafat Yunani menampilkan manusia sebagai makhluk yang berpikir senantiasa memahami lingkungan alamnya dan juga menentukan prinsip-prinsip bagi tindakannya sendiri demi mencapai kebahagiaan hidup.

* Dalam bidang kesusastraan:

Seperti diceritakan oleh Homeros, seorang penyair ternama dengan karyanya Odisei, tentang keberanian manusia menjelajahi suatu dunia yang penuh dengan berbagai tantangan dan pengalaman baru.

* Dalam bidang Arsitektur:

Arsitektur Yunani-Romawi mencerminkan kemampuan manusia dalam menciptakan harmoni dari aturan hukum, kekuatan, dan keindahan.

* Dalam bidang teknik:

Dari teknik pembangunan akuaduk, pembuatan jalan, rumah tinggal, sampai teknik berperang dan kemampuan berorganisasi (hukum, tentara, senat, tata kota) pantas mendapat acungan jempol. Semua itu menunjukkan bahwa kebudayaan Yunani-Romawi memberikan tempat utama bagi manusia dalam kosmos. Suatu pandangan yang biasa disebut dengan Humanisme Klasik.

Kebudayaan Renaissans yang coba dibangun ditujukan untuk menghidupkan kembali Humanisme Klasik yang sempat tertunda oleh gaya berpikir tokoh-tokoh Abad Pertengahan.

Ada sedikit perbedaan dalam konteks Humanisme pada jaman klasik dan Renaissans. Humanisme Klasik menekankan manusia sebagai bagian dari alam atau polis (negara-kota / masyarakat Yunani Kuno), sementara Humanisme Renaissans menekankan pada individualisme, yaitu paham yang menganggap bahwa manusia sebagai pribadi perlu diperhatikan (kesanggupan dan kebutuhannya tidak boleh disamaratakan).

Kutipan-Kutipan

1. "Kita bukan hanya umat manusia, kita adalah individu-individu unik yang bebas untuk berbuat sesuatu dan menganut keyakinan tertentu."

"Kemuliaan manusia terletak dalam kebebasannya untuk menentukan pilihan sendiri dan dalam posisinya sebagai penguasa atas alam."(Pico Della Mirandola)"

2. "Apa yang kamu pikir bisa kamu lakukan, Wujudkanlah!"

Dari dua kutipan di atas, pemahaman yang bisa kita peroleh adalah:

1. Munculnya sikap pemujaan tidak terbatas pada kecerdasan dan kemampuan individu dalam segala hal;
2. Manusia yang dicita-citakan oleh Humanisme Renaissans adalah "manusia universal"(Homo Universale), yakni manusia yang berkat kecerdasannya bisa maju dan berkembang penuh dalam seluruh aspek kehidupannya, khususnya dalam aspek ilmu pengetahuan, kesenian, dan kebudayaan.

Filsuf-Filsuf Abad ini adalah:

1. Filsuf dari Itali: Campaneila, Patrizi, Bruno, Pompanazzi, Telesio, Ficino, dan Pico.
2. Filsuf IPA: Galilei, Kepler, Bacon, Kopernikus
3. Filsuf Humanisme: Montaigne, Erasmus, Morus, Alberti, Vaila, Salutati, dan Petrarca
4. Filsuf Negara dan Hukum: Althusius, Grotius, Bodin, dan Machiavelli
5. Filsuf Reformasi: Melanchthor, Calvin, Luther, dan Zwingli

Tiga Pandangan tentang Takdir

Filsuf yang akan kita kemukakan adalah:

1. Francesco Petrarca
2. Geovanni Pico Della Mirandola, dan
3. Francis Bacon

Ketiga filsuf di atas, concern terhadap manusia dan posisinya dalam kosmos. Bukan alam yang menakdirkan manusia akan menjadi apa, melainkan manusia yang berkat akal budinya mentakdirkan alam akan berbentuk apa.

Petrarca:
"Menghendaki yang baik lebih berharga dari pada mengenal yang benar"

Francesco Petrarca (1304-1374) bukan saja seorang filsuf tapi juga sastrawan Itali. Pada tahun 1326, ia berkenalan dengan seorang wanita yang sudah bersuami. Seumur hidupnya, Petrarca mencintai wanita ini dari kejauhan dan menulis sajak-sajak tentangnya dengan nama samaran Laura. Katanya: "Aku tidak ingin berdusta: Aku menjadi seperti aku yang sekarang karena wanita itu."

Petrarca dikenal sebagai Bapak Humanisme dan tokoh jaman Renaissans. Perannya dalam filsafat terletak pada kritikan-kritikannya terhadap cara belajar para filsuf skolastik yang dinilainya hanya mengandalkan karya terjemahan untuk memahami pemikiran Aristoteles dan Plato bukan karya asli mereka. Selain itu, usaha para filsuf skolastik mempelajari filsafat Aristoteles juga dikritik. Menurutnya, Aristoteles hanya bisa membantu orang "mengetahui" apa yang disebut sebagai keutamaan, tetapi tidak mampu "memotivasi" jiwa dan kemampuan untuk memperoleh keutamaan tersebut, padahal yang lebih bernilai bukanlah pengetahuan tentang "yang baik", melainkan keinginan untuk melaksanakannya. Kata-kata Petrarca :

"Adalah suatu perbedaan besar, apakah saya tahu tentang sesuatu, atau apakah saya mencintai sesuatu: apakah saya memahami sesuatu, atau apakah saya mengusahakan sesuatu. Aristoteles mengajarkan apa yang disebut sebagai keutamaan –saya tidak menolaknya. Namun, ia tidak mengenal kata-kata yang bisa meyakinkan dan memberi semangat: kata-kata yang bisa menghidupkan dan mengobarkan api dalam jiwa kita. Sementara itu, di pihak lain, yang terjadi adalah sebaliknya. Para tokoh-tokoh kita, khususnya pada Cicero dan Annaeus (Seneca) sering menggunakan kata-kata tersebut."

