11 Maret 2010

TEOLOGI PEMBEBASAN: RENUNGAN UNTUK AKSI

Sejarah Teologi Pembebasan: Pembacaan Teoritik

Menurut Juan Luis Segundo , munculnya teologi pembebasan di Amerika Latin berawal dari sebelum terbitnya buku Gustavo Gutierrez, A Theology of Liberation (1971). Karena sejak saat itu teologi pembebasan banyak dibicarakan, dikritik, dan diagung-agungkan hingga saat ini; juga teologi yang paling tidak dimengerti. Asumsi dasar munculnya teologi pembebasan adalah kedudukan manusia sebagai makhluk yang bebas dan merdeka. Dengan asumsi ini teologi pembebasan hendak menegaskan bahwa segala bentuk penindasan baik bersifat fisik maupun mental, dalam segala aspek kehidupan, bertentangan dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan.

Menurut Guiterrez, seperti dijelaskan dalam buku tersebut, ada tiga cara berteologi. Pertama, teologi sebagai sumber hidup rohani. Kedua, teologi sebagai pengetahuan rasional, dan ketiga, teologi sebagai refleksi kritis dalam terang Sabda Allah atas praksis hidup orang Kristen. Guiterrez menekankan teologi pembebasan dengan cara yang ketiga, yaitu sebagai refleksi kritis dalam terang Sabda Allah atas praksis hidup orang Kristen yang ikut melibatkan diri dalam pembebasan. Dengan demikian, hal pokok yang harus ada adalah praksis orang Kristen sebagai langkah pertama, sementara refleksi teologis merupakan langkah kedua. Karena itu, praksis Gereja merupakan locus theologicus. Dengan kata lain, Guiterrez memahami iman sebagai realitas historis yang menjadi nyata dalam praksis sehingga refleksi atas iman adalah juga refleksi atas praksis.

Meskipun praksis merupakan titik tolak refleksi teologis, hal ini tidak berarti bahwa refleksi teologis dimaksudkan sebagai justifikasi praksis yang sudah ada. Sebaliknya, refleksi teologis, menurut Guiterrez, harus menunjukkan nilai positif dan nilai negatif yang ada dalam praksis pembebasan. Bahkan dari refleksi teologis diharapkan adanya koreksi atas kesalahan-kesalahan yang mungkin ada.

Guiterrez menjelaskan bahwa pilihan terhadap term “pembebasan” –-dari pada term “perkembangan”-- didasarkan pada pertimbangan bahwa term tersebut lebih mengungkapkan perlunya perubahan secara radikal, suasana konflik, dan kesukaran-kesukaran yang ada. Di samping itu, term “pembebasan” digunakan karena sejarah manusia merupakan sejarah pembebasan. Karena itu, term “pembebasan” lebih dapat mengungkapkan gagasan Kitab Suci.

Term “pembebasan” (liberation), yang muncul khas Amerika Latin baru muncul pada Dokumen Medellin (1968), semula merupakan term yang dibakukan sebagai reaksi terhadap term “pembangunan” (development) yang hidup subur baik di Amerika Latin maupun di bagian bumi lainnya. Term “pembangunan” membawa misi sistem ekonomi politik liberal kapitalis. Sistem tersebut mengetengahkan dalil bahwa ekonomi politik akan meratakan hasilnya kepada semua pihak yang berperan serta di dalamnya baik dengan modal maupun tenaga yang diberikan, apabila mekanisme pertukaran pasar dibiarkan berjalan dengan sendirinya. Sistem ekonomi semacam ini justru menimbulkan jurang yang semakin dalam antara yang kaya dan yang miskin, antara negara yang kaya dan yang miskin. Situasi ini oleh CELAM II di Medellin dianggap sebagai institutionalized violence (kekerasan yang menginjak si miskin yang telah terlembagakan). Oleh karena itu, term “pembangunan” dianggap telah menjadi milik kaum penindas dan penguasa untuk membenarkan praktik penindasannya. Term yang cocok untuk kaum tertindas adalah “pembebasan”.

