08 Maret 2009

Pokok Bahasan IX

FILSAFAT ABAD PERTENGAHAN

(FILSAFAT PATRISTIK DAN FILSAFAT SKOLASTIK)


FILSAFAT ABAD PERTENGAHAN

Istilah Abad Pertengahan merupakan istilah untuk menunjuk suatu jaman peralihan atau jaman tengah antara dua jaman penting sesudah dan sebelumnya; yakni Jaman Kuno (Yunani dan Romawi) dan Jaman Modern yang diawali dengan masa Renaissans pada abad ke-17.


Sejarah Abad Pertengahan dimulai kira-kira pada abad ke-5 sampai awal abad ke-17.


Peta Kronologis
Sejarah Filsafat Barat

600 SM – 500 M

Jaman Kuno

Yunani-Romawi

500 M – 1700 M

Abad Pertengahan

Dimulai tahun 476 M, yaitu masa berakhirnya Kerajaan Romawi Timur yang berpusat di Konstantinopel, berakhir 1492 penemuan benua Amerika oleh Columbus

1700 M – SEKARANG

Jaman Modern

Masa Renaissans pada abad ke-17


Ciri Filsafat Abad Pertengahan

  1. Adanya hubungan erat antara Agama Kristen dan Filsafat. Dengan kata lain, filsafat Abad Pertengahan adalah filsafat Kristiani.
  2. Tema Filsafat Abad Pertengahan adalah hubungan antara iman yang berdasarkan wahyu-Ilahi dan pengetahuan yang berdasarkan kemampuan rasio-manusia.
  3. Dapatlah dikatakan bahwa Filsafat Abad Pertengahan adalah filsafat agama dengan agama kristiani sebagai basisnya.


Dua Jaman Penting Abad Pertengahan

Sejarah Abad Pertengahan dibagi menjadi dua jaman, yakni JAMAN PATRISTIK dan JAMAN SKOLASTIK


Jaman Patristik [Abad ke-2 sampai Abad ke-7]

Istilah "Patristik" (Patres, Latin) yang menunjuk pada Bapa-bapa Gereja, dan juga berarti pujangga-pujangga Kristen dalam abad pertama Masehi yang meletakkan dasar intelektual untuk agama Kristen. Dalam konteks saat itu, agama Kristen juga dihadapkan pada kebudayaan Yunani terutama pikiran-pikiran filosofis yang beredar dalam masyarakat. Di sinilah muncul pro dan kontra terhadap penerimaan filsafat. Karenanya, Jaman Patristik ditandai dengan usaha keras para Bapa Gereja untuk mengartikulasikan, menata, dan memperkuat isi ajaran Kristen serta membelanya dari serangan kaum kafir dan bid'ah kaum Gnosis. Menurut pendapat mereka, sesudah manusia berkenalan dengan Wahyu Ilahi yang tampak dalam diri Yesus Kristus, filsafat sebagai kecerdikan manusiawi belaka merupakan sesuatu yang berlebihan saja, bahkan suatu bahaya yang mengancam kemurnian iman kristiani.


Sebagai contoh, sebut di antaranya seperti;

1. YUSTINUS MARTIR melihat "Nabi dan Martir" Kristus dalam diri Sokrates. Dan dikenal sebagai Filsuf Kristen pertama.

2. TERTULIANUS mengatakan tidak ada hubungan antara Athena (simbol Filsafat) dan Yerussalem (simbol teologi ajaran kristiani).

3. ORIGENES berpendapat wahyu Ilahi adalah akhir dari filsafat manusiawi yang bisa salah. Orang hanya boleh mempercayai sesuatu sebagai kebenaran bila hal itu tidak menyimpang dari tradisi Gereja dan ajaran para rasul.


Kemudian pada abad ke-5, Augustinus muncul. Ajarannya yang kuat dipengaruhi oleh neo-Platonisme merupakan sumber inspirasi bagi pemikir Abad Pertengahan sesudah dirinya selama sekitar 800 tahun.


Tentang Augustinus

"Jiwa Resah Mendambakan Istirahat"


Kesan yang kita tanggap bagi seorang Agustinus bahwa hidup, berpikir, dan mencintai adalah satu kegiatan dalam iman. Dia dilahirkan di Tagaste tahun 354.

