23 Januari 2009

Membongkar Mitos Keperawanan

Tidak ada yang salah, ketika Tuhan meletakkan selaput darah yang kemudian dikenal dengan keperawanan itu, kecuali hasrat, keinginan, dan penafsiran manusia yang membuatnya menjadi malapetaka bagi kaum hawa.

Pra Wacana

Istilah mitos sebenarnya merujuk pada kata mythos yang berasal dari bahasa Yunani. Istilah ini, pada awalnya digunakan untuk menggambarkan suatu narasi (cerita). Dan selanjutnya mitos didefinisikan sebagai suatu narasi karena sering diceritakan kembali menjadi diterima di dalam suatu masyarakat. Sebutlah misalnya mitos keperawanan yang akan kita bahas ini. Banyak cerita yang termuat di sekitar keperawanan, yaitu mengenai selaput dara, wanita suci, sundel dan lain sebagainya.
Keperawanan selalu identik dengan dunia perempuan, ia dideskripsikan sebagai suatu keadaan yang diberikan pada seseorang yang dikaitkan dengan apakah ia telah melakukan hubungan seksual atau belum. Ada beberapa mitos yang berkembang di sekitar konsep ini, misalnya; perempuan yang masih perawan pasti “berdarah” pada malam pertama, keperawanan terkait dengan utuhnya selaput dara. Ditambah lagi, dalam primbon kuna, ada indikasi-indikasi lahir yang dapat dijadikan acuan, misalnya; pantatnya turun, biasanya badannya mekar (bukan gemuk), cahaya mata tidak bersinar, lengannya nggelambir dan lain sebagainya. Mitos lainnya yang kalah serunya adalah menstruasi dan kecantikan. Mitos-mitos itu bukan saja berdimensi kultural ataupun biologis tapi juga teologis. Dalam mitos menstruasi misalnya, terdapat keterkaitan antara perempuan (sebagai mikrokosmos) dan alam semesta (makrokosmos). Keterkaitan ini menjadikan perempuan sebagai penyebab bencana-bencana di alam ini. Oleh karenanya, konsep menstruasi terkait dengan mitos-mitos seperti: menstruasi adalah kotor, membahayakan hubungan seks, mengganggu kesehatan, mengganggu keteraturan sosial, pengucilan ke suatu tempat, dan kutukan Tuhan (divine creation). Konsep menstruasi ini kemudian juga melahirkan suatu mitos yang lain; kecantikan. Lebih jauh mitos di sekitar menstruasi, dalam lintasan sejarahnya, sangat mempengaruhi prilaku dan etos kerja perempuan. Mulai prilaku seksual, merias diri, memilih warna pakaian sampai memilih posisi tempat duduk. Seperti halnya penggunaan kosmetik. Kosmetik digunakan sebagai cara untuk menghindari dari pelanggaran terhadap menstrual taboo. Pada awalnya penggunaan kosmetik ini hanya dilakukan oleh orang yang menstruasi saja, anak-anak yang belum mengalami menstruasi, orang tua yang sudah menopose, ataupun kaum laki-laki tidak harus menggunakan kosmetik. Hanya saja perkembangannya, seperti saat ini, seolah-olah tidak sah menjadi perempuan tanpa kosmetik.
Imaji ataupun streotipe yang melekat pada perempuan, seperti yang tergambar dalam mitos di atas, semakin menguat dan mengeras dalam tradisi-tradisi kultural disertai proses sejarah yang panjang. Mitologisasi itu kemudian melahirkan suatu bentuk konstruksi sosial yang ‘tidak aman’ bagi perempuan. Muncullah diskriminasi, subordinasi, dan bentuk penyingkiran peran, posisi ataupun eksistensi perempuan itu sendiri. Seperti yang tampak dalam mitos tentang keperawanan. Mitos ini memunculkan beberapa asumsi yang bernada negatif, misalnya; sebagai korban pemerkosaan, janda, perempuan nakal, penghibur, dan sebagai akibatnya menurunkan ‘harga seorang perempuan’ tidak saja bagi dirinya tapi juga keluarganya.
Keperawanan, ujar Nawal el Saadawi, adalah aturan moral yang terbatas hanya pada gadis-gadis saja, hanya saja kaidah moral ini tidak diterapkan secara merata dalam masyarakat kita. Walhasil, tidak jarang konsekuensi logisnya melahirkan bentuk diskriminasi turun-temurun terhadap perempuan. Karena dominasi laki-laki itulah, pada gilirannya memperbolehkan diri mereka berbuat, menilai, menciptakan citra apapun. Kesucian dan keperawanan dianggap penting bagi perempuan sementara kebebasan dan bahkan kebejatan dipandang sebagai suatu hal yang lumrah bagi laki-laki.
Banyak orang mempercayai konsep keperawanan ini, bahwa Tuhan telah menakdirkan bagi perempuan sebuah selaput dara sebagai alat untuk membuktikan keperawanannya. Karena hal itu merupakan ‘kodrat’ bagi perempuan maka sudah semestinya seorang perempuan menjaga, dan memeliharanya dengan segenap kemampuannya. Beban yang diberikan kepada seorang perempuan, pada awalnya sebenarnya membawa ‘misi suci’ yaitu bagaimana ia memelihara kemaluannya, dan kalau dia mampu menjaganya maka kata Tuhan dia termasuk ‘orang-orang yang beruntung’ (Q.S. al-Muslimun : 05).
Hanya saja kemudian, konsep keperawanan ini mengalami suatu pergeseran wacana dari sifatnya yang suci (tidak hanya bagi perempuan saja tapi juga lelaki) menjadi suatu bentuk konstruksi pengalaman yang melibatkan interpretasi yang didominasi oleh jenis kelamin tertentu untuk menjatuhkan eksistensi perempuan. Pengalaman-pengalaman historis itu kemudian menguat menjadi suatu bentuk keyakinan yang menyamai doktrin agama. Di sinilah kemudian menjadi sangat tipis untuk membedakan mana yang kultural dan mana yang doktrin, mana yang harus dipegang sebagai ajaran yang absolut dan mana yang hanya konstruksi sosial yang bersifat relatif-interpretatif.

Beberapa Kasus Keperawanan

Beberapa waktu lalu kita dikejutkan oleh hasil penelitian yang dilakukan LSC Pusbih (Lembaga Studi Cinta dan Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora) di Jogjakarta, lepas dari validitas penelitian tersebut, ada fakta yang memperlihatkan sebanyak 97,05 % mahasiswa Jogja hilang kegadisannya saat masih kuliah. Tragisnya, semua responden itu menyatakan bahwa hubungan itu dilakukan secara suka sama suka. Kasus serupa juga menimpa di Jatinangor Jawa Barat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Teddy Hidayat, lebih dari 75 % responden mengaku melakukan hubungan seksual di luar nikah. Sementara itu, dari hasil penelitian sebuah LSM, lebih dari 50 % pria yang sedang berpacaran menghendaki (bahkan memaksa) pasangan wanitanya melakukan “oral seks”. Jika permintaannya ditolak, sang pria biasanya langsung memutus hubungan pacaran mereka. Dari dua kasus ini, dapat kita simpulkan bahwa hubungan seksual di luar nikah menjadi sebuah tren, lumrah dan mudah. Sementara urusan keperawanan dan kesucian tidak lagi menemukan ruang sakral dan terhormat yang mesti ditutup dan dijaga rapat.
Kasus lainnya yang juga menarik adalah apa yang terjadi di Mesir, seperti yang dimuat dalam The Iraqi Medical Journal, artikel yang ditulis oleh Dr. Wasfy Muhammad Ali pada tanggal 21 Pebruari 1972 menceritakan tentang bagaimana berartinya sebuah keperawanan bagi seorang suami di Mesir dengan melibatkan diagnosis seorang dokter. Dan akhirnya diagnosis sang dokter mengatakan bahwa si perempuan tadi sudah tidak perawan lagi. Sehari sesudahnya, perempuan itu dibunuh oleh sepupunya meski dia telah membantah tuduhan itu. Tubuh di korban kemudian diperiksa oleh petugas mayat dan ternyata terlambat untuk membuktikan bahwa diagnosa dokter pertama adalah keliru. Demikianlah, seseorang telah dikorbankan atas nama “keperawanan”.
Apa yang terjadi, dan telah menjadi tradisi turun-temurun dalam masyarakat Mesir itu bahwa pentingnya nilai perawan bagi seorang suami (dan juga keluarganya), telah mengingatkan kita pada tradisi-tradisi di dunia. Mungkin di Barat orang tidak begitu mempersoalkan keperawanan dalam suatu rumah tangga, tapi di sana keperawanan menjadi simbol bagi suatu peralihan masa dari masa anak-anak menjadi usia dewasa. Beda misalnya dalam tradisi dunia Timur, seperti negara-negara Arab; Mesir, Arab Saudi, Sudan, Yaman dan beberapa negara teluk, bahkan juga di Indonesia dan Malaysia. Terdapat tradisi bahwa keperawanan merupakan suatu yang berarti karena selain menyangkut kehormatan dan harga diri juga, katanya, rasanya beda. Di Jawa biasanya pada malam pengantin pertama, ada tradisi menggelar kain putih sebagai sprei nya, untuk membuktikan perawan atau tidak. Di Palembang juga terdapat kepercayaan bahwa ‘mending menjadi perawan tua ketimbang kawin sama laki-laki yang tidak disukainya’. Di Mesir biasanya menggunakan jasa seorang daya untuk membuktikan perawan atau tidak.
Akar tradisi ini, menurut Nawal, adalah suatu penilaian moral yang diletakkan pada perempuan. Suatu konsep kehormatan yang lebih banyak menguntungkan laki-laki. Kehormatan seorang laki-laki terpelihara sepanjang anggota keluarganya yang perempuan menjaga keutuhan selaput daranya. Seorang laki-laki bisa jadi adalah seorang perayu wanita kelas kakap tapi masih dianggap sebagai laki-laki terhormat selama wanita-wanitanya mampu menjaga organ kelaminnya. Selanjutnya Nawal mengatakan, ada beberapa standar moral tertentu bagi perempuan dan standar moral lainnya bagi laki-laki. Seluruh masyarakat diserap oleh standar moral semacam ini. Akar dari situasi yang ganjil ini terletak pada kenyataan bahwa pemahaman seksual dalam kehidupan seseorang laki-laki adalah sumber kebanggaan dan simbol kejantanan sementara pengalaman seksual dalam kehidupan perempuan adalah sumber aib dan simbol keburukan.
Dari beberapa kasus yang terungkap di atas, kita dapat melihat dua polarisasi terhadap konsep keperawanan, (1) keperawanan sudah tidak lagi dianggap sebagai suatu yang sakral dan karenanya tidak harus dipermasalahkan, dan (2) keperawanan memiliki nilai sakral karenanya ia menjadi ukuran moral sekaligus sosial dan seyogianyalah dijaga dan dipertahankan.

Bagaimana dengan Islam ?

Konsep keperawanan dalam Islam sebenarnya masih memunculkan tanda tanya besar. Dalam beberapa ayat Alquran tidak ada yang secara khusus membicarakan tentang konsep keperawanan, bagaimana hukumnya, apa konsekuensinya dan sebagainya. Dalam Alquran hanya dijelaskan tentang orang-orang yang menjaga kemaluan, larangan berzina, haid, sama sekali tidak membicarakan secara khusus tentang keperawanan. Salah satu ayat yang penting dikutip adalah QS. al-Israa’:32 “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. Kata لاتقربوا الزنا dalam ayat itu mencakup juga segala hal yang dapat memicu timbulnya perbuatan zina. Dan di sini jelas bahwa menjaga keperawanan dalam arti tidak melakukan hubungan seksual merupakan suatu ajaran yang ditekankan dalam Islam.
Dalam hadis-hadis Nabi, konsep keperawanan terkait erat dengan; anjuran mencari calon istri, dan perzinaan. Seperti Rasulullah pernah bersabda kepada Jabir ketika beliau kembali dari perang Dzatur Riqa’: “Wahai Jabir, apakah nanti kamu akan kawin?” Jabir menjawab: “Ya, wahai Rasulullah.” Nabi bersabda: “Dengan janda atau perawan?” Jabir menjawab: “Janda”. Sabda Nabi lagi: Mengapa bukan perawan, supaya kamu dapat bergurau dengannya dan ia dapat bergurau denganmu?” Saya menjawab: “Sesungguhnya ayahku telah wafat saat perang Uhud, sedang beliau meninggalkan tujuh anak perempuan kepada kami. Oleh karena itu, aku menikah dengan seorang janda perempuan yang ‘mempuni’, ia dapat mengasuh mereka dan melakukan kewajiban terhadap mereka.” Sabdanya: Engkau benar, Isnya Allah” (H.R. Bukhori Muslim).
Ada banyak lagi hadis-hadis senada yang mirip redaksi di atas dengan penekanan pada anjuran memilih istri yang masih perawan.
Hadis di atas selanjutnya menjadi landasan anjuran mencari istri yang masih perawan. Mengapa perawan? karena dalam penjelasan hadis itu dikatakan bahwa perempuan yang masih perawan hatinya masih polos dan bersih. Sehingga besar kemungkinan tercipta suatu kemesraan yang terjalin di antara keduanya (suami istri). Penjelasan ini merujuk pada kalimat dari hadis tersebut: تلاعبها وتلاعبك (engkau bisa bergurau dengannya dan ia pun bisa bergurau mesra denganmu). Penafsiran terhadap hadis ini jelas mengasumsikan suatu bentuk idealitas tertentu dari seorang istri yang dibayangkan oleh sang penafsir teks itu terhadap maksud perkataan Nabi, suatu keharmonisan yang mendatangkan baldah wa rahmah. Interpretasi ini jelas mempra-asumsikan sebuah relativitas pengalaman bagi seorang perawan. Baik mengenai hubungan seksualitas, pergaulan dengan laki-laki dan pengalaman ‘percintaan’. Dengan relativitas pengalaman ini suatu kemesraan besar kemungkinan akan diraih. Jadi di sini, sang penafsir mencoba memahami konteks keperawanan tidak hanya dalam dataran fisik (biologis) tapi juga pengalaman non-fisik. (baca: berpacaran, dll.) Kalau asumsi ini kita bawa pada saat sekarang, sulit sekali kita mendapatkan seorang gadis yang benar-benar perawan. Terbukanya sekat-sekat budaya dan terciptanya suatu kondisi yang kondusif dalam pergaulan karena sistem yang membungkus kita sekarang bukan lagi sistem tertutup tapi adalah sistem yang malah memperlebar hubungan baik laki-laki dan perempuan saling intens berdialog, maka mencari seorang perawan dalam konstruksi di atas, seperti pungguk merindukan bulan.
Dalam konteks ini, kita dapat mengatakan bahwa dalam Islam sendiri makna penting keperawanan lebih mengacu pada konteks kesucian diri (karena menjaga kemaluannya), kepolosan hati (karena belum banyak pengalaman hubungan dengan lelaki atau seksualitas) atau juga dalam terma fikih perempuan perawan dianggap orang yang pemalu dan tak bisa mewakili dirinya sendiri sehingga ‘diamnya seorang perempuan perawan adalah jawabannya’ ( سكوتها جوابها ). Atau juga dalam sebuah hadis diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a katanya: Bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Jangan mengawinkan seorang perempuan janda sehinggalah diminta persetujuan serta mengadakan perbincangan dan jangan mengawinkan seorang gadis sehinggalah diminta persetujuannya. Para Sahabat bertanya: Bagaimana hendak mengetahui persetujuan seorang gadis. Baginda menjawab: Dia diam” (hadis Bukhari Muslim).
Dengan demikian, terdapat suatu anggapan bahwa perempuan mempunyai suatu konstruksi sosial tersendiri dibanding laki-laki. Bentuk sosial itu sedemikian complicated dan sempit. Sebenarnya konsep keperawanan merujuk tidak hanya bagi perempuan tapi juga laki-laki (seperti dalam Q.S. al-Muslimun: 05), hanya saja konstruksi kultural dan historis itulah yang menyebabkan adanya interpretasi yang dominatif dan akhirnya menyebabkan posisi perempuan menjadi ‘terlemahkan’.