Sebagai counter balik terhadap ideologi globalisasi yang merusak tatanan kehidupan, dan didukung oleh struktur kekuasaan negara yang hegemonik dan otoriter serta institusi kuat seperti militer dan institusi agama (Gereja Kristen), Wahono Nitiprawiro menempatkan teologi pembebasan sebagai upaya mensiasati globalisasi dengan menawarkan paradigma dan cara bertindak yang membebaskan manusia tanpa kekerasan, atau disebut praksis, dari segala macam kedosaan yang merambah sistem kehidupan dengan segala dimensinya.
Secara historis, menurut Segundo dan Pieres, munculnya teologi pembebasan di Amerika Latin dianggap sebagai gebrakan baru dalam berteologi. Terlebih ketika teologi ini dihadapkan pada realitas di mana teologi yang ada tidak lagi berpihak kepada manusia. Hal ini pertama-tama tidak terletak pada objek kajian dan isi, tetapi pada metodenya, cara berteologi, analisis kemasyarakatan, dan locus-theologicus-nya. Sesuatu yang sama sekali berbeda dengan metode berteologi di Eropa.

Teologi pembebesan dengan jelas menggunakan metode analisis sejarah perjuangan kelas yang dimulai dengan praksis untuk mengubah basis hubungan sosial ekonomi. Dengan metode materialisme sejarah, praksis tersebut mengubah refleksi teologis yang mandeg (superstruktur). Berteologi adalah langkah kedua setelah praksis. Bagi Guiterrez, teologi bukan merupakan kebijaksanaan, bukan pula pengetahuan rasional, melainkan refleksi kritis atas praksis yang diterangi oleh Sabda Injil. Di Amerika Latin, itu berarti refleksi kritis atas praksis sejarah pembebasan. Jadi, teologi pembebasan a la Guiterrez dapat dikatakan bukan bersifat ortodoksi (memantapkan ajaran) dan bukan pula hanya ortopraksis (menuntut aspek praksis semata), tetapi bersifat heteropraksis, yaitu ortodoksi sejauh bersumber pada ortopraksis (rumusan ajaran sejauh berpangkal dari pengalaman konkret dan kembali secara baru kepada tindakan yang dituntut oleh rumusan ajaran tersebut).

Teologi Pembebasan Dalam Islam: Suatu Telaah atas Pemikiran Farid Essack


a. Tentang Farid Esack

Farid Esack lahir pada tahun 1958 di pinggiran kota Cape Town, tepatnya di Wymberg, dari seorang ibu yang ditinggal suaminya bersama lima orang anaknya yang lain di Wynberg. Sepeninggal sang ayah yang raib, Esack bersama saudara kandung dan saudara seibu hidup terlunta-lunta di Bonteheuwel, kawasan pekerja miskin untuk orang hitam dan kulit berwarna. Dalam buku Quran Liberation and Pluralism, Esack banyak mengulas kisah pahit keluarganya yang pada akhirnya sangat mewarnai cara pandang pemikiran Esack di kemudian hari.

Sementara itu, Afrika Selatan secara keseluruhan, tempat Esack dilahirkan dan dibesarkan, adalah wilayah di mana pluralitas agama tumbuh dan berkembang. Sejak kecil Esack sudah bersentuhan dengan tetangga-tetangganya yang Kristen baik di rumah maupun di sekolah. Di sekolah, ia berteman dengan seorang Yahudi bernama Frank, dan Tahirah seorang perempuan Baha’i. Di wilayah Wynberg dan Bounteheuwel, kelompok-kelompok suku asli Khoikhoin, Nguni, San dan lainnya dikenal dengan kepercayaan yang berbeda-beda, di samping penduduk asli Muslim dan pendatang baru dari Indonesia pada pertengahan abad ke-17. Ada juga penganut agama Hindu dan Yahudi yang sudah masuk pada pertengahan kedua abad ke-19, serta orang-orang Yahudi dari Eropa Timur pada awal abad ke-20.