Bagi Petrarca, seorang filsuf sejati adalah seorang filsuf yang mempertimbangkan konteks, sebab filsafat sendiri bukanlah seni kata-kata abstrak dan kosong; melainkan seni tentang hidup yang baik dan berkeutamaan. Filsafat harus bersifat praktis. Filsafat ada untuk manusia, bukan manusia ada untuk filsafat !

Pico:
"Kita dilahirkan… untuk menjadi apa yang kita kehendaki"

Pico merasa yakin bahwa ada banyak pandangan para filosof dan teolog yang bisa diselaraskan. Namun pihak otoritas gereja tidak tidak sependapat dan menilainya sesat. Akhirnya Pico melarikan diri ke Prancis, tetapi tertangkap. Berkat perlindungan bangsawan Lorenzo de Medici, Pico boleh kembali ke Italia dan tinggal di Lorenzo hingga wafat pada usia 31 tahun.

Pico bertanya, di mana posisi istimewa manusia di alam semesta? Tuhan menciptakan manusia sebagai pencipta bagi dirinya sendiri dengan kebebasannya. Manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri dan mewujud-nyatakan hakikatnya seperti yang ia kehendaki. Masalah akan jadi apa manusia di kemudian hari ditentukan oleh keputusan-keputusan dan tindakan-tindakannya saat ini.

Untuk menegaskan apa yang diyakininya, Pico mengacu pada Kisah Penciptaan dalam Kitab Kejadian yang telah digubah dalam versinya sendiri: "Kondrat semua makhluk lain dibatasi oleh hukum-hukum yang telah Kutetapkan untuk mereka. Namun, engkau (Adam) harus menentukan kodratmu menurut keputusan yang telah Kuberikan kepadamu. Aku telah menempatkan engkau di tengah-tengah dunia, agar engkau bisa mengenal dengan lebih mudah segala sesuatu yang tersebar di dunia ini. Aku telah menciptakan engkau bukan sebagai sesuatu yang surgawi atau duniawi, yang fana atau yang baka, melainkan Kuciptakan engkau sebagai makhluk bebas yang berkat kekuatannya sendiri mampu membentuk dan menentukan diri sendiri. Engkau bisa saja merosot ke tingkat hewani. Namun, jika memang kau kehendaki, engkau dapat dilahirkan kembali ke tingkat surgawi mendapai keilahian."

Menurut Pico, hubungan antara manusia dan hidupnya bisa digambarkan dengan kerja seorang seniman yang tengah menggarap bahan untuk karya seninya. Akan menjadi apa material itu nantinya ditentukan oleh rancangan dan pola yang telah dimiliki oleh seniman tersebut dalam benaknya. Allah Pencipta telah menciptakan manusia sebagai pencipta juga, yang sesuai dengan citra-Nya. Dan kepada manusia sebagai makhluk bebas, Allah telah menyerahkan dunia ini untuk ditaklukan dan dibentuk menurut pola yang ia miliki. Karenanya, keberadaan atau esensi manusia ditentukan oleh tindakan kreatifnya dalam bekerja dan mengelola dunia ini.

Prancis Bacon:
"Pengetahuan adalah kekuasaan"

Francis Bacon (1561-1626) bukan seorang filosof, ia tidak mau dikatakan demikian. Ia seorang sarjana hukum lulusan Trinity College of Cambrige University. Pemikiran Bacon ditujukan pada pertanyaan-pertanyaan seperti: Bagaimanakah ilmu pengetahuan bisa diperbarui? Metode apakah yang tepat bagi suatu penelitian ilmiah? Apakah tujuan ilmu pengetahuan itu?

Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, ajaran Skolastik dan pandangan Aristotelian dinilai Bacon tidak ada gunanya. Persoalannya bukanlah mengalahkan lawan dengan argumentasi logis, melainkan menaklukkan alam dengan kerja. Sedikit bicara, banyak kerja. (talk less, do more). Bagi Bacon, pengetahuan yang pantas diupayakan adalah pengetahuan yang bertujuan menguasai alam demi kepentingan manusia. Pengetahuan seperti ini memberikan kekuatan kepada manusia untuk menjadi penguasa atas alam.

Selanjutnya, jika semua ilmupengetahuan diarahkan kepada tujuannya yang sejati, maka diperlukan suatu pembaruan metode untuk semua ilmu pengetahuan. Dalam upayanya membarui metode itu, Bacon mengusulkan pelurusan asumsi lama yang tidak benar. Ada 4 anggapan yang menurutnya perlu diluruskan, yaitu:

1. "idola umat manusia" (idola tribus).

