02 September 2009

Pokok Bahasan X

Renaissance Dan Humanisme; Awal Perkembangan Filsafat Modern

Kearah Filsafat Modern: Suatu Pengantar Singkat


Jaman Modern ditandai dengan adanya berbagai perkembangan baru dan luar biasa pesat dalam berbagai bidang kehidupan manusia Barat, khususnya bidang kebudayaan, ilmu pengetahuan dan ekonomi.

Dalam konteks sejarah filsafat Barat, masa modern adalah suatu periode saat aliran pemikiran baru mulai muncul dan beradu dalam kancah pemikiran filosofis Barat. Para filsuf tampil dengan gaya dan argumentasinya yang khas. Kadang kasar dan sinis, kadang tajam dan sangat pragmatis, namun ada juga yang sentimental.

Sejarah Filsafat Modern Barat bisa dibagi ke dalam tiga jaman/periode:

1.Jaman Renaissans (Renaissance)
2.Jaman Pencerahan Budi (Aufklarung)
3.Jaman Romantik (khususnya Idealisme Jerman)

Jaman Renaissans

Jaman Renaissans adalah jaman kelahiran-kembali (renaissance) kebudayaan Yunani-Romawi di Eropa pada abad ke-15 dan ke-16. Kebudayaan klasik tersebut dipuja dan dijadikan model serta dasar bagi seluruh peradaban manusia.

Kebudayaan Yunani-Romawi adalah kebudayaan yang menempatkan manusia sebagai subjek utama. Misalnya, Filsafat Yunani menampilkan manusia sebagai makhluk yang berpikir senantiasa memahami lingkungan alamnya dan juga menentukan prinsip-prinsip bagi tindakannya sendiri demi mencapai kebahagiaan hidup.

* Dalam bidang kesusastraan:

Seperti diceritakan oleh Homeros, seorang penyair ternama dengan karyanya Odisei, tentang keberanian manusia menjelajahi suatu dunia yang penuh dengan berbagai tantangan dan pengalaman baru.

* Dalam bidang Arsitektur:

Arsitektur Yunani-Romawi mencerminkan kemampuan manusia dalam menciptakan harmoni dari aturan hukum, kekuatan, dan keindahan.

* Dalam bidang teknik:

Dari teknik pembangunan akuaduk, pembuatan jalan, rumah tinggal, sampai teknik berperang dan kemampuan berorganisasi (hukum, tentara, senat, tata kota) pantas mendapat acungan jempol. Semua itu menunjukkan bahwa kebudayaan Yunani-Romawi memberikan tempat utama bagi manusia dalam kosmos. Suatu pandangan yang biasa disebut dengan Humanisme Klasik.

Kebudayaan Renaissans yang coba dibangun ditujukan untuk menghidupkan kembali Humanisme Klasik yang sempat tertunda oleh gaya berpikir tokoh-tokoh Abad Pertengahan.

Ada sedikit perbedaan dalam konteks Humanisme pada jaman klasik dan Renaissans. Humanisme Klasik menekankan manusia sebagai bagian dari alam atau polis (negara-kota / masyarakat Yunani Kuno), sementara Humanisme Renaissans menekankan pada individualisme, yaitu paham yang menganggap bahwa manusia sebagai pribadi perlu diperhatikan (kesanggupan dan kebutuhannya tidak boleh disamaratakan).

Kutipan-Kutipan

1. "Kita bukan hanya umat manusia, kita adalah individu-individu unik yang bebas untuk berbuat sesuatu dan menganut keyakinan tertentu."

"Kemuliaan manusia terletak dalam kebebasannya untuk menentukan pilihan sendiri dan dalam posisinya sebagai penguasa atas alam."(Pico Della Mirandola)"

2. "Apa yang kamu pikir bisa kamu lakukan, Wujudkanlah!"

Dari dua kutipan di atas, pemahaman yang bisa kita peroleh adalah:

1. Munculnya sikap pemujaan tidak terbatas pada kecerdasan dan kemampuan individu dalam segala hal;
2. Manusia yang dicita-citakan oleh Humanisme Renaissans adalah "manusia universal"(Homo Universale), yakni manusia yang berkat kecerdasannya bisa maju dan berkembang penuh dalam seluruh aspek kehidupannya, khususnya dalam aspek ilmu pengetahuan, kesenian, dan kebudayaan.

Filsuf-Filsuf Abad ini adalah:

1. Filsuf dari Itali: Campaneila, Patrizi, Bruno, Pompanazzi, Telesio, Ficino, dan Pico.
2. Filsuf IPA: Galilei, Kepler, Bacon, Kopernikus
3. Filsuf Humanisme: Montaigne, Erasmus, Morus, Alberti, Vaila, Salutati, dan Petrarca
4. Filsuf Negara dan Hukum: Althusius, Grotius, Bodin, dan Machiavelli
5. Filsuf Reformasi: Melanchthor, Calvin, Luther, dan Zwingli

Tiga Pandangan tentang Takdir

Filsuf yang akan kita kemukakan adalah:

1. Francesco Petrarca
2. Geovanni Pico Della Mirandola, dan
3. Francis Bacon

Ketiga filsuf di atas, concern terhadap manusia dan posisinya dalam kosmos. Bukan alam yang menakdirkan manusia akan menjadi apa, melainkan manusia yang berkat akal budinya mentakdirkan alam akan berbentuk apa.