Di tengah keterhimpitan hidup, Esack tetap rajin bersekolah meski tanpa alas sepatu dan buku-buku yang memadai. Namun, di atas segalanya, tiada pengalaman traumatik yang menggores luka keluarga Esack, kecuali tatkala ia menyaksikan ibunya menjadi korban pemerkosaan. Sebuah kenyataan pahit yang dialami keluarganya itu menjadi salah satu inspirasi penting dalam perkembangan pemikiran Esack yang meyakini bahwa berteologi bukan berarti mengurusi “urusan” Tuhan semata: neraka, surga dan lain-lain. Bagi Esack, teologi yang terlalu mengurusi Tuhan, sementara Tuhan adalah zat yang tidak perlu diurus dan dibela, adalah teologi mubazir yang terlalu banyak menyedot energi umat. Esack meyakini bahwa teologi harus dipraksiskan, bukannya digenggam erat-erat untuk tujuan kesalehan personal (individual piety). Dengan mendekati dan mengasihi makhluk-Nya, demikian Esack, maka kita sama saja telah mengabdi kepada Tuhan. Satu pengalaman eksistensial lainnya yang berkaitan dengan berteologi praksis di atas, yang melampaui batas demarkasi ideologis sempat dialami Esack dan keluarganya. Yaitu tatkala kesulitan hidup makin mendera, keluarga Esack sangat bergantung kepada para tetangga Kristen yang selalu rutin memberi makanan ala kadarnya. Hubungan sosial yang begitu harmonis yang bahkan mengatasi sekat agama itulah yang mendorong Esack lebih supel dalam bergaul.

b. Konsep Teologi Pembebasan Essack

Dalam pandangan Essack, cara berteologi yang dikembangkan para teolog pembebasan Amerika Latin menemukan relevansinya dalam konteks perjuangan rakyat Afrika Selatan. Di bawah kekuasan politik apartheid (white tribe) yang minoritas, rakyat Afrika Selatan (black tribe) sebagai warga mayoritas harus menerima kenyataan menjadi objek penindasan dan perlakuan yang bersifat rasialis, yang tidak jarang mendapatkan legitimasi jargon-jargon agama (Islam) oleh elit agama yang akomodasionis. Karena itu, Esack memaknai iman sebagai suatu keyakinan yang lahir dari perjuangan menegakkan keadilan dan kesetaraan.

Berangkat dari sejarah teologi pembebasan ini, Esack memaknai teologi dalam Islam dalam kerangka pembebasan manusia dari penindasan. Untuk merumuskan konsep teologinya tersebut, Essack menjadikan Al-Qur’an sebagai landasan argumentatifnya. Penjelasan konsepnya tersebut dapat dilihat di bawah ini:

Konsep-Konsep Pokok Teologi Pembebasan dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an sebagai pedoman dasar bagi umat Islam, memiliki konsep-konsep kunci yang menurut Essack merupakan landasan berpijak bagi teologi pembebasannya.

Adapun konsep-konsep kunci tersebut adalah takwa (al-taqwa), tauhid (al-tawhid), manusia (al-nas), kaum tertindas (al-mustad’afuna), keadilan (‘adl dan qisth) dan perjuangan (jihad). Dua konsep pertama, takwa dan tauhid, meskipun terfokus pada pembangunan kriteria moral dan doktrinal-teologis, namun keduanya lebih dipahami dalam konteks histotis-politik tertentu.

Dua konsep berikutnya, manusia dan kaum tertindas, menetapkan pada aktifitas dan lokasi sosial seorang penafsir. Konteks sosial seorang penafsir sangat berperan terhadap hasil interpretasi. Dan, seorang penafsir mempunyai kebebasan memposisikan dirinya dalam suatu lokasi dan episode tertentu untuk menghasilkan jenis dan hasil interpretasi tertentu. Dua konsep terakhir, keadilan dan perjuangan (jihad), merefleksikan suatu metode dan etos yang membentuk dan menghasilkan pemahaman kontekstual tentang teks-teks al-Qur’an dalam masyarakat yang diwarnai ketidakadilan.
Eksodus (Hijrah) sebagai Paradigma Teologi Pembebasan

Kunci pokok lainnya bagi teologi yang membebaskan adalah fenomena eksodus. Fenomena eksodus dalam al-Qur'an ini bagi kalangan Islamis Afrika Selatan merupakan cermin dalam memaknai kembali ajaran-ajaran al-Qur'an. Pemaknaan ini tidak hanya terjadi dalam situasi sejarah aktual mereka, tetapi juga di dalam konteks perkembangan berbagai ideologi yang saling berkembang dalam gerakan pembebasan.