“Mitos Keperawanan”: Kekerasan melalui seksualitas

Wacana keperawanan ini, kini telah menjadi suatu wilayah yang tidak hanya melemahkan posisi perempuan tapi juga telah membentuk suatu realitas sosial yang mengandung interest tertentu, khususnya dalam suatu masyarakat di mana laki-laki memiliki kekuasaan yang lebih dibanding perempuan. Pola relasi kuasa ini telah menyebabkan suatu hegemoni wacana di luar realitas biologisnya. Peran basis-basis kebudayaan dalam pembentukan struktur yang hegemonis tampak dari apa yang dikatakan oleh Greer:

The permeation thoughout civil society … of an entire system of values, attitudes, beliefs, morality, etc., that is one way or another supportive of the established order and the class interest that dominate it …. to the extent that is prevailing consciousness is internalized by the broad masses, it becomes part of ‘common sense’ … For hegemony to assert itself successfully in any society, therefore, it must operate in a dualistic manner: as a ‘general conception of life’ for the masses and as a ‘scholastic programme’ (dikutip dalam Good, 1994: 57).

Dalam bahasa Byron Good, jelas bahwa suatu representasi memperlihatkan adanya kepentingan elite yang berkuasa, baik secara sosial, politik, maupun ekonomi. Aspek kepentingan nampaknya menjadi aspek dominan yang melibatkan berbagai social agency, tidak hanya dalam pembentukan pengetahuan dan tindakan dalam berbagai bentuk. Satu catatan penting yang dibuat oleh Byron Good adalah adanya penyadaran tentang konsep resistensi terhadap berbagai dominasi yang berasal dari luar individu, yang dalam berbagai bentuknya merupakan respons langsung maupun tidak langsung terhadap streotipe dan berbagai bentuk tekanan terhadap perempuan dalam berbagai bentuk bahasa kekerasan.

Persoalan mendasar di sini adalah realitas biologis selaput dara yang kemudian memunculkan konsep keperawanan itu telah disalahgunakan oleh pihak lain dalam suatu struktur kekuasaan yang rumit. Selaput dara yang secara biologis melekat pada perempuan secara medis tidak mempunyai fungsi apapun dalam tubuh, seperti halnya usus buntu, bila ia memiliki fungsi yang penting tentu kita tidak akan menjumpai betapa banyak gadis yang dilahirkan tanpa selaput dara sama sekali. Bila selaput dara adalah organ yang penting untuk memelihara keperawanan, tentu saja Tuhan atau alam akan benar-benar menjamin bahwa semua selaput dara berdarah pada persanggamaan pertama, sementara kenyataannya hanya sekitar 30% gadis tidak berdarah selama aktivitas seksual pertama, hal ini karena beragamnya bentuk selaput dara itu. Apakah ini artinya? Tuhan pasti tidak sedang menghukum gadis-gadis ini dengan tidak memberi mereka selaput dara yang baik, sebuah selaput dara yang dapat berdarah sehingga mereka bisa menunjukkan keperawanannya.

Pergeseran wacana berupa pemitosan keperawanan ini pada definisinya yang paling sederhana merupakan suatu ‘kepentingan’ yang dihadirkan oleh pihak tertentu sehingga menyebabkan terbentuknya realitas yang berlapis-lapis yang menjauhkan pemahaman terhadap subjektivitas perempuan. Aspek keperawanan yang paling nampak adalah adanya standarisasi moral yang sebenarnya mengarah pada kekerasan seksualitas. Seksualitas perempuan telah dianggap tidak suci lagi oleh karena itu ia harus “disingkirkan” dari komunitasnya karena mencoreng harkat dan martabat keluarga. Oleh karena itu Mitos tentang seksualitas perempuan secara umum cenderung direproduksi dengan menegaskan perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam bentuk aturan-aturan yang mendapatkan pengesahan sosial secara luas. Cara seperti ini sesungguhnya merupakan pemaksaan dari suatu realitas bahasa yang dalam bahasa Foucault merupakan, the way in which sex is put into discourse. Siapa yang membicarakan, dari sudut apa, dan untuk kepentingan apa merupakan isu penting yang harus dikaji secara sungguh-sungguh. Jika keperawanan dianggap suatu “ukuran moral” yang setiap perempuan harus menjaga dan memeliharanya, maka “anggapan” tersebut merupakan suatu kejahatan dan “pihak” yang membangun citra tersebut sebagai pelaku kejahatan seandainya asumsi itu kemudian merugikan kaum hawa.

Kesimpulan

Dari berbagai artikulasi di atas, adanya pemitosan terhadap keperawanan merupakan suatu usaha yang dibangun untuk memunculkan streotipe kultural yang mendiskriditkan perempuan pada pojok penindasan yang diakui secara luas baik dengan legitimasi agama, budaya, adat, ataupun kepercayaan-kepercayaan setempat dalam rentang waktu sejarah yang panjang.
Tentu saja, proyeksi ini mempunyai akibat-akibat yang harus dibayar mahal oleh perempuan. Mereka menderita baik secara psikologis, sosiologis ataupun historis. Posisi mereka yang lemah semakin dilemahkan dengan sistem yang sama sekali tidak imbang untuk bersaing. Meski seperti yang dikatakan oleh Foucault bahwa setiap kekuasaan (atau ideologi) pada akhirnya mendapat lawan tanding, tapi untuk saat ini, hal itu tak mungkin terjadi. Akumulasi persoalan yang terlibat baik karena bias-bias dalam budaya dan interpretasi agama, juga politik kepentingan yang cenderung memproduksi kekuasaan dengan sendirinya sehingga nilai dan norma atau berbagai pranata sosial kemudian dimanfaatkan dengan cara pemitosan sifat-sifat negatif terhadap keperawanan akan terus melahirkan kekerasan bagi perempuan. @

Bahan Bacaan

Abdullah, Irwan, “Dari Domestik ke Publik: Jalan Panjang Pencarian Identitas Perempuan”, dalam Irwan Abdullah (ed), Sangkan Peran Gender, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Encarta Reference Library 2003, Microsoft Corporation, dengan key word: Mythology.
Foucoult, Michel, History of Sexuality, London: Penguin Books, 1990
Grahn, Judi, Bood, Bread, and Roses, How Menstruation Created the World, Bostom: Beacon Press, 1993.
Owen, Lara, Her Blood is Gold, Celebrating the Power of Menstruation, San Francisco: Harper San Francisco, 1993
Saadawi, Nawal El, Perempuan dalam Budaya Patriarki, terj. Dari The Hidden Face of Eve oleh Zulhilmiyasri, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001

Hermeneutika Alquran Rahman: Tafsir Baru Memahami Teks Kitab Suci

Abstraction

Al-Qur’an is a text, as the whole. It could be wrote both relation to text (intertextuality) or context. Text and context is unity-integrity in Islam tradition. The relation between text and context is fundamentally and key word in order to understand qur’anic hermeneutics’ Rahman.

Qur’anic hermeneutics’ Rahman is double movement interpretation that refers to two formulas movement; the first movement consists of understanding the qur’an as a whole and in term of spesific injunctions revealed in responses to specific situation. The second movement involves applying the general objectives achieved under the first in the present concrete socio-historical in order to change it and to determine priorities to implement qur’anic values afresh. The double movement seek to understand meaning of qur’anic message completely and integrity that objectived understanding can be grasped.

* * *

Perbincangan mengenai hermeneutik beberapa tahun terakhir ini mendapat sambutan yang serius dari beberapa sarjana muslim, termasuk di antaranya adalah Fazlur Rahman. Dalam peta intelektual muslim Rahman dikenal sebagai tokoh reformis, radikal dan kontroversial, hal ini dapat dilihat dari karya-karya keislamannya; Islamic Methodologi in History (1965), Islam (1968), Islam and Modernity: Transformation and Intellectual Tradition (1982), Major Themes of the Quran (1980). Dan karya-karya tersebut menempatkan Rahman sebagai seorang tokoh neo-modernis ) Islam yang brilian.

Dengan gerakan neo-modernisme Islam ini, Rahman mencoba mendefinisikan kembali Islam dalam konteks modernitas ) yang seperti ditulisnya dalam Islam: Past Influence and Present Challenges, bahwa neo-modernisme Islam ingin menutupi kelemahan-kelemahan yang dikandung oleh gerakan-gerakan pembaharuan yang muncul di dunia Islam seperti; Gerakan Revivalis, Gerakan Modernis, dan Gerakan Neo-Revivalisme dengan mengembangkan suatu metodologi sistematis dan rekonstruksi Islam secara total dan tuntas serta setia pada akar-akar spiritualnya dan dapat menjawab kebutuhan-kebutuhan Islam modern secara cerdas dan bertanggungjawab ) Untuk itu ia merancang suatu pendekatan baru yang koheren dan utuh terhadap al-Qur’an. )
Pendekatan itu, seperti yang sering dinyatakannya dalam beberapa karyanya, adalah historico-critical method (metode kritis-sejarah) dan hermeneutic method (metode hermeneutik) )
Historico-critical method (metode kritis-sejarah) merupakan sebuah pendekatan kesejarahan yang pada prinsipnya bertujuan menemukan fakta-fakta obyektif secara utuh dan mencari nilai-nilai tertentu yang terkandung di dalamnya. Sedangkan hermeneutic method (metode hermeneutik) adalah metode untuk memahami dan menafsirkan teks-teks kuno seperti teks kitab suci, sejarah, hukum, juga dalam bidang filsafat. )
Kedua pendekatan yang dinyatakan Rahman di atas, telah menemukan bentuknya dalam beberapa investigasi yang ia lakukan, baik berupa buku ataupun artikel dalam beberapa jurnal. Sebagai seorang pemikir berwawasan luas, Rahman telah banyak terlibat dengan diskusi-diskusi dan sering kontroversial dalam berbagai tema. Termasuk sebuah tawarannya tentang suatu kebutuhan pendekatan hermeneutik terhadap al Qur'an guna memperoleh suatu pemahaman yang utuh, jalin berkelindan.

HERMENEUTIKA AL-QUR’AN:
Tafsir Alternatif Memahami Makna Teks Al-Qur’an

Sebelum membicarakan tentang hermeneutika al Qur’annya, menarik untuk diekplorasikan bagaimana konsep Rahman tentang al Qur’an itu sendiri. Diakui atau tidak, konsep Rahman tentang al Qur’an memperlihatkan suatu penilaian yang berbeda dari para pemikir klasik. Konsep ini akan membawa kita pada suatu pengantar tentang gagasan hermeneutika al Qur’annya.