Agustinus muda adalah lelaki yang suka foya-foya dan menikmati kesenangan duniawi yang kelak perbuatannya itu dianggap sebagai "kebejatan nafsu daging", "kegilaan nafsu birahi yang liar". Yang khas dalam pandangan Agustinus adalah mengenai pengenalan diri adalah keterarahannya pada Tuhan:

"Aku mengenal diriku hanya di dalam terang kebenaran dari Dia, yang selalu mengenal (menciptakan) aku" Dengan iman, manusia dapat mengembangkan berbagai kemungkinan pengetahuannya. Begitu juga sebaliknya, dengan pengetahuan, manusia dapat meneguhkan imanya! Maka, "percayalah untuk bisa mengetahui, dan upayakanlah pengetahuan agar dapat percaya" (Crede ut intelligas, intellige ut credas).


Ajaran Mengenai Iluminasi


Ajaran ini terkait erat dengan penolakannya pada SKEPTISISME; yaitu suatu faham yang mengajarkan bahwa manusia tidak dapat mencapai kepastian pengetahuan. Dulunya, Agustinus menganut paham ini tapi kemudian menolaknya. Alasannya, memang tentang segala sesuatu di luar aku, aku bisa menyangsikan kepastiannya. Akan tetapi, dengan menyangsikan kepastian segala sesuatu, ada satu kepastian yang tidak dapat aku sangsikan lagi, yakni kepastian bahwa aku ini tengah menyangsikan segala sesuatu. Dengan kata lain, harus diterima bahwa pasti ada Aku yang tengah sangsi, keliru, bingung, ragu-ragu, dan seterusnya: "Jadi, kalau aku keliru, aku ada" (Si enim fallor, sum).


Atas dasar pemikiran di atas, Agustinus mengemukakan jalan menuju kepastian pengetahuan. Namun, bukan di luar, melainkan di dalam, pada batin atau jati diri manusia itu sendiri. Kata-katanya yang terkenal:

"Janganlah pergi ke luar, kembalilah ke dalam dirimu sendiri; di dalam batin manusia tinggal kebenaran" (noli foras ire, in te ipsum redi; in interiore homine habitat veritos).


Di dalam batinnya, manusia menemukan kebenaran-kebenaran yang niscaya dan berlaku di mana-mana. Kebenaran ini tidak berasal dari pengalaman inderawi, karena pengalaman indrawi sendiri mengandaikan adanya ide-ide tertentu. Pertanyaannya? Bagaimana kita bisa mendapatkan ide-ide mengenai sesuatu, tanpa tergantung pada pengalaman indrawi?


Manusia dapat mencapai kebenaran-kebenaran yang abadi dan sejati berkat terang (lumen, Latin) dari Allah. Karena dalam keyakinan Agustinus, manusia secara alamiah sudah terdapat suatu benih kebenaran yang tidak dapat padam atau mati. Inilah ajaran Agustinus tentang ILUMINASI.


Proses ilumniasi dapat dianalogkan dengan akibat yang dihasilkan Sang Surya pada penglihatan kita. Mata kita adalah daya / kekuatan manusia (yakni rasionya, di mana ada "benih kebenaran"), benda yang diterangi merupakan objek-objek pengetahuan kita, sedangkan Sang Surya sendiri adalah sumber kebenaran pengetahuan kita (Tuhan).


Dalam analog yang lain, Agustinus mengambil contoh dalam dunia pendidikan. Bahwa proses belajar-mengajar hanya mungkin karena adanya "dasar pengetahuan" atau "pengertian" dalam diri manusia. Ini tinggal dihidupkan saja dengan perkataan dan penjelasan bapak guru. Tindakan "menghidupkan" ini tentu sama sekali berbeda, misalnya, dengan sekedar "memberikan" pengetahuan seperti memberikan sebuah jeruk kepada seorang anak.