Dalam pandangan Esack, menggunakan paradigma religius-historis pra-Mekkah adalah sama tuanya dengan Islam itu sendiri. Beberapa tema dalam paradigma eksodus lebih terkait langsung dengan dengan situasi umat Islam Afrika Selatan daripada peristiwa Mekkah dan Madinah generasi awal. Meskipun paradigma ini tidak dapat dianggap sebagai skema dasar pemikiran teologi Islam progresif, tetapi ia merupakan contoh penting dari teologisasi yang membebaskan. Esack menggarisbawahi dua tema pokok paradigma eksodus dan bagaimana keduanya digunakan selama perjuangan. Pertama, sebuah visi masa depan yang didasarkan atas pemenuhan janji Allah kepada kaum mustad'afin. Kedua, legitimasi bagi prinsip-prinsip dan strategi politik di dalam perjuangan untuk pembebasan.

Tema kematian tirani yang tak terhindarkan dan sebuah visi pembebasan dari beberapa teks pertama surat Qashash, menghasilkan tiga elemen utama sebagai konsep pembebasan baru dari hermeneutika al-Qur'an. 1) Allah dengan sengaja berpihak kepada kaum tertindas dan marjinal; 2) Pembebasan selalu didasarkan atas penghapusan penindasan dan terkadang atas penghancuran kaum penindas; dan 3) Visi pembebasan diberikan kepada mereka yang tertindas dan tidak harus kepada mereka yang beriman atau hidup dalam kebajikan. Elemen pertama dijelaskan Esack dengan:

"Realitas di mana kita hidup dicirikan oleh penindasan, kemiskinan, ekploitasi bumi dan manusia, perjuangan di antara kelas, dan oleh ketiadaan komitmen jenis apapun kepada Allah sebagai Sang Pemelihara. Lebih dari dua pertiga umat manusia sengsara karena mereka berasa di dasar sistem, tempat kaum tak berdaya. Kita mesti menemukan sebuah pemahaman tentan Islam yang berhubungan dengan realitas ini."

Esack melihat tiang fondasi hermeneutika pembebasan sedang diperkenalkan. Perbedaan pemahaman tentang Islam diakui dan sebuah pilihan sadar dibuat untuk menerima pemahaman tertentu dan menolak pemahaman yang lain. Esack memiliki pilihan: memilih sistem nilai yang menindas dengan mengabaikan Allah dan kaum tertindas, atau memilih mereka dan mencari jalan serta alat untuk menerobos dan pergi melampaui sistem yang belaku. Menurut Esack, Allah memilih yang terakhir.

Kebanyakan penafsir klasik sepakat bahwa janji keutamaan (al-immah) ada di dalam dunia dan agama (fi al-dunya wa al-aldin). Mayoritas mereka juga berpendapat bahwa pewarisan bermakna pemerintahan dan kerajaan (wulatan wa mulkan). Di sini, visi dengan kesalehan yang berlebihan, yang membatasi pemenuhan janji Allah secara esensial pada masa depan eskatologis, secara tidak langsung ditolak. Dengan demikian, versi ortodoks doktrin Sunni yang sering memfasilitasi sebuah persetujuan diam-diam yang fatalistik atas penindasan dibalik. Penolakan ini terlihat dalam kutipan yang dimuat dalam Seruan:

"Terdapat beberapa... yang mengatakan bahwa penindasan berada dalam takdir kita... apabila penindasan berada dalam takdir kita maka pembebasan juga merupakan takdir kita..."

Elemen kedua, seperti dijelaskan Esack, adalah bahwa ayat-ayat ini mendasarkan pembebasan pada penghancuran kaum penindas dan menyokong tujuan ganda perjuangan Afrika Selatan; mengakhiri apartheid dan penciptaan sebuah masyarakat yang bebas. Terhadap orang-orang yang menginginkan kebebasan tetapi tanpa banyak pengorbanan, ayat-ayat ini berperan sebagai pengingat bahwa penghancuran penindasan adalah prasyarat dari restrukturisasi masyarakat.

Elemen ketiga dijelaskan Esack sebagai berikut:

"Penindasan adalah kejahatan pada dirinya dan pembebasan adalah kebajikan dalam dirinya –terlepas dari bagaimana kaum tertindas memperlakukan pembebasan. Nabi Musa membebaskan rakyatnya dari penindasan Fir'aun...terlepas dari kenyataan bahwa mereka jelas tidak siap untuk kebebasan mereka."

