GAGASAN tulisan ini berawal dari SMA al-Hikmah Surabaya. Hikmah yang bisa dipetik adalah begitu pentingnya posisi guru di sekolah dalam membentuk kepribadian anak didik yang berakhlakul karimah dan memiliki segudang prestasi. "Apapun jenis lembaga pendidikan yang dikelola, pilar yang paling penting adalah sosok gurunya." Demikian ungkapan kata-kata yang masih segar dalam ingatan penulis. Guru merupakan sosok yang digugu dan ditiru. Keberhasilan anak didik tergantung bagaimana guru mendidiknya. Baik tidaknya prilaku anak didik, guru pulalah barometernya.
Kita sudah maklum, selain keluarga, sekolah adalah tempat yang sangat efektif dalam membentuk karakter (character building) anak didik. Selain membekali anak didik dengan perangkat pengetahuan (tools of knowledge), sekolah juga dapat membentuk kepribadian dan kedisiplinan anak didiknya. Tesis ini bertolak belakang dengan statemen yang menyatakan bahwa Sekolah Itu Candu. Gagasan ini mengasumsikan bahwa sekolah telah menggerus bahkan mematikan "bakat" asasi yang ingin dicapai oleh anak didik. Alhasil, sekolah tak lebih sebagai penjara yang sebenarnya bagi anak didik ketimbang tempat yang dapat membantu dirinya mengembangkan minat dan bakat yang hendak diraihnya.
Sedikitnya ada tiga sekolah yang pernah penulis kunjungi (SMA Dwiwarna [Boarding School] Parung Jawa Barat, SMA Labschool Jakarta, dan SMA Al-Hikmah Surabaya), terlepas dari kelebihan dan kekurangan dari masing-masing lembaga tersebut, satu pelajaran yang dapat diambil bahwa sekolah atau lembaga pendidikan merupakan media yang paling efektif dalam mengenalkan anak didiknya tentang sesuatu yang "baik" dan dapat ditransformasikan di dalam kehidupan masyarakat. Dan pada tahap ini –ketika mereka baru lulus dari sekolah masing-masing– dapat dikatakan SUKSES. Namun, cerita pendidikan tidak berhenti di sini. Mereka akan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Perguruan Tinggi. Di sinilah mereka mengenal lingkungan yang "beda" dengan apa yang pernah mereka alami dulu. Dunia kampus yang lebih menjanjikan kedewasaan karena mereka rata-rata sudah memasuki gerbang peralihan dari masa remaja ke dewasa. Plus jenis pendidikan yang ditempuh pun semakin kompleks dengan logika akademis yang tak cukup hanya dengan "ya" saja ketika belajar, tapi sudah "tidak", "mengapa", "bagaimana" dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang menuntut refleksi filosofis dan metodologs. Intinya, cara mereka belajar, cara mereka memahami, ataupun cara mereka menafsirkan telah menginjak tingkat kognitif kelas tinggi (highest cognitive level) dalam kerangka Bloom. Karenanya, apa yang mereka peroleh di bangku sekolah, terkadang, tak mempunyai bekas ketika sudah kuliah. Penulis melihat, ada mata rantai yang terputus di sini dalam kronologi pendidikan kita.
Melihat fenomena yang santer beberapa tahun terakhir ini, yaitu mengenai tindakan korupsi, penulis berpikir (walau ini masih berupa asumsi aksiomatik saja) di mana letak efektif pendidikan yang mereka peroleh di bangku sekolah dengan tindakan [korupsi] yang mereka lakukan di tempat kerja? Kalau memang benar bahwa apa yang kita lakukan berasal dari apa yang kita baca dan kita dengar, bukankah di sekolah dulu kita membaca tentang sesuatu yang 'baik' sekaligus juga kita mendengar 'nasehat' dari guru kita yang baik-baik. Di manakah sesuatu yang 'baik' yang pernah kita peroleh dulu itu dalam tindakan kita hari ini? Pertanyaan ini lama berkecamuk dalam diri penulis. Suatu saat penulis teringat kata-kata mutiara dalam bahasa Inggris; "experience is the best teacher" [pengalaman adalah guru yang paling bijak". Mutiara ini sedikit memberi jawaban. Apakah pengalaman yang mereka peroleh setelah bangku sekolah itu, telah sedemikian hebatnya mempengaruhi cara berpikir dan bertindak mereka? Apakah pengalaman-pengalaman bersama komunitas telah merubah cara pandang mereka? Kalau pertanyaan ini semakin diperluas, apakah pengalaman bangsa ini dengan korupsi yang telah diwarisi dari kakek moyangnya telah juga sedemikian akutnya menjangkiti generasi muda saat ini?
Akhirnya, deskripsi di atas mengantarkan kita pada sebuah kesimpulan sederhana; kita memiliki dua sosok guru. Guru di ruang-ruang sekolah kita, dan guru di ruang-ruang kehidupan nyata kita yang berupa pengalaman. Pertanyaan untuk diri kita, guru manakah yang paling mempengaruhi kita?
Excellent...
BalasHapusMengingatkanku pada resensinya Musthov "Radikalisasi Peran Guru" terhadap bukunya Doni Koesoema A, "Pendidikan Karakter di Zaman Keblinger: Mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku Perubahan dan Pendidik Karakter".
Kalo Bapak punya buku itu, saya ingin pinjam. Mudah-mudahan berkenan.
sayangnya belum punya... cuma dengar saja. ya sudah kamu yang beli nanti aku pinjam..
BalasHapus