Konsep Tentang al Qur’an

Konsep Rahman tentang al-Qur’an, seperti yang dapat kita simpulkan dalam bukunya Islam, adalah:

Al-Qur’an secara keseluruhan adalah Kata-kata (kalam) Allah, dan, dalam pengertian yang biasa, juga keseluruhannya merupakan kata-kata Muhammad…. Jadi al-Qur’an murni Kata-kata Ilahi, namun, tentu saja, ia sama-sama secara intim berkaitan dengan personalitas paling dalam Nabi Muhammad yang hubungannya dengan kata-kata (kalam) Ilahi itu tidak dapat dipahami secara mekanis seperti hubungan sebuah rekaman. Kata-kata (kalam) Ilahi mengalir melalui hati Nabi. )

Definisi Rahman di atas, mengasumsikan bahwa pola hubungan atau model pewahyuan yang dibangun antara al-Qur’an (sebagai sebuah teks; The Text) dan Muhammad (penerima teks; The Reader) bersifat internal ) dan sangat intim.
Model pewahyuan ini sekaligus menolak genre klasik yang beranggapan eksternalitas dalam penerimaan wahyu itu ) sebagaimana dinyatakan oleh hadis bahwa Nabi melihat satu figur atau sesosok malaikat, atau suatu obyek yang lain ‘dikejauhan yang paling jauh’ atau ‘di ufuk’ dan kemudian ditafsirkan oleh kaum ortodoks wahyu Nabi sama sekali datang melalui telinga dan bersifat eksternal dan memandang malaikat atau ruh ‘yang datang ke dalam hati’ itu sebagai suatu agen yang sama sekali eksternal.
Bagi Rahman, wahyu al-Qur’an itu merupakan respon ilahi melalui pikiran nabi terhadap situasi-situasi sosio-moral dan historis masa Nabi. ) Dan konsep ini mengantarkannya pada ‘teori puncak gunung es yang terapung’, di mana sembilan persepuluh dari al-Qur’an terendam di bawah air sejarah dan hanya sepersepuluh darinya yang nampak di permukaan. )
Penolakan Rahman terhadap ekstenalitas ini didasarkan bahwa semangat dasar al Qur’an adalah semangat moral dari mana ia menekankan monoteisme serta keadilan sosial, sehingga:

Bagi al-Qur’an sendiri, dan konsekuensinya juga bagi kaum muslimin, al Qur’an adalah firman Allah (kalam al-Allah). Nabi Muhammad juga betul-betul yakin bahwa beliau adalah penerima risalah (pesan) dari Allah, Zat yang sama sekali lain; kelainan total ini (….) demikian hebatnya sehingga ia menolak, dengan kekuatan kesadaran ini, sebagian dari klaim-klaim historis yang paling fundamental dari tradisi Judea-Kristiani tentang Ibrahim dan nabi-nabi yang lain. ‘zat yang lain’ ini, melalui suatu saluran ‘mendiktekan’ al Qur’an dengan otoritas yang mutlak. Suara yang datang dari dasar kedalaman hidup itu berbicara dengan jelas sekali, tak bisa dikelirukan, dan mendesak. Tidak hanya qur’an, yang berarti ‘bacaan’, dengan jelas menunjukkan hal ini, tetapi teks al Qur’an itu sendiri pada beberapa tempat menyatakan bahwa al Qur’an diwahyukan secara verbal, dan bukan hanya dalam ‘makna’ dan ide-idenya saja. Istilah al Qur’an untuk ‘pembukaan (rahasia)’ adalah wahy yang berdekatan artinya dengan ‘inspirasi’, dengan syarat bahwa yang kedua ini tidak perlu harus mengesampingkan model verbal. (Dengan ‘firman’, tentu saja yang kami maksud bukanlah suara). )

Penjelasan Rahman ini dirujukkan pada ayat al-Qur’an; 42:51, 52; 26:193-194; 02:97; 53:3-4.
Dengan merujuk pada ayat-ayat di atas, Rahman mengatakan bahwa al-Qur’an berasal dari Allah dalam bentuk ‘ide kata’ tidak dalam bentuk ‘kata-kata yang bersuara’. Dan juga telah terjadi hubungan intim antara Tuhan dan Muhammad, bahwa ‘kalam Tuhan’ adalah juga ‘perkataan Nabi Muhammad’ dalam pengertian yang biasa.
Ayat-ayat itu juga menurut Rahman, mendukung pada kesimpulan bahwa al Qur’an diturunkan ke dalam hati melalui wahyu (inspirasi), tidak diturunkan ke dalam telinga melalui suara. Dengan demikian teks al Qur’an merupakan perkataan Muhammad dan menegasikan adanya dualisme al Qur’an sebagai ‘kata’ (wahyu) Allah dan sebagai perkataan Muhammad.
Model interpretasi yang dilakukan Rahman di atas mengasumsikan bahwa al Qur’an adalah teks (the text), Allah adalah pengarang (the author) dan Muhammad adalah penerima sekaligus pembicara (the reader and the author). Tidak seperti yang terjadi pada logika hermeneutika pada umumnya. Pengasumsian Muhammad sebagai penerima sekaligus pembicara ini menegaskan bahwa secara psikologis Muhammad berpartisipasi baik mental maupun intelektual ) dalam penerimaan wahyu itu, Rahman menjelaskan:

… Seorang Nabi adalah seorang yang keseluruhan karekter dan perilaku aktualnya adalah jauh lebih tinggi dari manusia pada umumnya. Ia adalah seorang yang ab initio (dari awalnya) tidak sabar terhadap manusia dan bahkan terhadap sebagian besar ideal-ideal mereka, dan ingin sekali menciptakan kembali sejarah. (…) Muhammad adalah manusia seperti itu, dan dalam kenyataannya satu-satunya manusia seperti yang dikenal sejarah. Itulah sebabnya seluruh perilakunya dipandang oleh kaum Muslimin sebagai Sunnah atau ‘model yang sempurna’. Tetapi, dengan adanya semua itu, ada saat-saat di mana ia, sebagaimana telah terjadi, ‘melampai dirinya sendiri’ dan persepsi kognitif moralnya menjadi demikian tajam hingga kesadarannya menjadi identik dengan hukum moral sendiri. (…) Karena itu al Qur’an benar-benar murni Ilahi. Lebih lanjut, bahkan dengan memandang kesadaran yang biasa, adalah kata-kata Muhammad. )

Selanjutnya Rahman mengatakan bahwa ide-ide dan kata-kata yang lahir dalam pikiran Nabi harus dilihat sebagai proses integralnya. Artinya kata-kata, muncul bersama ide-ide tanpa terkontrol secara sadar oleh Nabi sebagai penerima wahyu. Keyakinan kebenaran yang Rahman pegang ini merupakan membelaannya yang keras bahwa al Qur’an merupakan Kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi. Dan Nabi merupakan penerima wahyu verbal Tuhan yang terakhir. )

Gagasan Hermeneutik Terhadap Al Qur’an
Gagasan untuk menjadikan al Qur’an sebagai suatu pesan yang utuh agar dapat diterima oleh manusia di dunia ini bukanlah persoalan yang sederhana. Makna yang ingin direnggut oleh kita sebagai reader (pembaca teks) telah mengalami proses pelapisan pemahaman yang telah berlangsung lama. Terjadinya ‘arkeologi pemaknaan’ ini merupakan suatu upaya bagaimana menangkap pesan moral al Qur’an tersebut. Bagi Rahman pemahaman terhadap al Qur’an dapat dilakukan secara objektif, jika kita dapat memahami bagaimana proses historisitas teks itu diturunkan. Dengan kata lain, bagaimana proses asbab an-nuzul itu tercipta.
Mengingat betapa pentingnya proses perenggutan makna terhadap al Qur’an itu, Rahman kemudian menganjurkan seperti yang ditulisnya dalam Interpreting the Quran :

Di samping kitab-kitab tafsir, kaum Muslim telah merumuskan sejumlah besar karya mengenai metode-metode atau prinsip-prinsip penafsiran al Qur’an yang disebut ushul al-tafsir…, mereka telah melakukan suatu jasa besar bagi upaya pemahaman al Qur’an, penggunaan bahasa harfiah dan metaforisnya, juga dalam membedakan antara ayat-ayat yang mempunyai pengertian umum dan yang khusus, dan lain-lain. Usaha–usaha ini sebenarnya sangat penting untuk pemahaman terhadap teks al Qur’an. Walaupun demikian terdapat suatu kebutuhan mendesak terhadap teori hermeneutik yang akan menolong kita di dalam memahami makna al Qur’an secara utuh. Sehingga bagian-bagian teologis, etis dan legal al Qur’an menjadi suatu kesatuan yang menyeluruh dan padu. )

Dari ungkapan di atas jelaslah bahwa kegelisahan Rahman terhadap bangunan metodologi yang berkembang dalam wilayah keislaman terasa ‘kering’ sehingga kebutuhan terhadap teori hermeneutika ) dalam menafsirkan teks kitab suci (baca: al Qur’an) harus diaplikasikan untuk menangkap makna dan pesan moral al Qur’an secara memadai. Sehingga tercipta suatu kesatuan yang utuh dan jalin berkelindan dalam menciptakan suatu pandangan dunia.
Dalam upaya perumusan metodologi itu, Rahman menawarkan suatu metodologi hermeneutika double movement (gerak ganda interpretasi) untuk melahirkan obyektivitas dalam penafsirkan terhadap al Qur’an. Proses penafsiran ini adalah dengan melalui mekanisme interpretasi sebagai berikut:
1) Gerak Pertama
Gerak pertama, yakni dari situasi sekarang ke masa al Qur’an diturunkan, terdiri dari dua langkah:
Langkah pertama, merupakan tahap pemahaman tekstual al Qur’an dan konteks sosio-historis ayat-ayatnya Tahapan di mana makna atau arti suatu pernyataan dipahami dengan melakukan kajian situasi atau problem historis di mana pernyataan al Qur’an tersebut merupakan jawabnya. Dengan kata lain, memahami makna al Qur’an sebagai suatu keseluruhan di samping dalam batas ajaran-ajaran khusus yang merupakan respon terhadap situasi-situasi khusus.
Langkah kedua, merupakan tahap generalisasi. Dalam tahap ini dilakukan upaya generalisasi terhadap jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan moral-sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis dan rasiones legis yang sering dinyatakan. Selama proses ini, perhatian harus diberikan ke arah ajaran al Qur’an, sebagai suatu keseluruhan sehingga setiap arti tertentu yang dipahami, setiap hukum yang dinyatakan dan setiap tujuan yang dirumuskan akan koheren dengan yang lainya.
Gerakan Pertama ini disebut Rahman sebagai ‘tugas pemahaman’ (task of understanding). Dalam gerak pemahaman ini. Rahman mensyaratkan kajian-kajian bidang lain yang menunjang pemahaman yang feasible. Di samping pengetahuan tentang bahasa al Qur’an (tata bahasa, gaya bahasa, dan lain-lain), suatu kajian tentang pandangan-pandangan kaum Muslimin khususnya generasi awal akan membantu. Artinya, dipergunakan pendekatan linguistik dan historis (kritis). Akan tetapi, pandangan-pandangan tersebut harus menduduki tempat kedua dalam materi-materi obyektif yang digariskan di atas; karena walaupun penafsiran-penafsiran historis atas al Qur’an akan membantu, juga harus mendapatkan penilaian dari pemahaman yang diperoleh dari al-Qur’an sendiri. )
2) Gerak kedua
Gerak kedua ini adalah dari masa al Qur’an diturunkan ke masa kini. Artinya, kalau gerakan yang pertama terjadi dari hal-hal spesifik dalam al Qur’an ke penggalian dan sistematisasi prinsip-prinsip hukum, nilai-nilai dan tujuan jangka panjangnya, gerakan kedua ini harus dilakukan dari pandangan umum ini ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan pada masa kini. Dengan kata lain, ajaran-ajaran yang bersifat umum harus ditubuhkan (embodied) dalam konteks sosio-historis yang konkret di masa sekarang. )
Oleh karena itu, berkaitan dengan gerakan di atas, diperlukan suatu kajian yang cermat terhadap situasi kekinian dan analisis terhadap berbagai unsur komponennya, sehingga dapat menilai situasi kekinian dan mengubah kondisinya sejauh yang diperlukan, dan menentukan prioritas-prioritas baru untuk bisa mengimplementasikan nilai-nilai al Qur’an secara baru pula. )

Gerak kedua ini bukan hanya berkaitan dengan upaya ‘penubuhan’ dalam konteks kekinian saja, tetapi juga sebagai ‘pengoreksi’ terhadap hasil-hasil atas penafsiran pada gerakan pertama. Artinya, kalau hasil-hasil pemahaman dalam gerakan pertama gagal diaplikasikan dalam konteks kekinian, maka tentunya telah terjadi kegagalan dalam menilai situasi kini, atau kegagalan dalam memahami al Qur’an. Karena menurut Rahman, tidaklah mungkin sesuatu yang bisa diterapkan pada masa lalu dengan sungguh-sungguh dalam tataran spesifik di masa lampau, tidak bisa direalisasikan dalam konteks kekinian, dengan mempertimbangkan perbedaan dalam hal-hal spesifik dalam situasi sekarang. )

Konstruksi pemikiran hermeneutika Rahman di atas —seperti yang secara kritis diilustrasikan juga oleh Farid Essack dalam bukunya Qur’an, Liberation & Pluralism.