Idola ini muncul dari kodrat manusia sendiri yang memahami realitas dengan bantuan panca indera dan akalnya. Idola ini mengatakan bahwa akal manusia ibarat cermin yang memantulkan realitas sebenarnya. Namun, menurut Bacon, idola ini menyesatkan. Sebab, akal manusia itu memang ibarat sebuah cermin, namun sebuah cermin yang tidak rata. Akal terlalu ikut campur dalam pengenalan kita terhadap benda-benda yang diamati. Akibatnya, pengetahuan kita atas keadaan benda-benda itu sendiri menjadi rancu dan tidak tepat.

2. "Idola sebagai kurungan" (idola specus).

Idola ini ada pada sudut pandang tiap-tiap individu yang bersangkutan saja.

3. "Idola Pasar" (idola fori).

Idola pasar terungkap dalam gejala bahasa. Bahasa yang menjalin penghubung antar manusia sering menyesatkan kita dengan berbagai tambahan arti dari banyak hal yang belum ada, atau bahkan pasti tidak ada (misalnya kata "nasib", "substansi"). Akibatnya, orang sering berdebat kusir tentang makna suatu kata atau istilah.

4. "Idola Teater" (idola theatri).

Berbagai ajaran filsafat dan teologi mengklaim telah membantu manusia memahami diri dan dunianya. Namun, semua itu hanya dongeng belaka, suatu cerita fiksi. Jauh dari realitas.

Akhirnya menurut Bacon, kalau kita ingin memperoleh pengetahuan sejati, maka kita harus "dimurnikan" dari semua. Bacon menawarkan suatu metode yang ia beri nama metode induksi. Namun induksi ini bukanlah sekedar generalisasi dari berbagai hal khusus untuk memperoleh hal yang umum.

Induksi tersebut adalah metode pengetahuan yang diawali dengan pengumpulan dan perbandingan data-data hasil pengamatan atas eksperimen-eksperimen yang kita buat, untuk selanjutnya –melalui proses generalisasi- menghasilkan pola atau prinsip umum dari objek pengamatan tersebut. Jadi induksi tidak diawali dengan sembarang data empiris yang diterima oleh panca indera kita, melainkan diawali terlebih dahulu dengan apa yang ingin diselidiki, selanjutnya diolah secara metodis dan bertahap dengan malaksanakan eksperimen yang telah ditetapkan sebelumnya.

Dengan demikian, dalam induksi ini terdapat dua unsur dalam satu proses pengetahuan: Pengalaman Indrawi dan Akal Budi. Bacon merasa optimis dan berharap kuat bahwa masa depan umat manusia akan cerah berkat ilmu pengetahuan tersebut. Ia menuliskan: "Semoga pada akhirnya umat manusia bisa berkuasa atas alam, sebagaimana ditetapkan Tuhan. Semoga banyak hal yang bisa kita kuasai terlebih dahulu. Selanjutnya, adalah urusan agama dan akal budi yang sehat untuk menerapkannya secara tepat."

Filsafat Islam: Suatu Penjelajahan Konsep

APAKAH FILSAFAT ISLAM ITU?

Seperti yang dikemukakan oleh Oliver Leaman dalam bukunya A Brief Introduction to Islamic Philosophy bahwa perlulah kiranya kita merumuskan secara jelas tentang apa sebenarnya Filsafat Islam itu. Pemahaman terhadap konsep filsafat Islam ini akan memudahkan kita untuk mengekplorasi lebih jauh tentang arti hakiki dari keberadaannya. Oleh karena itu, Leaman menawarkan tentang pentingnya mengupas tuntas definisi dari Filsafat Islam tersebut.

Menyimak dari istilahnya, Filsafat Islam terdiri dari gabungan dua kata yaitu kata Filsafat dan Islam. Kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta, dan kata sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian secara lughawi filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Selanjutnya kata Islam berasal dari bahasa Arab aslama, yuslimu islaman yang bermakna patuh, tunduk, berserah diri, serta memohon selamat dan sentosa. Kata tersebut berasal dari salima yang berarti selamat, sentosa, aman dan damai. Kemudian Islam menjadi suatu istilah atau nama diri (proper name) dari agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Allah kepada umat manusia melalui ajaran-ajaran Nabi Muhammad Saw. Dalam pengertian ini, Islam pada hakikinya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, namun mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia dengan merujuk pada Alquran dan Hadis.

FILSAFAT ISLAM: SEBUAH PERDEBATAN ISTILAH

Sebutan Filsafat Islam, bukanlah sebutan yang telah disepakati oleh para pengkaji filsafat Islam. Beberapa pernyataan itu berkisat pada:

* Ada yang mengatakan bahwa filsafat dan Islam adalah dua entitas yang berbeda dan bahkan sulit untuk disatukan, sehingga nama filsafat Islam tidaklah cocok (oximoron). Mereka menawarkan istilah FILSAFAT MUSLIM, karena para pendukungnya adalah para filosof muslim.
* Ada lagi yang lebih sreg menggunakan istilah FILSAFAT ARAB, karena merujuk pada karya-karya filosof muslim yang ditulis dalam bahasa Arab.
* Namun, banyak juga yang mendukung lahirnya FILSAFAT ISLAM.

Alasan yang mendukung lahirnya Filsafat Islam:

Menurut Mulyadi Kartanegara, ada 3 alasan: (1) Terjadinya Islamisasi Filsafat Yunani di dunia Islam, (2) Adanya transformasi radikal yang memberikan warna tersendiri bagi filsafat Islam yang disebabkan oleh daya kritis dan kritik yang dilontarkan oleh para filosof muslim, dan (3) Adanya perkembangan yang unik dalam filsafat Islam karena interaksinya dengan Islam sebagai sebuah agama. Pengembangan ini salah satunya melahirkan filsafat kenabian yang hampir sebagian besar filosof muslim mengupasnya.