Petrarca:
"Menghendaki yang baik lebih berharga dari pada mengenal yang benar"

Francesco Petrarca (1304-1374) bukan saja seorang filsuf tapi juga sastrawan Itali. Pada tahun 1326, ia berkenalan dengan seorang wanita yang sudah bersuami. Seumur hidupnya, Petrarca mencintai wanita ini dari kejauhan dan menulis sajak-sajak tentangnya dengan nama samaran Laura. Katanya: "Aku tidak ingin berdusta: Aku menjadi seperti aku yang sekarang karena wanita itu."

Petrarca dikenal sebagai Bapak Humanisme dan tokoh jaman Renaissans. Perannya dalam filsafat terletak pada kritikan-kritikannya terhadap cara belajar para filsuf skolastik yang dinilainya hanya mengandalkan karya terjemahan untuk memahami pemikiran Aristoteles dan Plato bukan karya asli mereka. Selain itu, usaha para filsuf skolastik mempelajari filsafat Aristoteles juga dikritik. Menurutnya, Aristoteles hanya bisa membantu orang "mengetahui" apa yang disebut sebagai keutamaan, tetapi tidak mampu "memotivasi" jiwa dan kemampuan untuk memperoleh keutamaan tersebut, padahal yang lebih bernilai bukanlah pengetahuan tentang "yang baik", melainkan keinginan untuk melaksanakannya. Kata-kata Petrarca :

"Adalah suatu perbedaan besar, apakah saya tahu tentang sesuatu, atau apakah saya mencintai sesuatu: apakah saya memahami sesuatu, atau apakah saya mengusahakan sesuatu. Aristoteles mengajarkan apa yang disebut sebagai keutamaan –saya tidak menolaknya. Namun, ia tidak mengenal kata-kata yang bisa meyakinkan dan memberi semangat: kata-kata yang bisa menghidupkan dan mengobarkan api dalam jiwa kita. Sementara itu, di pihak lain, yang terjadi adalah sebaliknya. Para tokoh-tokoh kita, khususnya pada Cicero dan Annaeus (Seneca) sering menggunakan kata-kata tersebut."

Bagi Petrarca, seorang filsuf sejati adalah seorang filsuf yang mempertimbangkan konteks, sebab filsafat sendiri bukanlah seni kata-kata abstrak dan kosong; melainkan seni tentang hidup yang baik dan berkeutamaan. Filsafat harus bersifat praktis. Filsafat ada untuk manusia, bukan manusia ada untuk filsafat !

Pico:
"Kita dilahirkan… untuk menjadi apa yang kita kehendaki"

Pico merasa yakin bahwa ada banyak pandangan para filosof dan teolog yang bisa diselaraskan. Namun pihak otoritas gereja tidak tidak sependapat dan menilainya sesat. Akhirnya Pico melarikan diri ke Prancis, tetapi tertangkap. Berkat perlindungan bangsawan Lorenzo de Medici, Pico boleh kembali ke Italia dan tinggal di Lorenzo hingga wafat pada usia 31 tahun.

Pico bertanya, di mana posisi istimewa manusia di alam semesta? Tuhan menciptakan manusia sebagai pencipta bagi dirinya sendiri dengan kebebasannya. Manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri dan mewujud-nyatakan hakikatnya seperti yang ia kehendaki. Masalah akan jadi apa manusia di kemudian hari ditentukan oleh keputusan-keputusan dan tindakan-tindakannya saat ini.

Untuk menegaskan apa yang diyakininya, Pico mengacu pada Kisah Penciptaan dalam Kitab Kejadian yang telah digubah dalam versinya sendiri: "Kondrat semua makhluk lain dibatasi oleh hukum-hukum yang telah Kutetapkan untuk mereka. Namun, engkau (Adam) harus menentukan kodratmu menurut keputusan yang telah Kuberikan kepadamu. Aku telah menempatkan engkau di tengah-tengah dunia, agar engkau bisa mengenal dengan lebih mudah segala sesuatu yang tersebar di dunia ini. Aku telah menciptakan engkau bukan sebagai sesuatu yang surgawi atau duniawi, yang fana atau yang baka, melainkan Kuciptakan engkau sebagai makhluk bebas yang berkat kekuatannya sendiri mampu membentuk dan menentukan diri sendiri. Engkau bisa saja merosot ke tingkat hewani. Namun, jika memang kau kehendaki, engkau dapat dilahirkan kembali ke tingkat surgawi mendapai keilahian."

Menurut Pico, hubungan antara manusia dan hidupnya bisa digambarkan dengan kerja seorang seniman yang tengah menggarap bahan untuk karya seninya. Akan menjadi apa material itu nantinya ditentukan oleh rancangan dan pola yang telah dimiliki oleh seniman tersebut dalam benaknya. Allah Pencipta telah menciptakan manusia sebagai pencipta juga, yang sesuai dengan citra-Nya. Dan kepada manusia sebagai makhluk bebas, Allah telah menyerahkan dunia ini untuk ditaklukan dan dibentuk menurut pola yang ia miliki. Karenanya, keberadaan atau esensi manusia ditentukan oleh tindakan kreatifnya dalam bekerja dan mengelola dunia ini.