Selain metode hermeneutika double movement di atas, Rahman juga menggunakan pendekatan sintetik-logik, yakni dengan cara mensintesakan berbagai tema (terutama tentang ketuhanan dan metafisika) secara logik ketimbang secara kronologik. Al Qur’an dibiarkan berbicara sendiri. Sedangkan penafsiran hanya dipergunakan untuk membuat hubungan antara konsep-konsep yang berbeda. ) Itulah proyeksi metodologis yang ditawarkan oleh Rahman dalam merumuskan proses hermeneutika al Qur’annya.
Hermeneutika al Qur’an dan Persoalan Kontemporer
Gagasan hermeneutika al Qur’an Rahman ini merupakan suatu tawaran yang menarik, ketika kita mencoba mencermati dan mengkaitkannya dengan persoalan kontemporer. Salah satu contoh adalah persoalan poligami dan persaksian wanita.
a. Poligami
Poligami merupakan issu yang hangat dalam wacana feminisme dan gender. Karena mereka menganggap bahwa penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut cenderung diskriminatif dan subordinatif. Walaupun dengan alasan-alasan yang berbeda-beda ―apakah poligami atau monogami―, yang jelas konsep poligami ini tertulis dalam al-Qur’an. ) Locus interpretasi dan re-interpretasinya adalah al-Qur’an surat al-Nisa’ (4):3 : Ayat tersebut turun sebagai respon terhadap perilaku para wali dari anak-anak yatim baik laki-laki ataupun perempuan yang sering menyelewengkan harta kekayaan mereka. ) Kemudian al Qur’an menyerukan agar mereka (para wali) tidak menyelewengkan harta kekayaan itu, dan mereka boleh mengawini (perempuan yatim) sampai empat orang di antara mereka, asalkan mereka dapat berlaku adil. Seruan al-Qur’an ini didukung pula oleh ayat yang lain, yang turun sebelumnya, yaitu dalam al-Nisa’ (04):127.
Beberapa pernyataan di atas dengan melihat Asbab al-Nuzulnya menunjukkan bahwa masalah ini muncul dalam konteks perempuan-perempuan yatim. Tapi kemudian al Qur’an memperingatkan bahwa ‘betapapun mereka (para wali) itu berupaya (berkeinginan mengawini sampai empat), namun kalian, kata Allah, tidak akan dapat berlaku adil kepada perempuan-perempuan tersebut” (Q.S. an-Nisa’ (04): 129)
Pernyataan-pernyataan al Qur’an di atas, menurut Fazlur Rahman terdapat sebuah distingsi (antara aspek legal dan ajaran moral al-Qur’an), yaitu (1) ijin untuk beristeri sampai empat orang, dan (2) keharusan untuk berlaku adil kepada mereka. Berdasarkan atas distingsi ini, Rahman kemudian berkesimpulan bahwa:

..Yang benar nampaknya bahwa diizinkannya poligami adalah pada taraf legal, sementara sanksi-sanksi yang diberikan kepadanya pada hakekatnya adalah sebuah cita-cita moral yang mana masyarakat diharapkan bergerak ke arahnya, karena tidak mungkin untuk menghapuskan poligami secara legal sekaligus. )

Penafsiran Rahman ini berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh ulama tradisional, ) yang seperti dikutipnya, ijin untuk berpoligami itu mempunyai kekuatan hukum sedang keharusan untuk berbuat adil kepada istri-istri tersebut, walaupun sangat penting, terserah kepada kebaikan si suami. )
Berkenaan dengan kesimpulan di atas, Rahman memberikan alasan, bahwa:

……prosedur yang biasa terjadi di dalam pembuatan hukum yang berdasarkan al-Qur’an. Secara garis besarnya, setiap pernyataan yang legal [النص ] atau quasi-legal disertai oleh sebuah ratio-legis [علة الحكم ] yang menjelaskan mengapa sebuah hukum dinyatakan. Untuk dapat memahami sebuah ratio-legis secara sempurna pertama sekali kita harus mempelajari latar-belakang sosio-historis (yang oleh penafsir-penafsir al-Qur’an dikatakan sebagai ‘alasan-alasan penurunan wahyu’ [ اسبـاب النـزول ]. Ratio-legis merupakan inti, sedangkan legislasi yang aktual [الحكم ] merupakan perwujudannya asalkan tepat dan benar merealisasikan ratio-legis tersebut. )

Dengan alasan tersebut, dapat digeneralisasikan jawaban-jawaban spesifiknya bahwa kebolehan berpoligami pada dasarnya lahir sebagai jawaban/solusi bagi para wali yang tidak berlaku adil terhadap anak yatim, baik laki-laki dan perempuan. Dan al Qur’an membolehkan mereka (para wali) mengawini perempuan yatim itu dijadikan istri sampai batas empat orang. Tujuan al Qur’an di sini adalah untuk menguatkan bagian-bagian masyarakat yang lemah (seperti, orang-orang miskin, anak-anak yatim kaum wanita, budak-budak, dan orang-orang yang terjerat hutang) ) sehingga tercipta sebuah tatanan masyarakat yang etis dan egaliter. Karena sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan perempuan yatim, dan berbuatan poligami dengan syarat berlaku adil tidak mungkin (mustahil). Maka proses poligami ke monogami ini membutuhkan pentahapan-pentahapan perubahan legislasi Islam seperti fenomena yang sama terjadi dalam kasus perbudakan. Jadi monogami lebih kontekstual dalam legislasi Islam. )
Paradigma pemikiran yang dilontarkan Rahman ini, jika dikorelasikan dengan UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang diberlakukan di Indonesia, dalam beberapa hal ada kecocokan kebijaksanaan penetapan hukumnya. Dalam penjelasannya Undang-Undang ini menganut asas monogami. Meskipun seorang suami diijinkan beristri lebih dari seorang dengan syarat dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan Pengadilan telah memberi ijin. (ps. 3 (2) UUP) Alasan-alasan yang dipegang oleh Pengadilan ditegaskan dalam pasal 4 (2) UU Perkawinan:

Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Apabila diperhatikan alasan-alasan tersebut di atas, adalah mengacu pada tujuan pokok perkawinan, yaitu membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. )
Pernyataan Rahman di atas, dikaitkan dengan metode hermeneutikanya, kalau dibentuk sebuah bagan akan nampak seperti ini:

Ketentuan Legal:
Poligami diijinkan
|
|
V

Kebolehan berpoligami sampai
Empat orang istri
|
|
V

Penetapan Moral al-Qur’an:
Harus berbuat adil
|
|
V

Tujuan akhir legislasi Islam:
Monogami lebih kontekstual


b. Kesaksian Wanita
Salah satu respon Rahman yang cukup menarik adalah mengenai kesaksian wanita. Jawaban Rahman terhadap kasus ini berkaitan dengan prinsip yang dikemukakan oleh ahli-ahli hukum tradisional yang menyatakan bahwa ‘walaupun sebuah hukum terjadi karena situasi yang spesifik tetapi aplikasinya adalah universal’ . Dengan merujuk pada ayat al-Baqarah (02):282 Rahman mengcounter prinsip itu.
Ketentuan legal yang diberikan oleh al Qur’an sehubungan dengan kesaksian perempuan ini berkenaan dengan masalah transaksi hutang piutang, baik yang besar maupun yang kecil. Jumlah (besar hutang-piutang itu) harus dituliskan dengan disaksikan oleh dua orang lelaki yang dewasa dan dapat dipercaya atau, jika tidak ada dua orang lelaki maka di gantikan dengan satu orang lelaki dan dua orang perempuan.
Perbandingan antara satu lelaki dengan dua perempuan ini menjadi debat hukum. Bagi kalangan tradisionalis berpandangan bahwa ketetapan hukum tersebut tak bisa berubah. Jadi tetap satu orang lelaki dengan dua orang perempuan. Pandangan ulama tradisionalis ini ditentang oleh Rahman. Alasannya, bahwa konteks turunnya ayat ini adalah berkaitan dengan persoalan transaksi hutang piutang. Secara jelas ayat tersebut menyebutkan bahwa ‘illah al-hukm’nya yaitu karena kaum perempuan lebih ‘pelupa’ ketimbang lelaki. ‘Kepelupaan’ perempuan ini karena waktu itu kaum perempuan tidak terbiasa dengan urusan hutang piutang. Ketika terjadi perubahan sosial seperti sekarang ini, dimana tuntutan partisipasi perempuan untuk terjun kedunia publik semakin luas peluangnya. Bukan tidak mungkin urusan publik (hutang piutang) menjadi kebiasaan kaum perempuan. Maka kesaksian perempuan dapat dipandang sama kuatnya dengan kesaksian seorang lelaki. )
Dengan melihat beberapa pertimbangan itulah di mana pengetahuan terhadap ‘íllah al-hukm’ (ratio legis) dengan melacak konteks sosial-historis yang membidani sebab turunnya suatu ayat menjadi signifikan untuk penetapan legislasi aktual pada masyarakat.

Kesimpulan

Apa yang telah digagas Rahman dengan proyeksi hermeneutika al Qur’annya dengan menggunakan kerangka double movement (gerak ganda interpretasi) terhadap teks dan konteks maka suatu pemahaman yang utuh dan jalin berkelindan terhadap pandangan dunia (weltanschauung/world view) al-Qur’an dapat dicapai.
Sebagai implikasinya, interpretasi ini akan menghasilkan sebuah rumusan tafsir baru dalam usaha memahami sebuah teks (al-Qur’an atau Hadist) atau preseden di masa lampau yang kemudian prinsip-prinsip yang berlaku pada masa lampau itu dibawa pada masa kini dengan menentukan objek sosial-moralnya.
Proses-proses interpretasi ini, pada akhirnya akan menghasilkan sebuah pemahaman yang utuh dan objektif dengan melibatkan seluruh makna yang ada di dalam teks al Qur’an sendiri dengan historisitas yang melingkupinya.


Daftar Pustaka

al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arab, Bairut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 1989.
Amal, Taufik Adnan (ed), Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, Bandung: Mizan, 1990.
Azhar, Muhammad, Fiqh Kontemporer dalam Pandangan Modernisme Islam Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Aziz, Ahmad Amir, Neo-Modernisme Islam di Indonesia, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 1999.
Barton, Greg, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, alih bahasa Nanang Tahqiq, cet. 1, Jakarta: Paramadina, 1999.
Bleicher, Josef, Contemporary Hermeneutics; Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique, London: Boston and Henley: Routledge & Kegan Paul, 1980.
Essack, Farid, Qur’an, Liberation & Pluralism, England: Oneworld Oxford, 1997.
Martin, Richard C., Imagining Islam and Modernity: The Reappropriation of Rationalism by Muslim Modernists and Postmodernist, makalah yang semula disiapkan untuk suatu prasirkulasi dalam konferensi tentang Islam dan Masyarakat di Asia Tenggara, Jakarta, Indonesia pada bulam Mei 1995. hlm. 19-21.
Mas’adi, Ghufron A., Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1997.
Nasr, Syed Hossen, Knowledge and The Sacred, Ediburgh: Ediburgh University Press, 1981
Nasution, Khoiruddin, Riba & Poligami Sebuah Studi Atas Pemikiran Muhammad Abduh, Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Akademia Yogyakarta, 1996.
Palmer, R.E., Hermeneutic: Interpretation Theory in Scheirmacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer, Evanstone: Norhwestern University Press, 1969.
Rahman, Fazlur, “Divine Revelation and the Prophet”, Hamdard Islamicus, jilid I, No. 2, 1978, hlm. 66-72.
_____________, “Interpreting the Qur’an”, Inquiry, (Mei 1986), hlm. 45
_____________, “Islam: Past influence and Present challenge”, Alford T. Welch & Cachia Pierre (ed.), Islam: Challenges and Opportunities, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979.
_____________, Islam dan Tantangan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual, alih bahasa Ahsin Mohammad, cet. 2, Bandung: Pustaka, 1995.
_____________, Islam, alih bahasa Ahsin Muhammad, cet. III, Bandung: Pustaka, 1997.
_____________, Tema Pokok al-Qur’an, alih bahasa Anas Mahyuddin, Cet. II, Bandung: Pustaka, 1996.
Ropiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 1997.
Rusyd, Ibn, Bidayat al-Mujtahid fi Nihayat al-Muqtasid, Mesir: Dar ‘ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tt.) II : 1169.
Watt, Mongomery, Islamic Fundamentalism and Modernity, Routledge: London & New York, 1988.

Mempertimbangkan Kembali Pemikiran GusDur

Abstract
“Pribumisasi Islam” is a term used by Abdurrahman Wahid (Gus Dur) for contextualisation of Islamic doctrine in Indonesia. It’s equally used too as counter of discourse of “Arabisasi” (Arabic oriented) of religiousism that tends to formalism of religion and lacks of it’s progressivity.
In order to the grasp deep meaning of the doctrine, therefore, Gus Dur develops new modes of interpretation based on cultural that will re-glue to roots of tradition. So universality values of Islam, then, fuse with locality values. This unity make a tranformative combination of understanding contextuality of doctrine.

خلاصة :
"فريبوميساسى إسلام" هو الإصطلاح الذى إستعمله عبد الرحمن واحد المشهور بكوس دور للدلالة على تجديد تعالم الاسلام كى يطا بق أو يصلح للمجتمع الإندونسي. هذا الإصطلاح قد قصد به أيضاً لمقابلة "عَرَبِسِاسِى" (تَعرِيْبِ التعالم الدينية): الذي يدل أحياناً إلى الفهم الظهري الديني (فورماليسمى أكاما) ويجعل نفس الدين أيضا لايجد معنى مطابقيته لللأزمنة والأمكنة.

لذالك, فى طلب التعليم البطنى الدينى, كوس دور يبني المنهج التفسيري على الأساس الأَدَابِي كى يجري ذالك التعليم البطنى الإجمالى و الادابي المكنى معاً. الاجتماع بينهما قد صار شركةً قويةً صلحيةً للمفاهم المجددة المطابقة للأظراف المكنية والزمانية.