Pernyataan Mulyadi di atas, sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Oleaver Leaman bahwa konflik istilah antara filsafat dan agama tidak seharusnya menghilangkan kemungkinan adanya sebuah filsafat Islam. Seseorang dapat dikatakan sebagai seorang filosof bukan karena kekhawatiran mereka akan keberadaan keimanan terhadap agama tapi kemampuan memakai argumen-argumen rasional guna mempertahankan atau menyerang suatu pandangan (keagamaan). Pendapat Leaman ini dikuatkan oleh begitu tingginya apresiasi terhadap peran dan fungsi akal dalam Islam seperti yang termaktup dalam Alquran. Jadi mempertentangkan keberadaan filsafat dan agama tidak cukup memiliki argumen yang kuat.

DEFINISI FILSAFAT/FALSAFAH MENURUT PARA FILOSOF MUSLIM

1. ABU YA'QUB AL-KINDI, dalam kitabnya Fi Al-Falsafah Al-Ula, mendefinisikan falsafah adalah: "Pengetahuan tentang realitas atau hakikat segala sesuatu sebatas yang memungkinkan bagi manusia, karena sesungguhnya tujuan filosof secara teoritis adalah untuk mencapai kebenaran dan secara praktis adalah bertingkah laku sesuai dengan kebenaran"
2. IBN SINA, dalam kitab 'Uyun al-Hikmah mendefinisikan Al-Hikmah (yang baginya sama dengan filsafat)
adalah: "Usaha untuk mencapai kesempurnaan jiwa melalui konseptualisasi (tashawwur) atas segala hal dan pembenaran (tashdiq) realitas-realitas teoritis dan praktis berdasarkan ukuran kemampuan manusia"
3. IKHWAN AL-SHAFA, sekelompok pemikir muslim Syi'ah Isma'iliyyah yang memiliki tendensi ke arah tasawuf atau sufisme, mereka menyatakan bahwa: "Permulaan falsafah adalah cinta pada ilmu, pertengahannya adalah pengetahuan tentang realitas wujud sesuai ukuran kemampuan manusia, dan pamungkasnya adalah kata dan perbuatan yang sesuai dengan pengetahuan itu"
4.
MULLA SHADRA, dalam kitab Al-Asfar Al-Arba'ah mendefinisikan Falsafah sebagai: "Upaya penyempurnaan atas jiwa manusia dan, dalam beberapa hal, atas kemampuan manusia melalui pengetahuan tentang realitas esensial segala sesuatu sebagaimana adanya, dan melalui pembenaran terhadap eksistensi mereka yang ditetapkan atas dasar demonstrasi (burhan) dan bukan diturunkan dari opini atau dugaan"

DEFINISI FILSAFAT ISLAM MENURUT PEMERHATI FILSAFAT ISLAM

Terdapat sejumlah definisi yang diberikan oleh para pakar, yaitu:

1) Musa Asy'ari, mengatakan bahwa filsafat Islam itu pada dasarnya merupakan pemikiran yang terus berkembang dan berubah. Dalam kaitan ini, diperlukan pendekatan historis terhadap filsafat Islam yang tidak hanya menekankan pada studi tokoh, tetapi yang lebih penting lagi adalah memahami proses dialektik pemikiran yang berkembang melalui kajian-kajian tematik atas persoalan-persoalan yang terjadi pada setiap zaman. Oleh karena itu perlu dirumuskan prinsip-prinsip dasar filsafat Islam agar dunia pemikiran Islam terus berkembang sesuai dengan perubahan zaman. Lebih jauh, menurut Musa, filsafat Islam dapatlah diartikan sebagai kegiatan pemikiran yang bercorak Islami. Islam di sini menjadi jiwa yang mewarnai suatu pemikiran. Filsafat disebut Islami bukan karena yang melakukan aktivitas kefilsafatan itu orang yang beragama Islam atau orang yang berkebangsaan Arab atau dari segi obyeknya yang membahas mengenai pokok-pokok keislaman.

2) Damardjati Supadjar, berpendapat bahwa dalam istilah filsafat Islam terdapat dua kemungkinan pemahaman konotatif. Pertama, filsafat Islam dalam arti filsafat tentang Islam yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan Philosophy of Islam. Dalam hal ini Islam menjadi bahan telaah, obyek material suatu studi dengan sudut pandang atau obyek formalnya, yaitu filsafat. Jadi di sini Islam menjadi genetivus objectivus. Kemungkinan kedua, filsafat Islam dalam arti Islamic Philosophy, yaitu suatu filsafat yang Islami. Di sini Islam menjadi generativus subjektivus, artinya kebenaran Islam tersebar pada dataran kefilsafatan.

3) Ahmad Fuad al-Ahwani, berpendapat bahwa filsafat Islam ialah pembahasan meliputi berbagai soal alam semesta dan bermacam-macam masalah manusia atas dasar ajaran-ajaran keagamaan yang turun bersama lahirnya agama Islam.