Jaman Skolastik [Abad ke-9 sampai Abad ke-14]


Para sejarawan filsafat membagi Jaman Skolastik ini ke dalam tiga periode;

  1. Periode Skolastik Awal (800-1200 M)
  2. Periode Skolastik Puncak (1200-1300 M)
  3. Periode Skolastik Lanjut/Akhir (1400 M)


    Istilah Skolastik erat kaitannya dengan didirikannya banyak sekolah (schola, Latin) pada Abad Pertengahan. Namun dalam arti yang lebih khusus, kata "Skolastik" menunjuk pada suatu metode tertentu, yakni "metode skolastik". Dengan metode ini, berbagai masalah dan pertanyaan diuji secara tajam dan rasional, ditentukan pro-kontra nya untuk kemudian ditemukan pemecahannya. Karenanya, ciri filsafat skolastik adalah "tuntutan ke-masuk-akal-an dan pengkajian yang teliti dan kritis atas pengetahuan yang diwariskan".


    1. Periode Skolastik Awal (800-1200 M)

    Ajaran Agustinus dan neo-Platonisme banyak berpengaruh. Pada periode ini, diupayakan misalnya, pembuktian Tuhan berdasarkan rasio murni tanpa berdasarkan Kitab Suci. Tokohnya adalah ANSELMUS.

    Selain para pemikir dari kristen, jangan pula dilupakan peran filosof Islam seperti IBN SINA dan IBN RUSHD. Keduanya berperan hebat dalam memperkenalkan pemikiran Aristoteles dan neo-Platonis sehingga juga mempengaruhi Abad Pertengahan. IBN SINA misalnya, berusaha mensintesiskan neo-Platonisme dan Aristotelianisme.


    2. Periode Skolastik Puncak (1200-1300 M)

    Filsafat Aristoteles memberikan pengaruh yang besar. Universitas-universitas pertama didirikan di Bologna (1158), Paris (1170), Oxford (1200). Pada periode ini pula, terjadi kontrontasi dua golongan rohaniawan (ordo) antara ordo Fransiskan (berorientasi pada filsafat Agustinus) dan ordo Dominikan (berorientasi pada filsafat Aristoteles).

    Pada abad ke-13, terjadi sintesis besar dua khazanah pemikiran antara kristiani (ajaran Augustinus) dan filsafat Yunani (Plato, neo-Platonisme, dan Aristoteles). Tokohnya, Yohanes Fidanza (Bonaventura), Albertus Magnus, dan Thomas Aquinas. Hasil sintesis ini disebut Summa (keseluruhan, Latin).


    1. Periode Skolastik Lanjut/Akhir (1400 M)

    Kepercayaan orang pada kemampuan rasio dalam memberi jawaban atas masalah-masalah iman mulai berkurang. Timbullah semacam keyakinan bahwa iman dan pengetahuan tidak dapat dipersatukan. Rasio tidak dapat mempertanggungjawabkan ajaran Gereja. Dan hanya iman yang dapat menerimanya. Kesalehan dan hidup mistik mendapatkan perhatian istimewa. Tokohnya seperti THOMAS A. JEMPIS. Dan muncul tokoh lainnya di Jerman, NICOLAUS CUSANUS. Ia menampilkan "Pengetahuan mengenai Ketidaktahuan" ala Socrates dalam pemikiran kristianinya: "Aku tahu bahwa segala sesuatu yang dapat kuketahui bukanlah Tuhan."

    Setelah periode ini, filsafat mulai memasuki periode jaman modern yang diawali dengan jaman Renaissans, jaman "Kelahiran Kembali" kebudayaan Yunani-Romawi di Eropa.


    Tentang Thomas Aquinas

    Filsuf Sekaligus Teolog


    Tidak dapat dibantah bahwa Thomas Aquinas adalah tokoh terpenting kala itu pada jaman Skolastik. Ia berjasa dalam memadukan secara orisinil pemikiran Augustinus dengan filsafat Aristoteles. Lewat sebuah ensiklik (surat edaran dari kepausan). Ajaran Thomas Aquinas dinyatakan sebagai dasar bagi filsafat kristiani dan wajib diajarkan pada semua sekolah filsafat dan teologi Katolik.


    Menurut Thomas, iman dan akal budi tidak mungkin bertentangan karena keduanya berasal dari Allah. Maka baik teologi maupun filsafat pada akhirnya akan sampai pada kebenaran hakiki yang sama. Hanya saja keduanya menggunakan metode yang berbeda. Filsafat memulai penyelidikannya dari benda-benda ciptaan (dalam kawasan yang alamiah), dan dari sinilah dapat mencapai Allah. Sementara teologi justru sudah menerima Allah sebagai asal dan fundamen untuk penyelidikannya atas benda-benda alamiah. Maka, teologi memerlukan wahyu Allah.