Kata kunci: Pribumisasi Islam, Tafsir Kultural, Islam Lokal, Arabisasi


A. MUQODDIMAH
Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal sebagai Gus Dur adalah kiai NU yang nyentrik dan sering kontroversial. Seorang santri dan priyayi sekaligus. Pemikirannya sulit dipetakan dalam kategori-kategori keilmuan tertentu, bahkan Gus Dur bisa berada diluar semua area kategori-kategori positivistik (beyond the categories of positivism). Greg Barton, seorang penulis biografi Gus Dur terkenal , berusaha menempatkan tokoh kita ini dalam wilayah neo-modernisme Islam, bersama pemikir-pemikir yang lain seperti Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, dan Ahmad Wahib. Walhasil, Gus Dur dipandang sebagai tokoh yang kaya wawasan sekaligus unpredictable dan membingungkan bagi siapapun yang ‘membaca’nya.
Namun demikian, tematisasi pokok pemikiran Gus Dur (terutama dalam jeda waktu awal tahun 1970-an hingga akhir 1990-an) dapat kita petakan dalam bentuk beberapa tabel berikut ini:
Tabel 1.
JUMLAH TULISAN GUSDUR DENGAN BERBAGAI BENTUKNYA

No. Bentuk Tulisan Jumlah Keterangan
1. Buku 12 buku Terdapat pengulangan tulisan
2. Buku Terjemahan 1 buku Bersama Hasyim Wahid
3. Kata Pengantar Buku 20 buku -
4. Epilog Buku 1 buku -
5. Antologi Buku 41 buku -
6. Artikel 263 buah Di berbagai majalah, surat kabar, jurnal, dan media massa
7. Kolom 105 buah Di berbagai majalah
8. Makalah 50 buah Sebagian besar tidak dipublikasikan
493 buah

Tabel 2
TEMA POKOK PEMIKIRAN GUS DUR

No. Tema Pokok Pemikiran Jumlah Tulisan Keterangan
1. Pandangan Dunia Pesantren 70 buah Termasuk tema pesantren vs modernisasi, dan pengembangan masyarakat
2. Pribumisasi Islam 43 buah Termasuk tema pembaharuan Islam
3. Keharusan Demokrasi 140 buah Termasuk tema civil society dan permberdayaan ekonomi
4. Finalitas Negara Bangsa Pancasila 73 buah Termasuk tema hubungan NU, agama dan negara
5. Pluralisme Agama 31 buah Termasuk tema Islam toleran dan inklusif
6. Humanitarianisme Universal 72 buah Termasuk tema HAM, gender dan lingkungan hidup
7. Antropologi Kiai 24 buah Sebagian besar berbentuk kolom
Tabel 3
PERIODESASI TULISAN DAN KECENDERUNGAN WACANANYA


No. Periode Jumlah Tulisan Kecenderungan Wacana
1. 1970-an 37 buah Tradisi Pesantren, Modernisasi Pesantren, NU, HAM, Reinterpretasi Ajaran, Pembangunan, Demokrasi
2. 1980-an 189 buah Dunia Pesantren, NU, Ideologi Negara (Pancasila), Pembangunan, Militerisme, Pengembangan Masyarakat, Pribumisasi Islam, HAM, Modernisme, Kontekstualisasi Ajaran, Partai Politik
3. 1990-an 253 buah Pembaharuan Ajaran Islam, Demokarasi, Kepemimpinan Umat, Pembangunan, HAM, Kebangsaan, Partai Politik, Gender, Toleransi Agama, Universalisme Islam, NU, Globalisasi


Dari tiga tabel di atas yang meliputi; jumlah karya tulis, tema pokok pemikirannya, dan periodeisasinya, dapat kita ambil beberapa kesimpulan penting; (1) tulisan-tulisan Gus Dur lebih bersifat reflektif, membumi, terkait dengan dunia penghayatan realitas, bahkan senantiasa bermotifkan pemikiran transformatif (2) tulisan-tulisan itu mengindikasikan suatu pandangan yang tidak hampa teori, atau tidak tanpa visi, sekaligus responsif terhadap persoalan-persoalan kontemporer yang menjadi isu global abad ke-20 (3) tulisan-tulisan itu juga menampakkan suatu konsistensi pemikiran, yang meskipun dilakukan dengan zig-zag, membentuk suatu formula pemikiran liberal, kritis-humanities.

B. SEKILAS TENTANG METODOLOGI GUSDUR
Dalam wilayah pemikiran terdapat dua pendekatan yang digunakan oleh Gus Dur dalam pencapaian keilmuan-kritisnya, yaitu:
1. Pendekatan Antropologi-Kultural
Antropologi Kultural (cultural anthropology) merupakan bagian dari antropologi yang mempelajari kebudayaan. Key conceptnya adalah kultur. Dalam antropologi kultural berkembang konsep integrasi kultural (cultural integration). Integrasi kultural ini adalah gejala saling sesuai-menyesuaikan antara unsur-unsur kebudayaan. Konsep ini biasanya dipergunakan oleh antropolog sebagai kerangka teoritis untuk menganalisis kebudayaan dan menerangkan cara-cara yang ditempuh oleh anggota masyarakat dalam menerima, menolak, atau memodifikasi item-item yang berdifusi dengan kultur lainnya. Terdapat tarik menarik antara pola-pola ideal (ideal patterns) dan pola-pola real (real pattern). Pola-pola ideal mendefenisikan harapan-harapan normatif, sementara pola-pola real mencakup berbagai variasi respons aktual individual. “Pribumisasi Islam”nya misalnya, merupakan konsep yang diangkat dari analisisnya terhadap pola penyebaran dan interaksi antara universalisme Islam dan kosmopolitanisme peradaban Islam dengan peradaban lain seperti Persia dan Yunani pada masa Klasik. Juga dari analisisnya terhadap pola penyebaran Islam di Indonesia dan hubungannnya dengan budaya lokal secara damai. Karenanya, Pribumisasi Islam adalah upaya rekonsiliasi Islam dengan budaya lokal atau akomodasi budaya lokal. Rekonsiliasi itu dapat tercipta melalui pemahaman al-Nas dengan mempertimbangkan faktor kontekstual. Pemahaman kontekstual terhadap al-Nas (teks) dapat dilakukan dengan mempergunakan metode ushul al-fiqh dan al-qaidah al-fiqhiyyah.
2. Pendekatan Historis-Normatif
Dalam studi agama terdapat usaha untuk mengkombinasikan dua pendekatan yang berbeda terhadap agama. Kedua pendekatan tersebut adalah pendekatan ‘normatif’ dan ‘deskriptif atau ‘agamis’ dan ‘scientific’ atau ‘doktriner’ dan ‘scientific’ atau ‘teologi-normatif’ dan ‘historis-kritis’. Pendekatan normatif melibatkan komitmen keagamaan, bertujuan mencari kebenaran agama dan tak jarang memfalsifikasi agama lain dan mengajak pemeluknya berpindah ke agama si peneliti. Sementara pendekatan Deskriptif berusaha memahami agama-agama tanpa melibatkan komitmen peneliti terhadap kebenaran agama. Sosiologi, antropologi, psikologi, dan sejarah masuk dalam kategori ini.
Seperti yang dikatakan Gus Dur, Umat Islam seharusnya menjadikan fakta-fakta historis sebagai ukuran dalam menentukan sikap mereka. Suatu bangsa tidak mungkin mengembangkan tradisi baru yang tercerabut dari akar-akar kesejarahannya. Karenanya, agama Islam hendaknya didudukkan dalam konteks historis. Pendekatan historis digunakan Gus Dur dalam menempatkan posisi dan eksistensi agama-agama dan aliran kepercayaan di dalam konteks kenegaraan. Karenanya, ia tidak berbicara tentang kebenaran (truth) atau memberikan penilaian teologis tapi ia menghargai apa yang diyakini oleh orang-orang non-muslim dan tidak mencampuradukkan permasalahan kebenaran teologis dengan eksistensi agama dan kepercayaan dalam sebuah negara-bangsa yang pluralis.
Dalam wilayah gerakan, Gus Dur memilah-milah gerakan Islam di Indonesia menjadi tiga bentuk gerakan; Kultural, Sosio-kultural, dan Politik. Kemudian Gus Dur menempatkan Cak Nur dalam dataran kultural yang terutama terlibat dalam pergumulan ide, sedang dia sendiri ditempatkan dalam wilayah sosio-kultural dengan melibatkan diri dalam gerakan dan kegiatan transformasi sosial. Itulah sekilas tentang metodologi yang dipakai Gus Dur dalam pemikiran dan gerakannya.

C. “PRIBUMISASI ISLAM” : PROYEK KONTEKSTUALISASI AJARAN ISLAM DI INDONESIA
Proyek konteksualisasi Islam sebenarnya bukan suatu hal yang baru lagi, apalagi jika isu ini dikaitkan dengan modernitas yang telah lahir dua abad yang lalu. Hanya saja, proyek ini menjadi signifikan ketika proses konteksuatualisasi itu dipahami sebagai suatu jihad intelektual yang sudah seharusnya dilakukan demi mengungkap apa yang belum dipikirkan (unthought) menjadi suatu yang mungkin untuk dipikirkan (space of unthinkable). Lebih dari itu, percepatan perubahan yang kita saksikan saat ini menuntut kita untuk sesegera mungkin merumuskan dan menyediakan perangkat-perangkat metodologi yang tepat untuk merespon perubahan itu. Dan sebagai suatu upaya menuju ke arah itu, penting di sini mengekplorasi suatu sumbangan pemikiran keislaman yang ditawarkan oleh Gus Dur dengan “pribumisasi Islam”nya.
Pribumisasi Islam yang menjadi proyeksi Gus Dur adalah suatu bentuk pola pemikiran yang melihat Islam sebagai suatu sistem organik yang progresif, kontekstual, dan membebaskan yang didasarkan pada suatu nilai-nilai universal Islam dan nilai-nilai lokalistik di mana Islam menjadi suatu pandangan dan pegangan hidup (ways of life). Ranah pemikiran ini jelas mengandaikan suatu paham keagamaan yang dinamis disertai suatu interpretasi radikal terhadap perjalanan historis ajaran agama yang telah berlangsung. Konsekwensinya, hasil pembacaan yang diperoleh dari interakasi kesadaran keagamaan ini akan melahirkan suatu corak, model atau sikap keagamaan yang “beda” bahkan akan melibatkan konflik dan tidak jarang kontroversial. Dan Gus Dur telah memilih posisi ini sebagai bentuk keimanan terhadap agamanya dan sebagai “seorang khalifatullah” yang tak lepas dari peran sosial keagamaan. Menjadikan agama sebagai basis bagi proses kesadaran kemanusian dan kritis terhadap bentuk-bentuk ketidak-adilah, marginalisasi, diskriminasi dan penindasan.
Untuk melihat lebih jauh proyek “pribumisasi Islam” ala Gus Dur ini, akan diajukan beberapa tema penting yang berkaitan dengan proses kontekstualisasi Islam di Indonesia, dan akhirnya contoh-contoh proyek kontekstualisasi itu akan menjadi starting point bagi kajian kontektualisasi Islam Indonesia selanjutnya.
1. Kontekstualisasi Hukum Islam
Dalam salah satu tulisannya yang berjudul “Menjadikan Hukum Islam Sebagai Penunjang Pembangunan”, Gus Dur menggagas bahwa saat ini dibutuhkan suatu reformulasi baru yang mengarah pada suatu pendekatan multi-dimensional guna merekatkan kembali relevansi ajaran dengan kepentingan kemaslahatan manusia saat ini. Dalam kata-kata Gus Dur:
Untuk memperoleh relevansi tersebut, hukum Islam harus mampu mengembangkan watak dinamis bagi dirinya, di antaranya dengan mampu menjadikan dirinya penunjang perkembangan hukum nasional di alam pembangunan ini. Watak dinamis ini hanya dapat dimiliki, jika hukum Islam meletakkan titik berat perhatiannya kepada soal-soal duniawi yang menggulati kehidupan bangsa kita dewasa ini, dan memberikan pemecahan bagi persoalan-persoalan hidup aktuil yang dihadapi di masa kini. Dengan demikian, hukum Islam dituntut untuk mengembangkan diri dalam sebuah proses yang bersifat cair (fluid situation), dan tidak hanya terikat kepada gambaran dunia khayali yang menurut teori telah tercipta di masa lampau. Pengembangan diri memerlukan pandangan jauh dari kalangan pemikir hukum Islam sendiri. Dengan kata lain, ia harus memiliki pendekatan multi-dimensional kepada kehidupan, dan tidak hanya terikat kepada ketentuan normatif yang telah mengendap sekian lama, bahkan hampir-hampir menjadi fosil yang mati.

Dengan mengedepankan model sistem hukum yang demikianlah, maka suatu proses pembaharuan hukum Islam yang up to date dapat diraih. Karena sebenarnya pendekatan yang mengedepankan satu-dimensi saja merupakan suatu kegagalan menangkap peristiwa sejarah hukum Islam itu sendiri:
Dalam kegagalan menilai akibat jauh dari ciri kedua inilah terlihat ketidakberhasilan reformasi demi reformasi yang dilancarkan di bidang hukum Islam selama ini. Reformasi al-Syafi’i (wafat 20 H/820 M) berhasil menghilangkan cara pengambilan keputusan yang bersimpang siur. Metodenya, yang dikenal dengan nama thariq al-istiqra’, berhasil menyederhanakan proses tersebut menjadi sebuah sistem yang kemudian dikenal sebagai jurisprudensi (usul al-fiqh), sebagaimana dimanifestasikan dalam karya jurisprudensinya yang monomental, al-Risalah. Tetapi usaha al-Syafi’i itu sendiri akhirnya tidak berhasil mengelakkan proses irrelevansi hukum agama sebagai akibat keterikatan kepada konotasi bahasa yang terlalu literer. Demikian pula usaha-usaha selanjutnya berkesudahan pada gerakan reformasi Muhammadiyah dan gerakan fundamentalisme Persis di negeri kita. Sejauh ini, usaha-usaha penyegaran hukum agama itu masih memiliki watak sektarian dan hanya berhasil menyegarkan satu dua aspek kehidupan belaka, karena pendekatannya yang berdimensi tunggal. Secara keseluruhan, penyegaran yang dimaksudkan tidak tercapai, bahkan ada tendensi penyegaran yang dimaksudkan itu akhirnya berbuahkan penciptaan variasi baru dari kebekuan yang telah ada, dengan kata lain menciptakan semacam neo-konservatisme.

