TULISAN ini adalah sebuah refleksi. Renungan-renungan sepenggal waktu yang penulis rasakan dan alami mengenai dunia pesantren dengan segala manifestasinya, khususnya yang berkaitan dengan teknologi, atau saya mengistilahkan dengan dunia digital.
Pernyataan K.H. Yusuf Hasyim, pengasuh pondok pesantren Tebuireng, mengenai pesantren sebagai ‘lembaga barokah’ menegaskan akan sisi lain dari lembaga pendidikan yang berbasis tradisional ini. Pernyataan ini didasarkan pada suatu kecenderungan yang merebak di masyarakat bahwa santri belajar di pesantren hanya semata-mata mengharapkan ‘barakah’ dari sang kiai atau pendiri pesantren itu sendiri.
Melihat fenomena saat ini, ada sebuah kecenderungan baru ketika arus modernitas dengan segala instrumennya memasuki ranah pesantren. Munculnya kebudayaan-kebudayaan baru yang sebelumnya tidak kita lihat, seperti telephone selular, internet, komputerisasi dan lainnya menjadi pemandangan yang kian hari kian akrap di mata dan telinga kita. Perangkat-perangkat itu adalah teman sekaligus kebutuhan bagi santri di sebuah pondok pesantren. Tidak hanya santri, para pemangku jabatan (stakeholder) pun telah terbiasa menggunakan alat-alat canggih (high technology) itu. Semuanya menjadi trade mark dan gaya hidup saat ini.
Namun pernahkah kita berpikir dan merenung ! (Mungkin awalnya hanya sepele), bahwa kehadiran perangkat-perangkat itu kini telah sedikit banyak merubah cara pandang (world views; weltanschung) dan pola pikir (ways of thought) kita dalam melihat realitas kehidupan ini. Ada banyak perspektif, mulai normatif hingga ekonomis. Tapi yang jelas sebuah teknologi bukanlah mainan biasa yang bisa kita kendalikan sekehendak hati. Saya jadi teringat kata-kata bijak seorang filsuf Perancis kenamaan, Jacques Ellul, katanya; “Manusia tidak bisa mengontrol dan mengatasi kemajuan teknologi. Hanya teknologi yang dapat mengontrol dan mengatasi dirinya sendiri.” Dengan kata lain, implikasi etis, sosiologis, dan ekologis dari kemajuan teknologi hanya dapat diatasi oleh teknik itu sendiri. Ini suatu fakta yang tak bisa kita pungkiri.
* * *
Keberadaan pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang menasbihkan dirinya sebagai warisan khazanah tradisi Islam dan yang khas Indonesia, menjadi bukti bahwa perannya selama ini dalam mentransformasikan nilai-nilai keislaman sungguh vital dan strategis. Kini diusianya yang hampir kurang lebih 5 abad, pesantren tetap menjadi simbol bagi suatu lembaga pendidikan tradisional Indonesia sekaligus membuktikan adaptabilitas dan akseptabilitas pesantren dalam menyongsong perubahan jaman. Hal ini sejalan dengan kaidah yang sering dilontarkan oleh para ulama; “al-muhafadatu ‘ala qadimis sholeh wal jadidil ashlah”
Namun apa kira-kira yang terjadi jika pesantren yang biasanya banyak bergelut dengan kitab kuning tiba-tiba sekarang bersentuhan dengan “kitab digital”. Atau dengan kata lain, bagaimana jika internet, komputerisasi, telephone selular itu mengisi kesunyian bilik-bilik pesantren. Maka satu hal yang pasti, pesantren sebagai sebuah dunia kecil terbatas dengan norma-norma sosialnya akan berubah menjadi sebuah kampung dunia (global village) yang cair. Sekat-sekat budaya menjadi tipis, ruang waktu menjadi terhampar, akses informasi menjadi tak terbatas, dan kondisi ini hanya bisa diungkapkan dengan satu kata, kebebasan. Ya, suatu kebebasan untuk mengekspresikan segala keinginan dan hasrat setiap insan. Ini babak baru dari apa yang disebut digitalisasi realitas.
Menyongsong era ini, tidak bisa tidak, pesantren memang semestinya tidak bisa menghindar. Pesantren harus menghadapinya sebagai suatu konsekwensi perubahan. Kita harus bersikap positif, mengambil maslahat atas perubahan ini sebagai jihad intelektual dan ikhtiyar bagi peneguhan keimanan kita. Karena saya masih percaya, seperti juga yang pernah dikemukakan oleh Chistoper J. Lucas, bahwa "Pesantren menyimpan kekuatan yang sangat luar biasa untuk menciptakan keseluruhan aspek lingkungan hidup dan dapat memberi informasi yang berharga dalam mempersiapkan kebutuhan yang inti untuk menghadapi masa depan." Artinya pesantren harus menjadi penggerak perubahan itu dengan menjadi lokomotif yang baik bagi komunitas di dalamnya. Jika ini tidak dilakukan saya khawatir, kita akan terjebak pada suatu kondisi di mana kita senantiasa akan menyalahkan keadaan ini tanpa bisa berbuat apa-apa apalagi memberi makna bagi keseluruhan proses yang sedang terjadi. Berkaitan dengan ini, Sayyid Kuthb menyarankan; "Yang benar, bahwasannya agama (Islam) bukan mengganti ilmu dan kebudayaan, bahkan bukan pula musuh ilmu dan kebudayaan. Padahal, agama Islam merupakan bingkai ilmu dan kebudayaan poros/sumbu untuk ilmu kebudayaan, begitu pula sebagai metode ilmu dan kebudayaan dan membatasi bingkai dan poros yang mampu memberi hukum (peraturan) bagi segala masalah kehidupan". Sekali lagi kita harus mengambil inisiatif dari proses perubahan ini. Teknologi bukan musuh dari kita, tapi kita sendiri adalah musuh yang paling nyata bagi keadaan. “Manusia selalu menjadi problem bagi dirinya sendiri”, demikian Arkoun menyendir manusia. Marilah kita cari “barakah” dalam dimensi digital…!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar