05 April 2009

MENAKAR KUALITAS PENDIDIKAN KITA


Pendidikan adalah salah satu persoalan paling kompleks yang dihadapi oleh bangsa kita. Kompleksitasnya tak pernah berhenti dari dulu hingga sekarang. Masalahnya bukan hanya pada sarana, prasarana, dana serta tenaga pengajar tetapi inti soalnya adalah perdebatan tentang tujuan pendidikan nasional Indonesia yang tak kunjung menemukan titik kesepakatan antara pemerintah sebagai komponen utama dalam sistem pendidikan kita dan berbagai kelompok masyarakat serta antar berbagai komponen masyarakat sendiri.

Bicara tentang tujuan pendidikan di Indonesia seperti yang termaktup dalam Undang Undang adalah mencetak manusia yang beriman dan berilmu, cerdas tapi juga bermoral. Kalau ini yang menjadi target terjauh dari pendidikan maka sudah seharusnya tahapan-tahapan pendidikan mulai mengarah dan fokus di sini. Tapi apakah sudah demikian kenyataannya?

Melanjutkan pertanyaan di atas, saya cukup pesimis target itu bisa dicapai. Hal ini dilihat dari sistem pendidikan yang diusung oleh pemerintah. Saat ini kita melihat paradigma yang digunakan oleh pemerintah adalah paradigma penyeragaman dalam melihat pendidikan. Misalnya yang disebut pendidikan itu adalah penyelenggaraan pendidikan formal seperti di tingkat SD, SLTP, SLTA, Akademi, Perguruan Tinggi. Hal ini juga dikuatkan dengan subsidi pemerintah yang mengalokasikan dana 20 persen dari APBN bagi pendidikan yang berdampak pada kenaikan rata-rata 50 persen dari bantuan sebelumnya. Tidak cukup dari kebijakan 20 persen subsidi tersebut, pemerintah juga gencar menyuarakan pendidikan gratis melalui intruksi menteri pendidikan nomor 186/MPN/KU/2008. Atau belum lagi kita bicara tentang standar kualitas lulusan untuk tingkat SD, SLTP dan SLTA dan yang sederajat melalui kebijakan yang tertuang dalam kebijakan Ujian Nasional yang lagi-lagi mengedepankan aspek kuantitas ketimbang kualitas yang sebenarnya dari pendidikan kita atau dengan kata lain, lebih menganggap penting aspek formalitasnya ketimbang substansinya.

Problem-problem di atas akan menjadi pijakan kita dalam melihat lebih jauh persoalan yang sebenarnya dari mutu atau kualitas pendidikan ke depan. Hemat saya, bicara tentang kualitas pendidikan tidak bisa dilepaskan dari dua faktor yang saling mendukung. Faktor internal yang meliputi instansi pemerintah, sekolah, madrasah dan faktor eksternal yang mencakup keterlibatan masyarakat dalam mengontrol, menilai, dan memberi masukan.

Mendasarkan pada pola pengembangan di atas, dua ranah tersebut dapat berjalan secara sinergis dan saling mendukung bahwa kesuksesan sekolah juga akan berimbas pada kesuksesan masyarakat. Artinya, apa yang menjadi masalah masyarakat dapat dijawab oleh sekolah dengan melahirkan lulusan yang siap pakai. Bukan lulusan yang banyak menguasai teori tapi kesulitan mempraktekkannya di dalam kehidupan masyarakat.

Ada sebuah cerita mengenai kualitas pendidikan di Indonesia dan negara lain. Pada era 60-an hingga 80-an, banyak orang Malaysia yang kuliah di berbagai perguruan tinggi Indonesia baik di PTN maunpun IAIN. Tapi akhir-akhir ini terjadi arus balik: orang Indonesia belajar ke Malaysia. Pada tahun-tahun 1970-an Vietnam belajar mengembangkan pendidikan dasar dari Indonesia. Sekarang Vietnam mengungguli kita. Pada tahun-tahun 1970-an Vietnam belajar bercocok tanam padi, sekarang menjadi eksportir beras untuk Indonesia. Masih tentang Indonesia dan Vietnam, semangat membaca masyarakatnya ternyata lebih bagus Vietnam. Hal ini dibuktikan bahwa Indonesia dengan jumlah penduduk 225 juta jiwa setiap tahun memproduksi 8000 judul buku. Sementara Vietnam dengan 80 juga penduduk memproduksi 15000 judul. Vietnam baru merdeka tahun 1968, Indonesia tahun 1945.

Selain cerita suram keberadaan pendidikan kita dibanding negara lain, ada cerita lain dari Kalibening, Salatiga tepatnya sekolah berbasis komunitas Qoryah Tayyibah. Sekolah dengan biaya terjangkau mampu melahirkan lulusan-lulusan yang “berkualitas”. Kualitas di sini sebenarnya adalah penilaian dari sisi kebutuhan masyarakat, bukan penilaian dari sisi pemerintah yang mengedepankan formalitas dengan gedung sekolah yang mentereng, satpam yang gagah, pagar sekolah yang kokoh dan semacamnya. Bagi Qoryah Tayyibah, keberhasilan itu diukur dengan seberapa besar keterlibatan masyarakat bagi komunitas sekolah. Dan seberapa jauh sekolah mampu menerjemahkan proses perubahan jaman bagi kebutuhan masyarakat.

Sekali lagi bicara kualitas pendidikan berarti juga bicara tentang kebutuhan masyarakat. Sangat naif misalnya, masyarakat Indonesia dianggap sebagai masyarakat agraris tapi soal sembako kita masih impor dari negara lain. Di mana peran sekolah dan kepedulian pemerintah dalam hal ini?