Selanjutnya dalam pandangan Gus Dur sendiri Islam bukanlah merupakan suatu yang statis, dan ajarannya bukan sesuatu yang sekali jadi sehingga tidak butuh reformulasi maupun reaplikasi. Dengan kata lain, watak khas hukum Islam ialah selalu perlu diterjemahkan secara kontektual. Oleh karena itu, ketika konteks sosial/historis berubah maka aplikasi prinsip-prinsip eternal dari tubuh hukum itupun perlu dirubah.

Ajakan kepada pengembangan dan pengejaran ini bukanlah ajakan untuk merombak hukum Islam. Ajakan seperti ini tidak lain hanya akan menempatkan hukum Islam kepada kebutuhan sesaat, kepada kehendak manusia yang senantiasa berubah-ubah. Yang dimaksudkan adalah upaya untuk membuatnya lebih peka kepada kebutuhan-kebutuhan manusiawi masa kini dan di masa depan. Dengan kepekaan tersebut hukum Islam sendiri akan senantiasa mengadakan penyesuaian sekadar yang diperlukan, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai transendentalnya yang telah ditetapkan Allah Swt. Dengan kepekaan akan dapatlah hukum Islam turut memberikan sumbangannya kepada pembangunan bangsa, yaitu dengan menciptakan nilai-nilai kehidupan yang dinamis tetapi dilandasi oleh kesadaran akan keharusan bagi manusia untuk berupaya dalam batas-batas kemampuannya sebagai makhluk belaka.

Kesadaran historisitas dan respon positif terhadap perubahan gerak jaman inilah yang membedakan Gus Dur dengan yang lainnya. Karena bagi Gus Dur gerak pemahaman yang seharusnya kita lakukan adalah suatu gerak pemahaman yang senantiasa mengkaitkan atau meng-kontekstualisasi-kan dunia teks dengan realitas saat ini berdasarkan kemaslahan umat. Sehingga terjadi gerak-dialektis antara teks-realitas. Bukan suatu gerak pemahaman yang terputus antara teks dan realitas sekarang.

Gerak-Dialektis Pemahaman Gus Dur ini mengakar kuat pada pamahaman kaidah ushul fiqh: al-hukm yaduru ma’a al-‘illah wujudan wa ‘adaman, dan juga tawayyur al-ahkam bi tawayyur al-azman wa al-amkinah. Perubahan suatu ketentuan hukum dapat berubah sesuai dengan perubahan jaman. Akibat logisnya pendekatan ini menolak pendekatan yang melihat teks secara terpisah dengan akar-akar realitas sekarang dan hanya merujukkan keotentikan teks itu dengan masyarakat ideal yang terbentuk pada masa keemasan Islam (the gold age) dan masa kurun waktu kehidupan sahabat dan tabiin (the age span) yang dianggapnya sebagai suatu masyarakat sempurna yang menjadi “civitas dei” (kota Tuhan) yang hanya dihuni oleh para malaikat.
Dengan demikian, konsepsi hukum Islam yang diproyeksikan oleh Gus Dur ini selalu mengandaikan gerak-pemahaman yang intens dengan senantiasa melibatkan momen-momen perubahan melalui proses kreatif-transformatif dan membebaskan dengan tidak meninggalkan akar tradisi yang hidup. Salah satu contoh yang dapat diajukan di sini adalah, seperti yang ditulisnya dalam salah satu artikelnya; Pengembangan Fiqh yang Kontekstual, mengenai kasus perceraian di dalam konsep Islam yang dikaitkan dengan UU Perkawinan No. 1/1974.
2. Pluralisme Agama
William L. Rowe, mengklasifikasikan tiga macam sikap keberagamaan yiatu; Eksklusivisme, Inklusivisme, dan Pluralisme. Ekslusivisme lebih menganggap agama yang dianutnya adalah paling benar. Inklusivisme merupakan cara atau sikap keberagamaan yang terbuka menerima kebenaran agama orang lain dengan tetap memandang keberanaran agamanya. Sedangkan Pluralisme merupakan suatu sikap keberagamaan yang menganggap semua agama sama.
Lahirnya pluralisme paham keagamaan ini merupakan suatu keniscayaan di saat pluralitas agama, kultur, ras, bersama-sama hidup dalam satu lingkup yang sama, seperti halnya di Indonesia. Karena sikap pluralisme atau kesadaran akan pluralitas agama dapat menciptakan toleransi, kerjasama, dialog, solidaritas, persamaan, dan tatanan politik yang demokratis. Kesadaran semacam ini, dalam pandangan Gus Dur perlu digalakkan untuk membina kerukunan antara sesama pemeluk agama. Karena bagaimanapun juga satu agama dengan agama yang lain jelas berbeda. Kristen dan Yahudi tentu tidak bisa menerima konsepsi dasar Islam, demikian juga sebaliknya, misalnya tentang konsep ketuhanan. Sebab memang berbeda. Ironisnya, jika kemudian perbedaan menyebabkan kebencian bahkan sampai menghina keyakinan orang lain tentu ini merupakan suatu bentuk sikap yang kurang terpuji dan tidak benar. Karena dalam pandangan Gus Dur, agama dan keyakinan apapun pada dasarnya tetap mengabdi pada Tuhan. Masing-masing agama mempunyai jalannya sendiri-sendiri, tapi tetap menuju Tuhan yang satu. Karenanya, pemeluk suatu agama tidak dapat memenangkan dirinya sendiri dan lantas menyalahkan agama orang lain. Umat Islam tidak boleh menyebut hanya Islam yang paling benar. Lebih baik umat beragama bekerja sama menyelesaikan permasalahan kemanusiaan.
Di dalam Islam sendiri terdapat suatu justifikasi ayat yang menginformsikan bahwa sebenarnya “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka….” (QS. 02: 120). Inilah satu ayat yang dijadikan pedoman oleh mereka yang bersikap eklusif dalam beragama. Ataupun juga terhadap ayat lain “Barangsiapa mengambil selain Islam sebagai agama, maka amal kebajikannya tidak akan diterima oleh Allah, …” Dua ayat ini dengan tegas menyatakan suatu perbedaan antara Islam dengan agama yang lain. Terhadap ayat ini, Gus Dur menilai bahwa ayat itu jelas menunjuk pada wilayah teologis yaitu masalah keyakinan, dan hal itu wajar-wajar saja. Dalam masalah keyakinan masing-masing tradisi agama mempunyai tradisi teologis sendiri; seperti Gus Dur katakan bahwa:
“Selama Nabi Muhammad saw. masih berkeyakinan; “Tuhan adalah Allah dan beliau sendiri adalah utusan Allah swt.”, selama itu pula orang-orang Yahudi dan Kristen tidak dapat menerima (berarti tidak rela kepada) keyakinan/aqidah tersebut. Sama halnya dengan sikap kaum muslimin sendiri, selama orang Kristen yakin bahwa Yesus adalah anak Tuhan dan orang Yahudi percaya bahwa mereka adalah umat pilihan Tuhan, maka selama itu pula kaum muslimin tidak akan rela kepada agama tersebut”

Bagaimanapun juga, penerimaan secara teologis ini merupakan suatu yang signifikan ketika itu dibawa dalam kerangka truth claim (klaim kebenaran) dalam beragama. Karena truth claim menurut whitehead, merupakan suatu yang penting dalam agama ataupun ilmu pengetahuan. Manusia membutuhkan dogma yang membungkus klaim kebenaran. Dogma dan agama berfungsi untuk memformulasikan kebenaran pengalaman beragama, sebagaimana dogma dalam ilmu pengetahuan mengungkapkan kebenaran pengamatan rasional.
Menurut Gus Dur, ayat seperti yang dikutip di atas, di mana pada satu sisi mencerminkan suatu perbedaan keyakinan teologis namun pada sisi yang lain ayat itu juga tidak menolak kerjasama antar Islam dan berbagai agama lainnya. Dengan demikian, tambah Gus Dur, perbedaan keyakinan tidak membatasi atau melarang kerjasama antara Islam dan agama-agama lain, terutama dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan umat manusia. Bukankah dengan saling pengertian mendasar antar-agama, masing-masing agama akan memperkaya diri dalam mencari bekal perjuangan menegakkan moralitas, keadilan dan kasih sayang.
Pada konteks inilah kita dapat melihat suatu pandangan yang liberal dari Gus Dur. Dengan tidak meninggalkan akar-akar tradisi agama dia mencoba melihat persoalan aktual yang terjadi saat ini dalam koridor dan kerangka metodologis dialektika yang dinamis antara pesan suatu ayat dengan semangat jaman yang terus berkembang. Oleh karena itu, pemikirannya begitu khas “Indonesia” sekaligus mencerminkan suatu pemahaman agama yang luas. Tidak heran bila Gus Dur dapat diterima oleh berbagai kalangan baik itu di dalam kalangan Islam sendiri ataupun dari golongan yang lain. Karena Islam yang dia pahami adalah pada semangat kemanusiaannya (humanitarianisme).

Kontekstualisasi Ajaran Islam: Suatu Tafsir Kultural Atas Lokalitas
Kalau dipahami secara mendalam dari dua isu yang digambarkan di atas, jelas bahwa proyek “pribumisasi Islam” yang ditawarkan Gus Dur untuk kontekstualisasi ajaran Islam di Indonesia membawa suatu kesadaran keagamaan yang inklusif dengan membuka ruang yang selebar-lebarnya bagi suatu dialog dan interpretasi kritis terhadap ajaran agama dan perjalanan historis agama. Namun satu hal yang menjadi khas dari proyek itu adalah Gus Dur sangat memahami betul apa arti kultur bagi ajaran agama. Selain berdimensi nilai-nilai universal, agama juga sangat ditentukan polanya oleh watak kultural-lokal yang sangat berpengaruh bagi keberadaan agama itu sendiri.
Indonesia dengan keragaman kultur, sistem kepercayaan, dan etnisnya mempunyai potensi tersendiri yang akan membawa wajah dan watak Islam yang berbeda dari yang lain, hal itu dapat dilihat dari penelitian yang telah dilakukan seperti Islam Jawa , Islam Sasak , dengan polarisasi pemeluknya dengan menggunakan kategori Geertz sebagai Islam Santri, Priyanyi, dan Abangan. Fenomena semacam ini semakin menguatkan bahwa watak kultural menjadi suatu landasan kuat bagi sistem interpretasi yang akan kita gunakan dalam memahami ajaran agama. Dan ini telah dibuktikan oleh bagaimana awalnya Islam bergesekan dengan sistem kepercayaan di Nusantara ini. Salah satu keberhasilan itu adalah jasa besar Wali Songo yang mampu menggali watak kultural Jawa sehingga Islam dengan mudah dapat diterima oleh masyarakat setempat. Ajaran-ajaran Islam telah ditransmisikan ke dalam bait-bait bahasa Jawi dengan kekentalan budayanya tanpa harus menghilangkan pesan dan makna universalnya.
Fenomena Islam Indonesia di atas sejalan juga dengan perjalanan historis Islam secara umum, seperti dikutip Gus Dur, bahwa Islam sebagai agama telah mengalami perubahan-perubahan besar dalam sejarahnya. Bukan ajarannya, melainkan penampilan kesejarahan itu sendiri. Mula-mula seorang Nabi membawa risalah (pesan agama, bertumpu pada tauhid) bernama Muhammad, memimpin masyarakat muslim pertama. Lalu empat pengganti (khalifah) meneruskan kepemimpinannya berturut-turut. Pergolakan hebat akhirnya berujung pada sistem pemerintahan monarki. Dan dalam perjalanan sejarah itu sendiri, Islam telah mengalami proses penafsiran yang akhirnya juga melahirkan bentuk-bentuk yang berbeda dari satu wilayah dengan wilayah yang lain. Watak kultural, sosial, dan politik setempat juga turut membidani lahirnya bentuk Islam itu sendiri. Sehingga Islam kemudian menjadi tidak hanya sebagai agama tapi juga sebagai ideologi.
Oleh karena itu, dengan “pribumisasi Islam”nya Gus Dur berusaha melekatkan kembali kita dengan akar-akar tradisi yang khas Indonesia sekaligus mempertanyakan ulang sikap keberagamaan yang dilihatnya masih terlalu “ke-arab-arab-an”. Gus Dur mengungkapkan:
Mengapa harus menggunakan kata ‘shalat’ kalau kata ‘sembahyang’ juga tidak kalah benarnya? Mengapa harus ‘dimushalakan’, jika dahulu toh cukup langgar atau surau? Belum lagi ulang tahun, yang baru serasa ‘sreg’ kalau dijadikan ‘milad’. Dahulu tuan guru atau kiai sekarang harus ustadz dan syekh, baru terasa berwibawa. Bukankah ini pertanda Islam tercerabut dari lokalitas yang semula mendukung kehadirannya dibelahan bumi ini?