Prancis Bacon:
"Pengetahuan adalah kekuasaan"

Francis Bacon (1561-1626) bukan seorang filosof, ia tidak mau dikatakan demikian. Ia seorang sarjana hukum lulusan Trinity College of Cambrige University. Pemikiran Bacon ditujukan pada pertanyaan-pertanyaan seperti: Bagaimanakah ilmu pengetahuan bisa diperbarui? Metode apakah yang tepat bagi suatu penelitian ilmiah? Apakah tujuan ilmu pengetahuan itu?

Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, ajaran Skolastik dan pandangan Aristotelian dinilai Bacon tidak ada gunanya. Persoalannya bukanlah mengalahkan lawan dengan argumentasi logis, melainkan menaklukkan alam dengan kerja. Sedikit bicara, banyak kerja. (talk less, do more). Bagi Bacon, pengetahuan yang pantas diupayakan adalah pengetahuan yang bertujuan menguasai alam demi kepentingan manusia. Pengetahuan seperti ini memberikan kekuatan kepada manusia untuk menjadi penguasa atas alam.

Selanjutnya, jika semua ilmupengetahuan diarahkan kepada tujuannya yang sejati, maka diperlukan suatu pembaruan metode untuk semua ilmu pengetahuan. Dalam upayanya membarui metode itu, Bacon mengusulkan pelurusan asumsi lama yang tidak benar. Ada 4 anggapan yang menurutnya perlu diluruskan, yaitu:

1. "idola umat manusia" (idola tribus).

Idola ini muncul dari kodrat manusia sendiri yang memahami realitas dengan bantuan panca indera dan akalnya. Idola ini mengatakan bahwa akal manusia ibarat cermin yang memantulkan realitas sebenarnya. Namun, menurut Bacon, idola ini menyesatkan. Sebab, akal manusia itu memang ibarat sebuah cermin, namun sebuah cermin yang tidak rata. Akal terlalu ikut campur dalam pengenalan kita terhadap benda-benda yang diamati. Akibatnya, pengetahuan kita atas keadaan benda-benda itu sendiri menjadi rancu dan tidak tepat.

2. "Idola sebagai kurungan" (idola specus).

Idola ini ada pada sudut pandang tiap-tiap individu yang bersangkutan saja.

3. "Idola Pasar" (idola fori).

Idola pasar terungkap dalam gejala bahasa. Bahasa yang menjalin penghubung antar manusia sering menyesatkan kita dengan berbagai tambahan arti dari banyak hal yang belum ada, atau bahkan pasti tidak ada (misalnya kata "nasib", "substansi"). Akibatnya, orang sering berdebat kusir tentang makna suatu kata atau istilah.

4. "Idola Teater" (idola theatri).

Berbagai ajaran filsafat dan teologi mengklaim telah membantu manusia memahami diri dan dunianya. Namun, semua itu hanya dongeng belaka, suatu cerita fiksi. Jauh dari realitas.

Akhirnya menurut Bacon, kalau kita ingin memperoleh pengetahuan sejati, maka kita harus "dimurnikan" dari semua. Bacon menawarkan suatu metode yang ia beri nama metode induksi. Namun induksi ini bukanlah sekedar generalisasi dari berbagai hal khusus untuk memperoleh hal yang umum.

Induksi tersebut adalah metode pengetahuan yang diawali dengan pengumpulan dan perbandingan data-data hasil pengamatan atas eksperimen-eksperimen yang kita buat, untuk selanjutnya –melalui proses generalisasi- menghasilkan pola atau prinsip umum dari objek pengamatan tersebut. Jadi induksi tidak diawali dengan sembarang data empiris yang diterima oleh panca indera kita, melainkan diawali terlebih dahulu dengan apa yang ingin diselidiki, selanjutnya diolah secara metodis dan bertahap dengan malaksanakan eksperimen yang telah ditetapkan sebelumnya.

Dengan demikian, dalam induksi ini terdapat dua unsur dalam satu proses pengetahuan: Pengalaman Indrawi dan Akal Budi. Bacon merasa optimis dan berharap kuat bahwa masa depan umat manusia akan cerah berkat ilmu pengetahuan tersebut. Ia menuliskan: "Semoga pada akhirnya umat manusia bisa berkuasa atas alam, sebagaimana ditetapkan Tuhan. Semoga banyak hal yang bisa kita kuasai terlebih dahulu. Selanjutnya, adalah urusan agama dan akal budi yang sehat untuk menerapkannya secara tepat."

1 komentar:

  1. maaf.. bisa ga dijelaskan soal f.bacon yang mengusung eksperimen dan menyatakan bahwa matematika dan logika harus dimasukkan ke dalam eksperimen... dan hubungan f. bacon dengan empiris...? saya agak bingung.. terima kasih

    BalasHapus