4) Amin Abdullah, berpendapat bahwa Filsafat Islam merupakan hasil proses panjang asimilasi dan akulturasi kebudayaan Islam dan kebudayaan Yunani lewar karya-karya filosof Muslim, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Miskawaih, Ibn Sina, al-Ghazali, dan Ibn Rusyd. Filsafat profetik (kenabian), sebagai contoh, tidak dapat kita peroleh dari karya-karya Yunani. Filsafat profetik adalah trade mark filsafat Islam. Juga karya-karya Ibn Bajjah, Ibn Tufail adalah spesifik dan orisinal karya filosof Muslim. Memang Alquran membawa cara yang sama sekali baru untuk melihat Tuhan dan Alam, dan juga membahas hukum-hukum yang tidak dapat diredusir dalam filsafat Yunani.

5) Haidar Bagir, Filsafat Islam bisa dilihat sebagai gabungan antara pemikiran liberal dan agama. Ia bisa disebut liberal dalam hal pengandalannya pada kebenaran-kebenaran primer dan metode demonstrasional untuk membangun argumen-argumentasinya. Dan pada yang sama, pengaruh keyakinan religius atau quasi religius amat dominan, baik dalam penerimaan kesepakatan mengenai apa yang dianggap sebagai kebenaran-kebenaran primer tersebut, maupun dalam pemilihan premis-premis lanjut dalam silogisme mereka.

Berdasarkan beberapa pandangan di atas, filsafat Islam dapat diketahui melalui lima cirinya seagai berikut. Pertama, dilihat dari segi sifat dan coraknya, filsafat Islam berdasar pada ajaran Islam yang bersumberkan Alquran dan Hadis. Dengan sifat dan coraknya yang demikian itu, filsafat Islam berbeda dengan filsafat Yunani atau filsafat Barat pada umumnya yang semata-mata mengandalkan akal pikiran (rasio). Kedua, dilihat dari segi ruang lingkup pembahasannya, filsafat Islam mencakup pembahasan bidang fisika atau alam raya yang selanjutnya disebut bidang kosmologi; masalah ketuhanan dan hal-hal lain yang bersifat non materi, yang diselanjutnya disebut bidang metafisika; masalah kehidupan di dunia, kehidupan di akhirat; masalah ilmu pengetahuan, kebudayaan dan lain sebagainya; kecuali masalah zat Tuhan. Ketiga, dilihat dari segi datangnya, filsafat Islam sejalan dengan perkembangan ajaran Islam itu sendiri, tepatnya ketiga bagian dari ajaran Islam memerlukan penjelasan secara rasional dan filosofis. Keempat, dilihat dari segi yang mengembangkannya, filsafat Islam dalam arti materi pemikiran filsafatnya, bukan kajian sejarahnya, disajikan oleh orang-orang yang beragama Islam, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Miskawaih, Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Bajjah, Ibn Tufail dan lain sebagainya. Kelima, dilihat dari segi kedudukannya, filsafat Islam sejajar dengan bidang studi keislaman lainnya seperti fikih, ilmu kalam, tasawuf, sejarah kebudayaan Islam dan pendidikan Islam.

MODEL-MODEL PENDEKATAN DALAM FILSAFAT ISLAM: BEBERAPA KECENDERUNGAN

Model pendekatan yang dimaksud di sini adalah suatu konsep paradigmatik yang dikembangkan oleh para pakar dalam kaitannya dengan penelitian filsafat. Beberapa model yang akan dikemukakan di sini merupakan suatu usaha progresif untuk melihat filsafat Islam sebagai alternatif pemecahan masalah bagi mandeg nya pemikiran keilmuan Islam yang selama ini terasa kering karena miskinnya metodologi yang dikembangkan. Selain itu, model-model ini juga merupakan tawaran alternatif untuk melihat persoalan filsafat Islam dalam konteks yang lebih komprehensif.

Model Pertama. Model ini menawarkan suatu pendekatan Filsafat Islam dengan melakukan kajian terhadap materi filsafatnya itu sendiri. Munculnya pendekatan ini didasarkan pada suatu konsep umum yang melanda cara berpikir (ways of thought) dan cara pandang (world views) umat Islam, yaitu kesulitan untuk membedakan antara filsafat dan sejarah filsafat; antara filsafat Islam dan sejarah filsafat Islam. Biasanya yang terjadi adalah kita sering mengorbankan kajian filsafat, karena kita selalu dihantui oleh trauma sejarah abad pertengahan ketika sejarah filsafat Islam diwarnai oleh pertentangan pendapat dan perhelatan pemikiran antara al-Gazali dan Ibn Sina, yang menentukan jalannya sejarah pemikiran umat Islam. Terhadap kecenderungan model pertama ini ada dua karya yang dapat dijadikan rujukan yaitu karya Sheila McDonough berjudul Muslim Ethic and Modernity: A Comparative Study of The Ethical Thought of Sayyid Ahmad Khan dan Mawlana Mawdudi dan karya Amin Abdullah berjudul The Idea of University Ethical Norm in Ghazali and Kant dan Studi Agama Normativitas atau Historisitas?