Kembali pada akar-akar tradisi merupakan suatu jawaban dari penghayatan nilai-nilai spritualitas yang terpendam sekaligus kekayaan pengalaman keagamaan dan kebermaknaan hidup yang seharusnya senantiasa terus diasah dan digesek agar pengalaman kehidupan keagamaan tidak hanya mengimplikasikan satu pemaknaan terhadap proses lahirnya agama tapi lebih dari itu ia menjadi suatu keyakinan bagi perubahan sosial yang signifikan untuk masa depan kemanusiaan dan peradaban. Pada konteks inilah “pribumisasi Islam” Gus Dur harus dipahami ke arah itu. Di satu sisi ia menjadi counter of discourse terhadap wacana Islam Arab dan ke-arab-arabannya yang lebih mengedepankan formalisme agama dan ujung-ujungnya alih-alih pemurnian ajaran Islam, pada sisi yang lain ia dapat menjadi suatu bentuk penghayatan keagamaan dalam bentuknya yang lain. Suatu penghargaan terhadap budaya dan nilai-nilai lokalistik.

D. PENUTUP
Kontekstualisasi ajaran Islam, meski bukan tema baru, akan terus menjadi isu sentral bagi dinamisasi suatu peran agama dalam masyarakat. Ia tidak hanya memberikan suatu penyegaran kembali pemahaman tapi juga mengajak para pemeluk agama untuk terus menggali pesan-pesan agama yang belum terungkap guna kepentingan kemaslahan ummat. Begitu juga dengan “pribumisasi Islam” yang ditawarkan oleh Gus Dur. Ia berupaya memberikan suatu pandangan baru tentang Islam yang dilihatnya sebagai suatu nilai yang tidak harus terjebak dengan formalisme agama atau konsep-konsep tertentu yang akhirnya membuat Islam itu sendiri menjadi kaku. Lebih dari itu, “pribumisasi Islam” lahir dari kecenderungan pemahaman agama yang melihat kesadaran historis Islam itu sendiri yang sangat lekat dengan budaya lokal.
Lokalitas budaya ini harus dilihat sebagai suatu yang integral dengan agama itu sendiri, dengan tidak mengesampingkan nilai-nilai universalitasnya. Karena dengan cara demikianlah kita dapat memaknai, memahami, dan mengkontekskan rasa keagamaan (sense of religiousity) dan penghayatan beragama dalam dimensinya yang lain.


KEPUSTAKAAN

Adams, Chaules J., “Islamic Religious Tradition,” dalam Leonard Binder, ed. The Study of Middle East, New York: John Willey&Sons, Inc, 1976.
Arkoun, Muhammad, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan Dan Jalan Baru, alih bahasa Wahyu Hidayah Jakarta: INIS, 1994.
Barton, Greg, Gagasan Islam Liberal di Indonesia; Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, Jakarta: Paramadina dan Pustaka Antara, 1999.
-----, Gus Dur; The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Jakarta: Equinox Publishing, 2002.
Benda, Harry J., Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Pustaka Jaya, 1980.
Budiwanti, Erni, Islam Sasak Wetu Telu Versus Waktu Lima, Yogyakarta: LKiS, 2000.
Geertz, Clifford, The Religion of Java, Glencoe, III: Free Press, 1960.
INCReS (Institute of Culture and Religion Studies), Beyond The Symbols; Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, Bandung: INCReS dan PT Remaja Rosdakarya, 2000, p. xi
Jay, Robert, Santri and Abangan, Religious Schism in Rural Central Java, Harvard University, 1957.
Levine, Donald N., “Cultural Integration,” dalam International Encyclopedia of The Social Sciences.
Linton, Ralph, Antropologi: Suatu Penyelidikan Tentang Manusia, Bandung: Jemmasr, 1984.
Mandelbaum, David G., “Anthropology Cultural” dalam David L. Sills, ed, International Encyclopedia of the Social Sciences, New York&London: The Macmillan Company & The Fress, 1968.
Rowe, William L., Philosophy of Religion: an Indroduction, California: Wadsworth Publishing Company, 1993.
Voget, Fred W., “History of Anthropology” dalam David Levinson&Merlvin Ember, eds. Encyclopedia of Cultural Anthropology.
Wach, Joachim, The Comparative Study of Religions, edited by Joseph M. Kitagawa, New York: Columbia University Press, 1957.
Wahid, Abdurrahman, “Intelektual di Tengah Eksklusivisme” dalam Nasrullah Ali-Fauzi,(ed), ICMI antara Status Quo dan Demokratisasi, Bandung: Mizan, 1995.
-----, “Islam dan Dialog Antar Agama” dalam http://www.gusdur.net yang ditulisnya pada Senin, 26 Agustus 2002.
-----, “Kebebasan Beragama dan Hegemoni Negara,” dalam Komaruddin Hidayat & Ahmad Baus AF, (eds) Passing Over; Melintasi Batas Agama, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama & Paramadina, 1998.
-----, “Menjadikan Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan”, dalam Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, Bandung: Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, 1991.
-----, “Pengembangan Fiqh yang Kontekstual” dalam Pesantren No. 2/Vol. II/1985.
-----, “Pribumisasi Islam” dalam Muntaha Azhari & Abdul Mun’im Saleh, Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta: P3M, 1989.
-----, “Salahkah Jika Dipribumikan?” dalam Majalah Tempo, 16 Juli 1983.
-----, “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam” dalam Budy Munawar-Rachman, ed., Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995.
-----, Tuhan Tidak Perlu Dibela, Yogyakarta: LKiS, 1999.
Wertheim, W.F., Indonesian Society in Transition, Sumur Bandung, 1956.
Whitehead, Alfred North, Religion in the Making, New York: New American Library.
Woodward, Mark R., Islam Jawa Kesalehan Normatif Versus Kebatinan diterjemah dari Islam in Java: Normative Piety and Misticism oleh Hairus Salim, Yogyakata: LkiS, 1999.

18 Januari 2009

Konsep Uang Dalam Bermuamalah

RASANYA sangat sulit melepaskan kehidupan kita ini dengan yang namanya uang, bukan saja karena uang dianggap sebagai salah satu alat tukar dalam penjualan tapi juga karena konsep tentang uang telah sedemikian merasuknya dalam keseluruhan kesadaran hidup kita. Dalam artian bahwa seluruh aktivitas kita sehari-hari mulai yang tersederhana hingga yang complecated selalu berurusan dengan uang. Mau ditarik dari sisi manapun, pembicaraan orang melulu berujung dengan uang. Dan kita seakan-akan tak memiliki daya untuk keluar dari kemelut ini. Setali tiga uang. Dengan demikian, absah saja kita mengatakan bahwa hidup ini sebenarnya adalah will to money.
Ada satu ungkapan yang sering keluar dari pembicaraan orang yang berkaitan dengan uang, misal time is money. Ungkapan seperti ini telah menjadikan, setidaknya, uang sebagai suatu paradigma berpikir (paradigm of thought). Sedemikian besarnya peran uang ini dalam kehidupan sosial-masyarakat, hingga kita perlu menjelaskannya dari pelbagai aspek terutama dalam konteks fiqh mu’amalah. Dengan menjadikan fiqh mu’amalah sebagai starting point maka diharapkan tulisan ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan lebih jauh karena tulisan-tulisan mengenai tema ini masih sedikit dilakukan.

KONSEP DASAR UANG
A. Falsafi Uang
Uang sering didefinisikan sebagai alat pertukaran, alat pembayaran yang ’sah’ di mana terjadi transfer nilai dari satu pihak ke pihak lain. Satu pihak menyerahkan produk berupa barang atau jasa, pihak lain menukar ’nilai’ produk itu dalam bentuk uang. Atau kalau kita merujuk pada penjelasan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia uang memiliki arti; (1) kertas, emas, perak, atau logam lain yang dicetak dengan bentuk dan gambar tertentu, dikeluarkan oleh pemerintah suatu negara sebagai alat penukar atau standar pengukur nilai (kesatuan hitungan) yang sah (2) harta; kekayaan.
Pertukaran ’nilai’, seperti tersebut di atas, itu bisa juga dalam bentuk barter, namun sesuai dengan perkembangan sejarah hidup manusia, lambat laun manusia belajar bahwa ternyata hal tersebut tidak praktis. Ada proses pertukaran yang lebih praktis: menggunakan uang !
Sejak jaman kuno, peranan pemerintah merupakan salah satu penentu dari terpeliharanya mutu tinggi dari suatu jenis mata uang. Aristoteles, dianggap sebagai perintis teori tentang pengelolaan uang oleh pemerintah, dalam karyanya ”Ethica Nichomachea,” ia menulis: ”Money has become by convention ’money’ (nomina) –because it is exists not only by nature but by law (nomos)and it is in our power to change it and make it useless.” Nilai uang itu tidak ditentukan secara kondrati, melainkan ditentukan oleh hukum yang dibuat oleh manusia sendiri. Sejalan dengan hal tersebut, Emberto Eco dalam novelnya yang terkenal “The Name of the Rose” mengatakan: “bunga mawar telah ada jauh sebelum nama ‘mawar’ itu ada, namun kita selalu berpegang pada namanya belaka dan mengesampingkan bunga mawar itu sendiri.” Secara instrinsik, selembar Rp. 100.000,- mungkin lebih murah dari selembar Rp. 20.000,- tetapi kita sudah terbiasa untuk berpegang pada ‘nama’nya saja, bahwa seratus ribu adalah lebih bernilai dari pada dua puluh ribu.
Dalam konteks yang lain, ada sebuah buku yang ditulis oleh seorang filsuf dan sosiolog terkenal Georg Simmel berjudul The Philosophy of Money (Filsafat Uang). Salah satu dalil pokok dari filsafat Simmel adalah bahwa “semua hal harus dianggap saling terhubung atau masing-masing merupakan fungsi dari hal yang lain”. Pandangan seperti ini biasa disebut sebagai ‘relasionisme’. Pandangan dasar ini sangat nampak dalam uraiannya tentang masyarakat dan uang.
Masyarakat, bagi Simmel, adalah jumlah total interaksi dan saling ketergantungan antar individu, adalah jumlah ’gerak’ dan ’aliran’. Namun, kita sudah terbiasa menganggap masyarakat itu sebagai sebuah ’organisme’, sebagai ’substansi’ sebagai ’entitas yang utuh’, padahal itu semua hanyalah imagined community.
Begitu juga Uang. Bagi Simmel, uang bukanlah ’substansi’ yang pada dirinya sendiri bernilai dan karenanya dapat ditukarkan dengan apa saja. Uang pada hakikatnya adalah relasi, yakni relasi pertukaran, yang diwujudkan secara jasmaniyah. Uang, dengan kata lain merupakan sebuah simbol dari relasi pertukaran. Konsep ini sejalan dengan definisi uang menurut John Eatwell, Murray Mullagate, dan Peter Newman dalam The New Palgrave: A Dictionary of Economics, bahwa “Money is a social relation. Like the meaning of a word, or the proper form of a ritual, it exists as a part of a system of behaviour shared by a group of people. Thought it is the joint creation of a whole society, money is external to any particular individual, a reality as unyielding to an individual’s will as any natural phenomenon.”
Aristoteles, lebih lanjut dalam Ethica Nichomachea menyebut tiga sikap manusia terhadap uang. (1) Sikap yang seimbang dan etis sebagai “sikap murah hati”, (2) sikap yang merupakan ekses sebagai “sikap boros”, dan (3) sikap yang merupakan kekurangan sebagai “sikap pelit”. Sikap murah hati ialah sikap yang dapat memberikan uang atau apapun yang dapat diuangkan kepada pihak yang tepat dan mau menerima dari pihak yang tepat. Tekanan diberikan pada kata ‘memberi’, karena ia bermakna lebih aktif ketimbang kat ‘menerima’. Sebaliknya sikap pelit memberi tekanan pada kata ‘menerima’ saja.
B. Konsep Uang dalam Alquran
Di dalam Alquran, uang diterjemahkan sebagai ’harta’ kekayaan, dan ‘nilai tukar bagi sesuatu’. Lebih dari itu, Allah menyebutnya sebagai  yaitu “sarana pokok kehidupan” (QS. al-Nisâ’: [4]:5). Ayat ini juga terkait dengan larangan memberikan harta kepada pemiliknya jika sang pemilik dinilai boros atau tidak pandai mengelola hartanya secara baik. (QS. al-Nisâ’: [4]:5). “Dan janganlah kamu memberi orang-orang yang lemah kemampuan (dalam pengurusan harta) harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai sarana pokok kehidupan.”
Menurut Fuad Abdul Baqi, seperti yang dinyatakannya di dalam Mu’jam al-Muhfaras, kata mâl (uang) terulang dalam Alquran sebanyak 25 kali (dalam bentuk tunggal) dan amwâl (dalam bentuk jamak) sebanyak enam puluh satu kali. Menanggapi hal ini, Hassan Hanafi di dalam bukunya al-Dîn wa al-Tsaurah menyebut bahwa kata itu memiliki dua pengertian (bentuk). Pertama, tidak dinisbatkan kepada ’pemilik’, dalam arti dia berdiri sendiri. Ini, menurutnya, merupakan sesuatu yang logis karena memang ada harta yang tidak menjadi objek kegiatan manusia, tetapi berpotensi untuk itu. Kedua, dinisbatkan kepada sesuatu, seperti ’harta mereka’, harta anak yatim, ’harta kamu’ dan lain-lain. Ini adalah harta yang menjadi objek kegiatan. Dan bentuk inilah yang terbanyak digunakan dalam Alquran.
Lebih jauh, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata mâl (dalam bentuk mufrad) ditemukan dalam Alquran diulang sebanyak 23 kali, sedangkan amwâl (dalam bentuk jamak) ditemukan sebanyak 54 kali. Dari jumlah ini yang terbanyak dibicarakan adalah harta dalam bentuk objek, dan ini, menurutnya, memberi kesan bahwa seharusnya harta atau uang menjadi objek kegiatan manusia. Kegiatan tersebut adalah aktivitas ekonomi.