Pada bagian akhir dari tema pertama ini, Esack menggarisbawahi bahwa identifikasi Allah dengan kaum tertindas –-yang tidak harus muslim—- merupakan embrio untuk sebuah teologi agama-agama, yang menerima keabsahan keyakinan (non-Islam) kaum tertindas. Teologi yang seperti ini akan muncul dari sebuah teologi pembebasan. Hassan Solomon, yang saat itu merupakan tokoh Seruan, menjelaskan bahwa persatuan kaum tertindas adalah yang paling pokok. Semua utusan Allah berada dalam satu persaudaraan. Pesan mereka pada dasarnya adalah satu dan ajaran mereka adalah satu.

Surat Qashash dan paradigma eksodus menjadi penting bagi pembentukan atau keabsahan wacana ini, seperti tercermin dalam beberapa prinsip di bawah ini.

Pertama, prinsip non-kolaborasi. Prinsip ini berarti penolakan untuk berpartisipasi di dalam struktur politik rezim apartheid. Dari perspektif Islam, seperti dikutip Esack dalam terbitan Qiblah, tidak akan pernah ada kehidupan yang damai di antara penindas dan tertindas, Musa dan Fir'aun. Umat muslim juga tidak akan berkompromi dengan penindasan, eksploitasi, dan ketidakadilan. Namun demikian, lanjut Esack, tidak hanya penentang apartheid yang menggunakan beberapa aspek dari paradigma eksodus untuk legitimasi teologis. Pendukung kolaborasi juga mencari dukungan dari paradigma eksodus. Apabila pembangunan politik adalah penyebab dari semua penindasan ini, maka bukankah kita seharusnya menjadi bagian dari pemerintahan untuk menyelesaikan masalah ini? Bukankah al-Qur'an memerintahkan Musa untuk berbicara dengan Fir'aun mengenai kebebasan kaum Israel?. Terhadap pertanyaan ini, Esack memberi penjelaslan sebagai berikut:

"Meskipun memang benar Musa pergi untuk menuntut kebebasan bagi umatnya, tetapi ia tidak menjadi bagian dari sistem mereka, (juga tidak) tinggal di sana. Ia hanya menyatakan tuntutannya dan pergi."

Dengan demikian, berkolaborasi dengan apartheid atas dasar interaksi Musa dengan Fir'aun tidak dapat diterima. Meskipun surat Qashash juga memuat kisah tentang prinsip kolaborasi, namun ia tidak dilambangkan oleh Musa, tetapi oleh Qarun, yang dalam bahasa perjuangan disebut sebagai "pengkhianat".

Kedua, prinsip perjuangan lintas-kelas/ warna-kulit. Mengutip pernyataan Ibrahim Rasool, Sekretaris Nasional Seruan, Esack menjelaskan bahwa perjuangan ini tidak mengenal demarkasi atau garis pembeda kelas atau ras yang jelas. Konsep bahwa semua orang kulit putih adalah jahat dan semua elemen borjuis tidak dapat dipercaya, ditolak sebagai tidak Islami. Untuk menyatakan penolakan ini, sebuah dokumen Seruan menyatakan bahwa Islam tidak menilai orang atas dasar ras dan warna kulit atau asal kelas sosial.

Penolakan Seruan ini didasarkan pada penggunaan paradigma eksodus secara luas dan merujuk ke hal-hal berikut: Islamnya Aisyah binti Mazahim, istri Fir'aun, yang dalam al-Qur'an digambarkan sebagai seorang yang beriman dan memiliki spiritualitas yang tinggi. Kemudian, Islamnya para penyihir. Meskipun mereka mendapatkan keuntungan dari kedekatan mereka dengan istana Fir'aun, tetapi mereka masih menerima pesan Islam dan, secara tidak langsung, juga menerima pembebasan Bani Israil.

Dan rujukan terakhir adalah Musa dibesarkan sebagai seorang anak kelas penguasa. Merujuk pada cara Musa dibesarkan di istana Fir'aun, AH Johns mengatakan bahwa kehidupan di istana memiliki gayanya sendiri, dan tanpa bisa dihindari, hal itu berpengaruh pada individu yang tumbuh menjadi dewasa di lingkungan tersebut, tidak peduli seberapa besar pengertian dan sensitifitas individu tersebut. Atas pernyataan ini Esack meyakini bahwa asal kelas sosial Musa nampaknya tidak menghalangi pemilihan dirinya sebagai pembebas umatnya. Gagasan yang disebut Rasool sebagai kebaikan potensial yang inheren dalam diri manusia, terlepas dari apa asal kelas sosial dan ras mereka, terikat rapi dengan ideologi ND yang menyatakan bahwa semua kekuatan terlepas dari ras atau warna kulit adalah sekutu di dalam perjuangan melawan apartheid.()

ADA APA DENGAN CINTA?