    Dengan beriman, ia dapat mencapai pengetahuan adikodrati yang disampaikan wahyu kepadanya (misalnya pengetahuan tentang misteri trinitas, inkarnasi, sakramen). Semua pengetahuan ini memang berada di luar batas-batas akal budi, namun sama sekali tidak boleh dikatakan bahwa pengetahuan itu bersifat irasional atau bertentangan dengan prinsip-prinsip akal budi, melainkan jauh melampaui dan mengatasinya. Dengan kata lain, semua pengetahuan yang berasal dari wahyu bersifat metarasional (meta, Yunani: sesudah, di atas).

01 Maret 2009

Pokok Bahasan VII

REALISME ARISTOTELES

Biografi Aristoteles

Dikalangan Islam, Aristoteles dikenal sebagai si Guru Pertama (al-Mu'allim al-Awwal). Putra Negara Yunani yang termasyhur ini dilahirkan di Stagyra di daerah Thrakia, Yunani Utara tahun 384 SM.

Delapan belas tahun kemudian, Aristoteles masuk Akademia di Athena dan selama 20 tahun mengikuti kuliah-kuliah Plato. Namun kemudian ia meninggalkan ajaran gurunya itu.

"Amicus Plato, magis amica veritas"

[Plato memang sahabat karibku, tetapi kebenaran jauh lebih akrab denganku], demikian kata-kata Aristoteles.

Tahun 335 SM, Aristoteles mendirikan sekolah yang diberi nama Lykaion, nama salah satu gelar dewa Apolo. Karena caranya mengajar dan caranya bertukar pikiran dengan kelompok-kelompok kecil, berlangsung sambil berjalan-jalan, maka sekolahnya dijuluki dengan Peripatetik.

Akhirnya, pada tahun 322 SM Aristoteles meninggal dunia di kota Chalcis (di pulau Eubua).

Percikan Pemikiran Filsafat Aristoteles

Seperti halnya Plato, Aristoteles juga senang menulis. Diogenes Laertius, seorang sejarawan filsafat abad ke-3, menyebut 146 judul tulisan. Seorang yang banyak berjasa menyelamatkan dan menyebarkan ajaran Aristoteles ke dunia Barat adalah tokoh filsuf Islam, Ibnu Rushd. Hingga akhirnya dunia Barat mengakui sang guru pertama dengan sebutan Filosof.

Pemikiran filsafatnya meliputi banyak hal, mulai soal Metafisika, Logika, Etika, Politik, hingga ilmu pengetahuan umum seperti Biologi, fisika, dan psikologi. Sekedar catatan, tulisan Aristoteles dikenal sangat kering dan kaku. Tidak seperti Plato yang bergaya sastra dan memuat mite-mite.

Tentang Metafisika

Asal muasal lahirnya pemikiran metafisika Aristoteles ini terkait dengan banyak hal, yaitu terkait dengan:

Pertama, idea-idea Plato yang dianutnya, kemudian dikritik, ditentang, dan dilepaskan.

Kedua, kosmos. Bagaimana adanya aturan yang pasti dalam kosmos itu dapat diterangkan? Dari manakah aturan itu? Dengan demikian, permenungan Aristoteles berkisar pada "arche" atau "purba" (dasar yang pertama).

Dalam pemikiran Plato, terdapat dualisme realitas yaitu antara dunia ide-ide dan dunia benda-benda konkret.

Aristoteles mengkritik pandangan tersebut, dengan berkata: "Hakikat suatu benda itu berada dalam benda itu sendiri bukan dalam segala macam ide ala Plato."

Solusinya ! Aristoteles mengemukakan suatu ajaran tentang Hylemorfisme.

Hylemorfisme : Setiap benda selalu merupakan pengejewantahan dari materi (hyle) dan bentuk (morphe). Keduanya merupakan prinsip-prinsip metafisik.

Contoh telephon, dapat dijelaskan sebagai berikut:

Menurut ajaran Aristoteles: dalam telephon dari plastik itu, terdapat dua unsur yang menyatu sekaligus yakni plastik dan rupa telephon. Materi dalam benda konkret itu adalah plastik. Sedangkan "telephon" adalah bentuk. Bentuk telephon memerlukan bahan plastik agar jelas nampak sebagai telephon. Sementara bahan plastik memerlukan bentuk telephon agar dapat melaksanakan kemungkinannya menjadi telephon sungguhan.