Model Kedua. Model pendekatan yang ditawarkan adalah dengan mengekplorasi pemikiran para tokoh filosofnya. Yang terkait dengan model ini adalah karya Otto Horrassowits berjudul History of Muslim Philosophy. Dengan menggunakan suatu pendekatan penelitian kualitatif Otto Horrassowits menelaah para filosof muslim dengan mengemukakan riwayat hidup, karya tulis dan percikan-percikan pemikirannya. Hal senada juga bisa kita dapatkan dalam karya Majid Fakhry yang berjudul A History of Islamic Philosophy. Majid Fakhry selain menyajikan hasil penelitiannya tentang ilmu Kalam, Mistisisme dan kecenderungan-kecenderungan modern dan kontemporer juga berbicara tentang filsafat. Khusus dalam bidang filsafat, ia berbicara tentang al-Kindi, ibn al-Rawandi, al-Razi, Abu Hayyan al-Tauhidy, Ibn Miskawaih, Yahya bin 'Adi, Ibn Massarah, al-Majrithi, Ibn Bajjah, Ibn Tufail, ibn Rushd, al-Suhrawardi dan Shadr al-Din al-Syirazi. Majid Fakhry selain mengemukakan riwayat hidup dan karya-karya dari masing-masing tokoh tersebut juga mengemukakan pemikirannya dalam bidang filsafat.

Model Ketiga. Dalam buku yang berjudul Filsafat Islam, Ahmad Fuad al-Ahwani selain menyajikan sekitar problem filsafat Islam ia juga menyajikan tentang zaman penerjemahan, dan filsafat yang berkembang di kawasan masyriqi dan maghribi. Di kawasan maghribi ia kemukakan nama al-kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina. Sedangkan di kawasan maghribi ia kemukakan Ibn Bajjah, Ibn Tufail dan Ibn Rusyd. Selain dengan mengemukakan riwayat hidup serta karya dari masing-masing tokoh filosof tersebut, juga dikemukakan tentang jasa dari masing-masing filosof tersebut serta pemikirannya dalam bidang filsafat.

Dengan demikian metode penelitian yang ditempuh Ahmad Fuad al-Ahwani adalah penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang menggunakan lahan-lahan kepustakaan. Sifat dan coraknya adalah penelitian deskriptif-kualitatif. Sedangkan pendekatannya adalah pendekatan yang bersifat campuran, yaitu pendekatan historis, pendekatan kawasan dan tokoh. Melalui pendekatan historis, ia mencoba menjelaskan latar belakang timbulnya pemikiran filsafat dalam Islam. Sedangkan dengan pendekatan kawasan ia mencoba membagi tokoh-tokoh filosof menurut tempat tingggal mereka, dan dengan pendekatan tokoh, ia mencoba mengemukakan berbagai pemikiran filsafat sesuai dengan tokoh yang mengemukakannya.[]

Pokok Bahasan II

PEMIKIRAN FILSAFAT HELLENISME

Istilah Hellenisme adalah istilah modern yang diambil dari bahasa Yunani kuno hellenizein yang berarti berbicara atau berkelakuan seperti orang Yunani (to speak or make Greek). Dalam pengertian yang lebih luas, Helenisme adalah istilah yang menunjuk kebudayaan yang merupakan gabungan antara budaya Yunani dan budaya Asia Kecil, Syiria, Mesopotamia, dan Mesir yang lebih tua. Gabungan itu terjadi selama tiga abad setelah meninggalnya Alexander Agung pada tahun 323 SM.

Setelah Aristoteles, pemikiran filsafat Yunani tidak mengalami perkembangan yang cukup berarti. Bahasan-bahasan yang diwacanakan hanyalah pengulangan-pengulangan (reproductived discourse) dari para filsuf sebelumnya. Tidak ada filsuf yang berhasil menggali dan membuahkan pemikiran yang cemerlang, sampai akhirnya muncul seorang Plotinus sebagai filsuf yang genial.

Pada jaman ini, terjadi pergeseran pemikiran filsafat, yaitu dari yang bersifat teoritis ke wilayah praktis. Ada banyak aliran yang muncul, yang masing-masing berusaha menentukan cita-cita hidup manusia dengan warnanya sendiri-sendiri. Termasuk aliran-aliran yang memiliki kaitannya penting dengan pemikiran filsafat Islam adalah Neo-Platonisme dan Neopytagoras. Mengenai kedua aliran ini akan dijelaskan kemudian secara rinci.

Secara umum, sejarah filsafat Barat dimulai di Yunani. Sifat-sifat filsafat Yunani sangatlah mempengaruhi seluruh alam pikiran Barat; melepaskan diri dari mitos-mitos dan mencari pertanggungjawaban yang rasional dari kenyataan; mencari apa yang tetap dan kekal dalam kenyataan-kenyataan yang berubah-ubah, realistis, terang, tajam dalam perumusan-perumusan, teratur, rapi.

Ringkasnya, tahapan-tahapan sejarah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

A. KELAHIRAN: (Pra-Sokrates: Filsafat alam, mencari penjelasan dari alam, khususnya terjadinya segala-galanya dari Prinsip Pertama (arche).

1.Mazhab Miletos: Thales (625-545), Anaximandros (610-540), Anaximenes (585-528)
2.Pythagoras (580-500)
3.Herakleitos (540-480)
4.Mazhab Elea: Parmenides (530-540), Zeno (490)
5.Yonisi: Empedokles (483), Anaxagoras (499-428), Demokritos (460-370)

B. PERKEMBANGAN: Memusatkan penyelidikan pada manusia. Filsafat alam tak dapat memberikan jawaban yang memuaskan, maka timbullah sikap kaum sofis ("pedagang pengetahuan").