Diskursus cinta adalah tema abadi yang senantiasa tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Ia sesuatu yang fitri sekaligus manusiawi. Artinya, setiap dari kita mesti akan mengalami apa yang namanya cinta, entah mencintai ataupun juga dicintai.

Berbicara cinta dalam ranah remaja seringkali tema ini menjadi hal yang complicated (begitu jelemet) karena biasanya bercampur baur dengan dimensi lainnya, seperti nafsu birahi, fantasi-fantasi (auham) dan gejolak-gejolak yang sering kali destruktif. Pertanyaan mengenai apakah cinta (sebagai kata benda) dapat memotivasi seseorang meraih prestasi atau bahkan menjerumuskannya pada kegagalan adalah persoalan-persoalan yang sering menimpa para remaja kita ketika sedang menempuh pendidikannya. Di akui atau tidak, fakta atau fenomena sosial yang terjadi akhir-akhir ini begitu menggelisahkan kita semua khususnya dikalangan pelaku pendidikan. Berapa banyak kasus siswa/siswi dengan atas nama cinta merelakan kehormatannya demi “cinta” yang katanya fitri itu, atau atas nama “cinta” pula sering juga mereka putus sekolah untuk mengejar mimpi-mimpi sesaat. Yah.. begitulah cinta dimaknai, ditafsiri, dipraktekkan oleh mereka yang memuja cinta sekaligus menghempaskannya pada kuburan sejarah yang kelabu. Kita merenung, apakah itu yang namanya Cinta !

Memaknai cinta seperti di atas, tentu jauh api dari panggang. Cinta membutuhkan kesiapan, cinta membutuhkan mental kedewasaan, dan tentunya cinta membutuhkan pengorbangan. Karena cinta bukan barang biasa maka semestinyalah ia juga diperlakukan secara istimewa. Di antara kita, banyak yang mengartikan cinta hanya sebatas hasrat untuk memiliki pasangan jenis kita (baca: pacar). Ataupun yang lebih parah, cinta hanya untuk cipika-cipiki agar tampak bahwa kita saling mencinta. Dan ada banyak lagi hal-hal yang lainnya. Tapi menurut saya, cinta dalam pengertian itu adalah cinta dalam maknanya yang sangat umum –bahkan bisa jadi itu bukan cinta– makanya, pacaran atas dasar cinta demikian tidak jarang membunuh pemiliknya sendiri, menggagalkan cita dan masa depannya. Sementara cinta pada dimensinya yang dalam (substansial), senantiasa menginspirasi seseorang untuk melakukan hal-hal positif, berfikir logis ataupun memperkaya intuitifnya untuk lebih mengenal sesama atau bahkan mengenalkannya pada sang “pemilik hakiki” dari cinta itu sendiri; yaitu, Tuhan. Nah.. mungkin pada makna cinta yang kedua inilah, ia menjadi motivator untuk meraih prestasi dan cita-citanya. Kalaupun istilah “pacaran” harus ada, tentunya harus didasarkan pada model makna cinta yang kedua ini; mencerahkan (enlightment), menginpirasikan (inspiration), dan mencerdaskan.

Pacaran pada model cinta yang kedua, adalah ta’aruf dalam konteks Islam jika kaitannya dengan sesama makhluk. Ta’aruf dilakukan untuk penjajakan, saling mengenal. Tujuannya agar terjadi kehamonisan dan kebahagiaan dikemudian hari jika biduk rumah tangga telah terajut. Ta’aruf adalah solusi bagi kita untuk memastikan dan menguji cinta itu apakah cinta-birahi atau cinta-suci. Kita percaya bahwa cinta suci tak ada dibelakangnya nafsu kotor yang hanya biologis-oriented. Mengejar kenikmatan sesaat dan mengorbankan kebahagian abadi. Opini saya tentang pacaran yang membawa mashlahah pada prestasi harus dilihat dalam kontek cinta model apa yang dianutnya. Cinta madhhab birahi atau cinta madhhab ilahi/suci? Dimanakah cinta kita ![]