Jadi, bentuk tidak pernah lepas dari bahan dan bahan tidak pernah lepas dari salah satu bentuk.

Atas dasar ajarannya itu, Aristoteles membedakan empat penyebab untuk mengartikan suatu kejadian/penampakan.

1. Penyebab formal (causa formalis)

Inilah bentuk yang menyusun bahan. Misalnya bentuk Telephon ditambahkan pada plastik sehingga menjadi sebuah telephon.

2. Penyebab final (causa finalis)

Inilah tujuan yang menjadi arah seluruh kejadian. Misalnya, telephon dibuat agar orang dapat berkomunikasi.

3. Penyebab efisien (causa efficiens)

Inilah "motor" yang menjalankan kejadian. Misalnya, tukang telephon membuat telephon.

4. Penyebab material (causa materialis)

Inilah bahan dari mana suatu benda dibuat. Misalnya, bahan material telephon adalah plastik.

Kesimpulan

Hakikat benda, demikian menurut Aristoteles, tidak berada di luar. Melainkan di dalam benda itu sendiri. Dengan kata lain, hakikat suatu benda bukan terletak pada ide-ide yang berada entah di mana nun jauh di sana, melainkan mengejewantahkan dirinya secara riil dan secara bertahap dalam serangkaian kejadian atau penampakan.

Ajaran Tentang Tuhan

Salah satu tema yang terkait dengan metafisika, khususnya perihal gerak perkembangan suatu benda, adalah ajaran mengenai TUHAN.

Menurut Aristoteles, suatu gerakan atau proses perkembangan dalam jagad raya tidak mempunyai awal dan akhir dalam waktu. Maka alam semesta ABADI sifatnya. Namun karena sesuatu yang bergerak digerakkan oleh penggerak yang lain, maka perlu diterima satu PENGGERAK PERTAMA yang tidak digerakkan oleh penggerak lain, yaitu TUHAN.

Ciri Penggerak Pertama adalah:

  • Abadi atau tidak terikat oleh waktu, sama seperti Jagat Raya yang disebabkan oleh-Nya.
  • Bukan materi sebab segala sesuatu yang material, selain tidak kekal sifatnya, juga mempunyai potensi untuk bergerak dan digerakkan. Dengan demikian,
  • Penggerak Pertama itu merupakan aktus murni, bukan potensi.

Tuhan sebagai aktus murni, menurut Aristoteles, memiliki dua alasan:

  • Tuhan bersifat non-material atau tidak badaniah, maka kegiatan-Nya pun harus bersifat murni rohaniah. Oleh karenanya, PEMIKIRAN adalah satu-satunya kegiatan yang bersifat murni rohaniah.
  • Segala aktivitas jenis lain, yaitu selain aktivitas PEMIKIRAN itu sendiri, selalu menuntut objek material yang terbatas dan berada di luar dirinya; dan dengan demikian juga menuntut ketergantungan pada objek itu sebagai arah atau tujuannya (potensi).

Tuhan sebagai aktus murni, menurut Aristoteles…

  • PEMIKIRAN sebagai aktivitas yang sama sekali tidak bersifat material, maka –seandainya ada objek- maka objek aktivitas inipun tentu tidak bersifat material atau terbatas. Tetapi objek yang paling tinggi dan sempurna. Nah, objek ini menurut Aristoteles adalah PEMIKIRAN itu sendiri.
  • Jadi, kalau Tuhan adalah aktus murni maka objek pemikiran Tuhan tidak lain adalah PEMIKIRAN ILAHI miliknya sendiri. "Tuhan adalah pemikiran yang memandang pemikirannya (noesis noeseoos)", demikian kata Aristoteles.

Bagaimana Penggerak Pertama itu menyebabkan gerak dalam jagad raya?