1.Kaum Sofis: Pythagoras (481-411), Gorgias (483-375).
2.Sokrates (470-400)

C. JAMAN KEEMASAN: Mencari sintesis antara filsafat alam dan filsafat tentang manusia.

1.Plato (429-347), meneruskan dan menyempurnakan ajaran Sokrates. Inti ajarannya: ajaran ide-ide, tentang pengetahuan, prinsip pertama, kesusilaan, jiwa, alam, dan negara.
2.Aristoteles (384-322), murid Plato, filsuf pertama yang berhasil menemukan pemecahan persoalan-persoalan besar dari filsafat, yang dipersatukannya dalam satu system, meliputi: logika, filsafat alam, ilmu jiwa, metafisika (sebab Pertama), etika, ilmu politik. Hasil-hasil pemikirannya sekarang masih berlaku (Hylemorfisme).

C. JAMAN KERUNTUHAN - Sistem-sitem Etika

1.Stoa (300 SM – 200 SM) hendak memberikan ajaran-ajaran hidup praktis, agak materialistis; memperkenalkan logika lebih lanjut. Yang terkenal: Zeno (336-264), Seneca, Empitektus (50-117).
2.Epikurus (341-271), materialistis dan "aku-istis": kebahagiaan adalah kepuasaan diri, "permulaan dan akar kebaikan ialah kenikmatan perut".
3.Skeptisis: Kesangsian, tak mungkin orang mencapai kepastian. Pyrrho (360-270), Sextus Empiricus (150).

D. PERKEMBANGAN BARU : Neo-Platonis, bersikap religious, kebatinan.

1. Plotinos (205-270)
2. Porphyrius (232-315), muridnya. Buku yang terkenal: Enneaden (9 buku), ajaran emanasi.

Itulah deskripsi singkat mengenai tahapan-tahapan awal sejarah filsafat barat. Keberadaan filsafat barat tersebut, dalam beberapa hal, mempengaruhi pemikiran-pemikiran Islam. Terutama dua aliran yang akan dijelaskan berikut ini:

1. Neo-Platonisme

Aliran ini muncul kira-kira lima abad setelah Aristoteles. Pemikiran filsafatnya disusun secara sistematis. Kebangkitan pemikiran filsafat kuno ini bersamaan waktunya dengan kelahiran agama Kristen, sehingga terjadi pergumulan yang dahsyat antara keduanya. Tokoh yang sering dihubung-hubungkan dengan aliran ini adalah Ammonius Sakkas dan Platinos. Ammonius Sakkas tidak meninggalkan tulisan apapun, sehingga pemikiran filsafatnya hampir tidak dapat diketahui. Kita dapat mengetahui tentang pemikiran filsafatnya melalui Plotinus (204-270) yang hasil karyanya dibukukan oleh muridnya, Porphyrios.

Secara ringkas Plotinus adalah filsuf pertama yang mengajukan teori penciptaan alam semesta yang dikenal dengan teori emanasi. Teori ini banyak diikuti oleh para filsuf Islam. Teori emanasi ini sebenarnya merupakan jawaban terhadap pertanyaan Thales, ± 8 abad sebelumnya, yang menanyakan apa bahan alam semesta ini. Plotinus menjawab: bahannya adalah Tuhan. Filsafat Plotinus kebanyakan bernapas mistik, bahkan tujuan filsafat menurutnya adalah mencapai pemahaman mistik. Yang paling menarik dari seluruh gagasan pemikiran filsafat Plotinus adalah tentang Metafisika.

Dalam berbagai hal, Plotinus banyak bersandar pada doktrin-doktrin Plato. Artinya ia menganut realitas idea. Sistem metafisika Plotinus ditandai oleh konsep transendens. Menurutnya, di dalam pikiran terdapat tiga realitas, yaitu; The One, The Mind, dan The Soul. Realitas yang pertama, The One, yang bisa kita artikan sebagai Tuhan adalah suatu realitas yang tidak mungkin dapat dipahami melalui metode sains dan logika. Ia berada di luar eksistensi, di luar nilai. The One itu adalah puncak semua yang ada; Ia itu maha mutlak, cahaya di atas cahaya. Kita tidak mungkin mengetahui esensinya; kita hanya mengetahui bahwa Ia itu pokok atau prinsip yang berada di belakang akal dan jiwa. Ia adalah pencipta semua yang ada. The One itu tidak dapat didekati melalui penerimaan panca indra dan juga tidak dapat dipahami lewat pemikiran logis. Kita hanya dapat menghayati adanya; artinya kita tidak dapat memikirkannya seperti ketika kita memikirkan sesuatu yang ada definisinya. Ia transenden terhadap segala makhluk. Ia hanya dapat didekati lewat tanda-tanda dalam alam.

Realitas kedua, The Mind, atau dalam istilah latinnya Nous merupakan gambaran tentang Yang Esa (The One) yang di dalamnya mengandung ide-ide Plato. Idea-idea itu merupakan bentuk asali objek-objek. Kandungan Nous adalah benar-benar suatu kesatuan. Untuk menghayatinya dibutuhkan suatu permenungan/penghayatan.

Realitas ketiga, The Soul, merupakan arsitek semua fenomena yang ada di alam ini, The Soul mengandung satu jiwa dunia dan banyak dunia kecil. Jiwa dunia dapat dilihat dalam dua aspek, iada adalah energi di belakang dunia, dan pada waktu yang sama ia adalah bentuk-bentuk alam semesta.