UANG DALAM KONTEKS FIQH MU’AMALAH
Dalam pandangan Alquran, uang merupakan modal serta salah satu faktor produksi yang penting, tetapi bukan yang terpenting. Manusia menduduki tempat pertama setelah modal disusul sumber daya alam. Pandangan ini berbeda dengan pandangan sementara pelaku ekonomi modern yang memandang uang sebagai segala sesuatu, sehingga tidak jarang manusia atau sumber daya alam ditelantarkan atau diekploitasi semata.
Uang –yang dalam konteks fiqh mu’amalah termasuk dalam katagori benda yaitu ”segala sesuatu yang mungkin dimiliki seseorang dan dapat diambil manfaatnya dengan jalan biasa”– merupakan suatu modal yang tidak boleh diabaikan. Manusia berkewajiban menggunakannya dengan baik, agar ia terus produktif dan tidak habis digunakan. Karenanya, seperti yang dikutip dari QS. al-Nisâ’: [4]:5 di atas, menjadi penting untuk direnungkan. Pernyataan warzukuhum piha dan bukan warzukuhum minha di dalam surat tersebut menegaskan bahwa kata ’minhâ’ berarti dari modal, sedang fîhâ berarti di dalam modal, harus dipahami sebagai ada sesuatu yang masuk dari luar ke dalam (keuntungan) yang diperoleh dari hasil usaha. Karena itulah modal tidak boleh menghasilkan dari dalam-dirinya sendiri, tetapi harus dengan usaha manusia. Ini salah satu sebab mengapa membungakan uang, dalam bentuk riba dan perjudian, dilarang oleh Alquran. Salah satu hikmahnya adalah untuk mendorong aktivitas ekonomi, perputaran dana, sekaligus mengurangi spekulasi serta penimbunan. Dalam konteks ini Alquran menegaskan: ”....dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,” (QS. Al-Taubah [9]:34)
Bagi pemilik uang yang tidak atau kurang mampu mengelola uangnya, entah karena pailit, kurang cukup umur dan lain sebagainya, dalam konteks fiqh mu’amalah hal itu dapat dikembangkan dengan cara murâbahah, mudhârabah, atau musyârakah.
 Murâbahah merupakan konsep pembelian barang menurut rincian yang ditetapkan oleh pengutang, dengan keuntungan dan waktu pembayaran yang disepakati.
 Mudhârabah merupakan konsep bagi hasil dengan bergabungnya tenaga kerja dengan pemilik modal, sebagai mitra usaha dan keuntungan yang dibagi sesuai dengan rasio yang disepakati.
 Musyârakah merupakan konsep patungan dengan memadukan modal untuk bersama-sama memutarnya, dengan kesepakatan tentang rasio laba yang akan diterima.
Dengan berpijak pada konsep di atas, maka diharapkan cara atau konsep tersebut dapat mendorong setiap pemilik modal untuk tidak membiarkan modalnya tersimpan tanpa perputaran. Bukankah uang dijadikan Allah untuk sarana kehidupan dan pemenuhan kebutuhan manusia? []

12 Januari 2009

Etika Belajar di Pesantren:

Muqaddimah

K.H. Yusuf Hasyim, pengasuh pondok pesantren Tebuireng, menyatakan bahwa pesantren merupakan suatu ‘lembaga barokah’. Pernyataan ini di dasarkan pada suatu kecenderungan yang merebak di masyarakat bahwa santri belajar di pesantren hanya semata-mata mengharapkan ‘barakah’ dari sang kiai atau pendiri pesantren. Lebih jauh, kita sering mendengar khikayat mengenai santri yang pada waktu nyantri di sebuah pondok pesantren menjadi khadam (pembantu) kiai, entah menjadi tukang ambil air, menggembalakan ternak ataupun mengurus keperluan ‘dapur’ sang kiai, namun tiba-tiba setelah pulang ke kampung halamannya ia muncul sebagai sosok yang alim atau bahkan menjadi kiai juga. Dan mungkin banyak lagi khikayat yang mengilustrasikan hal itu, termasuk mungkin juga apa yang terjadi di pesantren Annuqayah. Di mana, terkadang, santri berlomba-berlomba untuk mengejar ‘barakah’ dengan cara menjadi abdi dalem atau panglakoh dalem.

Dalam konteks di atas, kita ingin menelisik lebih jauh mengenai Etika Belajar di Pesantren dalam kaitannya dengan suatu konsep yang ditawarkan oleh sebuah kitab klasik karya al-Zarnuji yaitu تَعْلِيمُ المُتَعَلم طرِيقَ التَعلمِ. Yang menurut hemat saya, kitab ini, dalam banyak hal meski bukan keseluruhan, telah membentuk pola pikir dan pandangan dunia (world views) santri, termasuk di sini santri Annuqayah.

تَعْلِيمُ المُتَعَلم طرِيقَ التَعلمِ Sebagai Ways of Thought

Kitab Ta’lim al-Muta’allim yang ditulis oleh al-Nu’man ibn Ibrahim ibn al-Khalil al-Zarnuji.[1] Kitab ini, seperti diklaim oleh penulisnya, merupakan suatu kitab mengenai metode belajar ( طَريْق التَعلّم). Namun apabila dikaji isinya, metode belajar yang dimaksud sangat sedikit sekali. Di antara 13 bab (فَصْل) yang terdapat di dalam kitab ini, hanya satu bab yang membahas metode belajar, yaitu فصل فى بداية السبْقِ و قدْرِه وَ ترْتِيبِه (memulai belajar, kadar, dan tata caranya). Selebihnya membahas tentang; keutamaan ilmu, motivasi belajar, memilih ilmu, guru, dan kawan, memuliakan ilmu dan ulama, dan lain-lain. Bahkan membahas hal-hal yang dianggap dapat mempercepat rezeki, karena belajar tak pelak lagi memerlukan hal tersebut. Karena itulah, hemat saya, kitab ini lebih tepatnya kalau kita sebut sebagai kitab tentang “Etika Pelajar”. Dan agaknya, bagian inilah yang paling memberikan efek signifikan.

Di dunia pesantren, santri yang tidak sopan terhadap guru, maka sang santri akan dicap “tidak pernah mengaji kitab Ta’lim”, tetapi santri yang bodoh yang bisa jadi belum atau tidak mempraktekkan kitab tersebut, label itu tidak akan disandangnya. Salah satu bagian dari petuah-petuah kitab ini adalah keharusan santri [seorang pelajar] untuk menghormati gurunya, begitu pula orang-orang yang memiliki pertalian darah dengannya, seperti putranya dan lain-lainnya. Dalam kaitannya ini, al-Zarnuji, menyitir ucapan Sayyidina Ali, “اَنا عبدُ من علمَني حرفًا واحدًا اِن شَاء باعَ وان شَاء اَِعتقَ وان شَاء اِستَرق “ (Saya adalah hamba orang yang pernah mengajarkan satu huruf kepadaku, apabila ia mau boleh menjualku, memerdekakanku, atau tetap memperbudakku). Di bagian lain, al-Zarnuji menuturkan beberapa cara menghormati guru, antara lain; pelajar tidak diperkenankan berjalan di depan guru, tidak diperkenankan duduk di tempat duduknya, tidak boleh mendahului berbicara dengannya, tidak boleh menanyakan hal-hal yang gurunya sudah jenuh, tidak boleh mengetuk pintunya tetapi mesti menunggu hingga keluar sendiri. Walhasil, pelajar/santri harus selalu mencari kerelaan hati gurunya (tidak menyakiti hati gurunya) dan mematuhi segala perintah-perintahnya, sepanjang hal itu bukan perbuatan maksiat.

Prinsip-prinsip yang diproyeksikan di dalam kitab inilah yang agaknya menimbulkan persepsi penyerahan total pelajar/santri kepada gurunya. Apalagi bila diingat adanya bayang-bayang, ilmunya tidak akan bermanfaat apabila ia pernah berbeda pendapat (i’tiradl) dengan gurunya atau pernah menyakiti hatinya. Persepsi ini, meski mempunyai nilai positif, namun tak urung menimbulkan efek yang lain, misalnya pelajar/santri karena harus bersikap menerima maka ia cenderung tidak berani bersikap kritis.

Annuqayah: Mencermati Pola Hubungan Santri-Kiai

Pesan yang dapat direnggut dari teks kitab Ta’lim al-Muta’allim di atas, sedikit banyak, membantu kita dalam menganalisis tradisi belajar, sekaligus pola hubungan santri-kiai, yang berjalan selama ini. Kalau kita sepakat mengenai struktur masyarakat yang terdapat di dunia pesantren yang umumnya feodalistis, maka, seperti dalam tatanan masyarakat feodal, terdapat kelas-kelas atau strata-strata yang berjalan hirarkhis. Mulai yang paling atas hingga ke bawah. Demikian juga dalam masyarakat pesantren, ada seorang kiai, yang kemudian dijadikan patron dalam segala hal, dan ada juga santri, yang direpresentasikan sebagai “peniru” sekaligus “pembantu” dari sang kiai. Karena sang Kiai adalah patron maka apa yang melekat pada diri sang kiai sudah selayaknya digugu dan ditiru sebagai suatu konsep etika bersama. Kondisi ini kemudian membentuk cara pandang dan pandangan dunia bagi masyarakat pesantren yang khas dan unik.

Begitu juga di Annuqayah. Para kiai, karena Annuqayah terdiri dari beberapa blok atau daerah, terlibat langsung dalam pembentukan karakter pesantren tersebut. Ada ritual atau tradisi yang dapat ditangkap, misalnya di Lubangsa Raya, karena sang kiai membiasakan diri salat berjamaah maka santri-santrinya juga diserukan untuk salat berjamaah bahkan kalau bisa sampai 40 hari untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat [barakah], tidak harus berpuasa. Sementara kalau di Latee, seorang santri jika ingin ilmu mempuni maka diserukan untuk melakukan ritual tirakat, puasa dan lainnya. Dan demikian juga daerah-daerah yang lain terdapat tradisi keilmuan yang unik. Namun secara umum fenomena yang kita lihat, pola hubungan yang ada di Annuqayah masih feodalistik, meskipun mungkin di luar blok atau daerah utama telah ada suatu konstruksi hierarkhis dari model yang ada. Jika demikian yang terjadi, maka kira-kira sistem proses belajar-mengajarnya bagaimana?

Sekali lagi, kita dapat merujuk kembali apa yang telah dituturkan oleh teks dari kitab Ta’lim al-Muta’allim di atas. Bahwa seorang pelajar/santri ada dalam bayang-bayang kiainya sehingga sikap kritis-dialogis jarang sekali terjadi apalagi ini di dukung oleh Etika Belajar yang berkisar pada sistem pengajian model bandungan (massal), bukan sorogan (individual, klasikal). Pada model pertama, para pelajar/santri lebih cenderung mengatakan apa kata guru/kiai atau apa kata kitab. Sementara pada model kedua, para pelajar/santri akan mengatakan apa kata dalil dan bagaimana memprosesnya menjadi suatu hukum.

Model Ideal Proses Belajar-Mengajar di Pesantren:

Suatu Pencarian Bentuk

Melihat pelbagai peristiwa yang terjadi di dunia pesantren. Maka tidak bisa tidak harus segera dirumuskan suatu strategi pembelajaran yang tepat guna demi terciptanya keadaan kondusif bagi berlangsungnya proses keilmuan yang baik dengan tidak mengesampingkan karakter pendidikan pesantren yang menekankan pada “etika-barakah” ataupun pada suatu sistem pendidikan modern yang menekankan “etika-kritis-dialogis”.

Kedua model itu, menurut hemat saya, harus segera diusung ke dalam dunia pesantren. Jika pesantren memang benar-benar menginginkan kualitas santri yang mampu menjawab tantangan jaman. Mampu membaca khazanah kitab klasik ataupun kritis terhadap perkembangan keilmuan mutakhir. Artinya, Annuqayah harus menjadi pondok pesantren yang benar-benar “moderat”. Terkait dengan hal ini, kalau kita menengok ke belakang mengenai tradisi keilmuan pada masa jauh sebelum al-Zarnuji, terutama periode imam-imam mazhab, kita dapat memperoleh gambaran bahwa mereka tidak selamanya sependapat dengan gurunya. Jauh sebelum itu juga, Umar bin Khattab pernah juga diprotes oleh seorang wanita yang juga sebagai muridnya. Bila petuah al-Zarnuji di atas menjadi kriteria, sebenarnya gurulah yang seyogianya elastis dalam mengonotasikan kerelaannya. Sebab, boleh jadi seorang guru/kiai merasa tersinggung (tidak rela) apabila murid/santrinya berbeda pendapat dengannya sementara guru/kiai yang lain justru merasa bangga, bahkan memotivasi apabila muridnya berpendapat lain selama hal itu berdasarkan argumen yang kuat.

Dengan mengelaborasi pelbagai metode yang ada, tentu sistem pendidikan pesantren ke depan dapat melahirkan santri-santri yang berkualitas lebih. Pandai dalam masalah keilmuan baik agama dan umum ataupun dapat menjadi sosok yang memiliki integritas tinggi dalam persoalan moralitas. Dan di sinilah saya pikir harapan kita semua.@


[1] Al-Zarnuji seperti dijelaskan dalam al-Munjid dan al-A’lam (karangan al-Zarkeli) adalah sastrawan [adib] yang berasal dari Bukhara. Semula al-Zarnuji berasal dari Zarnuj, suatu kawasan di negeri-negeri seberang sungai Tigris (ma wara’a al-Nahr). Kitab lainnya yang pernah ditulis adalah al-Muwadhah Syarh al-Maqamat al-Haririyah. Beliau wafat pada tahun 630 H./1242 M.