Bukan sebagai penyebab efisien (karena Dia adalah aktus murni yang tidak menuntut objek material), melainkan sebagai penyebab final Allah menyebabkan semuanya bergerak kepada diri-Nya sebagai telos, sebagai tujuan. Artinya, segala sesuatu yang ada mengarah kepada Penggerak Pertama itu. Gerak dalam jagad raya sama saja dengan gerak menuju Allah. Dalam bahasa puitisnya Aristoteles berucap, "Ia menggerakkan karena dicintai" (kinei de hos eromenon)

Namun, Tuhan sebagai Penggerak Pertama tidak mengenal dan mencintai sesuatu yang lain dari pada diri-Nya sendiri. Karena seandainya Tuhan sampai mengenal dan mencintai dunia (sebagai objek), Dia harus mempunyai potensi juga. Jika demikian halnya, Dia bukan lagi aktus murni.

Bagaimana kita memperoleh pengetahuan tentang Allah ini?

Menurut Aristeles, berkat rasio (nous), tetapi bukan sebagai rasio pasif (nous patheikos atau intelectus possibilis) yang terutama dipengaruhi oleh kesan-kesan indrawi, melainkan sebagai rasio aktif (nous poietikos atau intellectus agens) yang ikut menentukan isi pemahaman manusia berkat daya kreatifnya sendiri.

Sebagai intellectus agens, rasio mampu memahami adanya Tuhan dibelakang semua gejala alam (misalnya gerak) meskipun pemahaman ini melampaui pengamatan dan pengalaman indrawi yang terbatas jangkauannya.

Catatan :

Perbedaan antara rasio pasif dan rasio aktif menunjuk pada funsi rasio manusia. Rasio bersifat pasif jika hanya menerima hakikat suatu benda yang disajikan pada panca indra. Namun menerima dari mana ? Jawabannya, kata Aristoteles, dari rasio aktif.

Rasio Aktif ini berfungsi melepaskan hakikat dari sesuatu benda konkret yang disajikan pada pancaindra. Misalnya, dengan membandingkan berbagai jenis, bentuk, dan warna bunga Mawar yang pernah dilihat, rasio aktif harus membentuk hakikat bunga Mawar. Proses ini disebut ABTRAKSI.

Dalam proses ABTRAKSI (dari kata latin ab = ke atas, dan trahere = menarik) ini, rasio aktif menarik hakikat suatu dan/atau beberapa benda "ke atas" dan sekaligus membentuk pengertian yang tepat mengenai hakikat benda itu. Bagi Aristoteles, selain mengkritik "Ide Plato", bahwa pengenalan yang tepat tentang hakikat sesuatu itu bukan berasal dari dunia ide-ide Plato, tapi berasal dari proses ABSTRAKSI ini. Karenanya, ilmu pengetahuan dimungkinkan tanpa pengandaian ide-ide Plato.

Dalam konteks filsafat pengetahuan, Aristoteles berbeda dengan Plato. Dasar filsafat pengetahuan Aristoteles bukanlah INTUISI melainkan ABSTRAKSI.@

Pokok Bahasan VI

Idealisme Plato

Siapa Plato

Nama aslinya Aristokles. Nama Plato diberikan karena dahi dan bahunya lebar (Plato berarti 'yang berbentuk lebar'). Plato adalah seorang bangsawan, yang dalam sejarah tampil ke muka bukan saja sebagai filsuf dan ahli fikir yang saleh, melainkan juga sebagai penyair dan seniman yang bercita rasa tinggi.

Plato dilahirkan di Athena pada 427-347 SM dan seorang yang sangat mengagumi Sokrates, gurunya. Maka tak heran kalau Sokrates benar-benar mempengaruhi hidup dan pemikirannya. Namun, tidak seperti Sokrates, Plato rajin menulis buku. Karangan yang terakhir, Nomoi (undang-undang), bahkan belum rampung ditulis saat ia menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam usia 80 tahun.

Cicero mengungkapkan situasi itu dengan "Plato scribens est mortuus" (Plato meninggal ketika sedang menulis).

Kalau dicermati, filsafat Plato memiliki tiga karakteristik, yaitu:

1. Bersifat Sokrates.

Plato senantiasa menampilkan kepribadian dan perkataan Sokrates sebagai topik sentral karyanya.