Tentang penciptaan, Plotinus berpendapat bahwa alam semesta ini diciptakan melalui proses emanasi (al-fâid). The One (Yang Esa) adalah yang paling awal dan merupakan Sebab Pertama. Emanasi itu berlangsung tidak di dalam waktu. Emanasi itu laksana cahaya yang membias (emanation) dari matahari. Dengan beremanasi itu The One tidak mengalami perubahan. Mengenai Emanasi ini, Muhammad Hatta melukiskan demikian:

Yang Esa (The One) itu adalah sumber semuanya, tetapi tidak mengandung di dalamnya satu pun dari barang yang banyak (makhluk). Dasar yang banyak tidak mungkin yang banyak itu sendiri, dasar yang banyak adalah Yang Esa. Di dalam Yang Esa itu yang banyak belum ada, sebab di dalam-Nya yang banyak itu tidak ada, tetapi yang banyak itu datang dari Dia. Karena Yang Esa itu sempurna, tidak memerlukan apa-apa, tidak memiliki apa-apa, maka beremanasilah dari Dia yang banyak itu. Di dalam filsafat klasik Yang Asal itu dikatakan sebagai Yang Bekerja atau sebagai Penggerak Pertama. Di situ selalu dikemukakan dua hal yang berlawanan, seperti yang bekerja dan yang dikerjakan, idea dan benda, pencipta dan ciptaan. Penggerak Pertama itu berada di luar alam nyata, sifatnya transendens.

Itulah konsep emanasi yang berasal dari filsafat timur. Sementara yang berkaitan dengan konsep emanasinya Plotinus, Hatta menjelaskan lebih lanjut:

... Tidak ada (dua hal) yang bertentangan. Padanya alam ini terjadi dari Yang Melimpah, yang itu tetap menjadi bagian dari Yang Melimpah itu. Bukan Tuhan berada di dalam alam, melainkan alam berada di dalam Tuhan. Hubungannya sama dengan hubungan benda dengan bayangannya. Makin jauh yang mengalir itu dari Yang Asal, makin tidak sempurna ia. Alam ini bayangan Yang Asal, tetapi tidak sempurna, tidak lengkap, tidak cukup, tidak sama dengan Yang Asal. Kesempurnaan bayangan itu bertingkat menurut jaraknya dari Yang Asal. Sama dengan cahaya, semakin jauh dari sumber cahaya, semakin kurang terangnya.

Penggambaran Emanasi di atas, menegaskan bahwa kemutlakan Sang Maha Tunggal(The One;Yang Esa) tak terbanding dengan lainnya. Ia transenden. Dan yang perlu diingat lagi adalah bahwa dalam Emanasi itu proses-proses di dalamnya terjadi tidak dalam ruang-waktu . Ruang dan waktu terletak pada tingkat yang paling bawah dalam proses emanasi. Ruang dan waktu adalah suatu pengertian tentang dunia benda. Untuk menjadikan alam, The Soul mula-mula menghamparkan sebagian dari kekekalan-Nya, lalu membungkusnya dengan waktu. Selanjutnya energi-Nya bekerja terus, menyempurnakan alam semesta itu. Waktu berisi kehidupan yang bermacam-macam waktu bergerak terus hingga menghasilkan waktu lalu, sekarang, dan akan datang. Waktu, dalam pemikiran filsafat Plotinus, tidak terpisah dari jiwa, ia merupakan suatu yang inheren dalam jiwa. Bila mencapai kesatuannya yang asli, artinya bila ia terpisah dari jiwa, waktu akan hilang, misalnya bila ia menyatu dengan alam semesta.

2. Neo-Pythagoras.

Walaupun bernama Neo-Pythagoras, aliran ini bukanlah kelanjutan yang murni dari filsafat Pythagoras. Sebenarnya, ajaran aliran ini bersumber dari ajaran Plato yang dicampur dengan ajaran dari Aristoteles dan Kaum Stoa. Tokoh yang terkenal dari aliran ini adalah Appolonius dar Tyana yang hidup pada abad pertama sebelum masehi. Isi ajarannya dapat dijelaskan sebagai berikut:

Yang Ilahi atau Yang Ada merupakan suatu realitas sempurna yang tidak bergerak dan tidak berjasad, sedangkan benda mengandung di dalam dirinya gerak yang tidak beraturan, yang merupakan kemungkinan murni pengandaian eksistensi segala yang ada. Yang Ilahi ini merupakan sumber idea yang merupakan gagasan-gagasan Yang Ilahi, yang menjadi pola dasar dari segala kenyataan. Segala yang ada terbentuk sesuai dengan gagasan Ilahi. Idea-idea juga merupakan bilangan. Penciptaan dunia dengan segala keanekaragamannya tidak dilakukan oleh Yang Ilahi, melainkan hasil karya dari "jiwa dunia".

Sementara manusia memiliki dua macam daya, yaitu daya untuk mengenal dunia rohani yang merupakan daya intuitif, yang timbul karena kerja sama dengan akal, dan daya pengamatan. Manusia terdiri dari jiwa dan tubuh yang saling terpisah satu dari yang lain. Jiwa terbelenggu dalam tubuh, sehingga hanya kematianlah yang dapat membebaskan diri dari pengaruh tubuhnya dengan berpantang tidak makan daging dan tidak melakukan persetubuhan misalnya.