2. Berbentuk Dialog

Dalam Surat VII, Plato menulis, "pena dan tinta membekukan pemikiran sejati dalam huruf-huruf yang membisu. Kalau toh pemikiran itu perlu dituliskan, bentuk yang paling cocok adalah bentuk percakapan (dialog-dialog)"

3. Adanya Mite-Mite

Plato memakai mite-mite untuk menjelaskan hal-hal yang abstrak dan adiduniawi (misalnya tentang ide-ide, keutamaan, dan jiwa)

Ajaran Tentang Ide-ide

Kebenaran ! Bukanlah manusia senantiasa merindu akan benar? Memang di dunia ini manusia dapat mencapainya, tetapi tidak sepenuhnya, tidak seutuhnya.

Menurut Plato kebenaran yang diperoleh di dunia ini selamanya bercampuran dengan yang tidak benar / sesatan.

Kenapa? Sebab dunia yang fana ini hanyalah semacam bayangan dari dunia yang baka, dunia yang lebih tinggi, yang menjadi modelnya. Hanya dalam dunia yang elok dan luhur itulah terdapat Kebenaran yang mutlak.

Dunia ini tak dapat ditangkap dengan Panca Indera, dunia ini adalah dunia dari idea-idea, dunia ini adalah dunia rohani.

Berdasarkan pandangan-pandangan itulah ia memiliki teori tentang idea-idea. Ajaran ini juga disebut "Dialektika" sebab merupakan perjalanan ke pengertian tentang Kebenaran.

Apa yang dimaksud Idea?

Menurut Plato:

Idea itu adalah intisari sesuatu. Ia adalah realitas; realitas yang ada, yang berdiri sendiri, baik kita pikir maupun tidak.

Di awal kita telah mengenal pemikiran Parmenides bahwa dalam pengertian akal terdapat idea-idea yang kekal, yang tidak berubah, yang universal. Namun bagaimana datang dan adanya idea-idea ini dalam intelek manusia? Permenides belum menjawab ini.

Plato mencoba menjelaskan yang belum terjawab oleh Parmenides tersebut.

Dari mana isi pikiran kita?

Dari dunia panca indera ini ?

Mustahil !!!!

Bukanlah dulu Herakleitos pernah menjelaskan bahwa hal-hal di dunia ini senantiasa mengalami perubahan, selalu mengandung pertentangan-pertentangan dan tidak dapat ditangkap dengan pengertian yang tetap?

Dapatkah penangkapan panca indera kita percaya?

Jika daya tangkap panca indera kita tak dapat dipercaya, lantas bagaimana?

Ya jawabannya; intelek. Dalam pengertian intelek, ada penangkapan yang tetap, yang tidak berubah.

Kesimpulannya: jiwa manusia harus mengerti suatu realitas yang berlainan dari dunia ini, suatu realitas yang mengatasi kemampuan panca indera, suatu realitas yang menjadi contoh dan ukuran realitas yang kita alami di dunia ini.

Jadi di luar dunia yang fana ini adalah dunia yang baka, yang tetap, yang kekal, yang abadi. Itulah dunia idea-idea.

Itulah kira-kira jalan pikiran Plato.

Terdapat sebuah perumpamaan yang terdapat di buku ketujuh Politeia, mengenai idea yang dimaksud Plato, yaitu "perumpamaan tentang gua".

Perumpamaan Manusia Gua

Bayangkan sebuah gua; di dalamnya ada sekelompok tahanan yang tidak dapat memutarkan badan, duduk, menghadap tembok belakang gua. Di belakang para tahanan itu, di antara mereka dan pintu masuk, ada api besar. Di antara api dan para tahanan (yang membelakangi mereka) ada budak-budak yang membawa berbagai benda, patung, dan lainnya. Yang dapat dilihat oleh para tahanan hanyalah bayang-bayang dari benda-benda itu.

Karena itu, mereka berpendapat bahwa bayang-bayang itulah seluruh realitas. Namun, ada satu dari para tahanan dapat lepas. Ia berpaling dan melihat benda-benda yang dibawa para budak dan api itu. Sesudah ia susah payah keluar dari gua dan matanya membiasakan diri pada cahaya, ia melihat pohon, rumah, dan dunia nyata di luar gua. Paling akhir ia memandang ke atas dan melihat matahari yang menyinari semuanya.

Akhirnya ia mengerti, bahwa apa yang dulunya dianggap realitas bukanlah realitas yang sebenarnya, melainkan hanya bayang-bayang dari benda-benda yang hanya tiruan dari realitas yang sebenarnya di luar gua. @