03 Februari 2009

Digitalisasi Pendidikan: Antara Pemberdayaan dan Keharusan

“Manusia tidak bisa mengontrol dan mengatasi kemajuan teknologi. Hanya teknologi yang dapat mengontrol dan mengatasi dirinya sendiri.”
Jacques Ellul –Filsuf Prancis¬-

TEKNOLOGI INFORMASI atau yang lebih akrab dikenal dengan TI merupakan wacana mutakhir yang menyita banyak perhatian kita. Keberadaannya telah ikut memberikan andil besar bagi perkembangan kebudayaan dan perilaku manusia. Apakah itu terkait dengan pengembangan bisnis masa depan, pilihan-pilihan favorit suatu jurusan di perguruan tinggi, ataupun kebutuhan sehari-hari.

Ada banyak kisah kesuksesan yang menuturkan wacana ini, Bill Gates seorang pengembang teknologi yang berjaya dengan Microsoft Corporatenya, Google yang tak tertandingi sebagai sebuah situs search engine yang lagi digandrungi di dunia maya, ataupun India yang berhasil dengan TI nya. Mereka ini adalah salah satu dari sederet prestasi bisnis yang berpengaruh dan berpenghasilan tinggi saat ini. Lebih jauh, Intel Pentium –sebuah perusahaan yang handal dalam bidang prosesor (hardware computer)– sudah merilis notebook (komputer jinjing) yang dikhususkan bagi dunia pendidikan. Sebuah computer portable berbasis sekolah yang diberi nama classmate. Notebook ini di program khusus untuk kebutuhan belajar mengajar di kelas. Guru dan murid dapat berintegrasi melalui komputer cerdas ini.

Dalam sebuah studi pada tahun 2002 mencatat bahwa jumlah informasi yang dibutuhkan publik dan diterbitkan lewat berbagai media (cetak, film, magnetic, optik) mencapai 5 exabyte, atau sekitar 5 milyaran gigabyte. Ini belum termasuk pelbagai macam komunikasi yang kita perlukan lewat telepon, e-mail, SMS, dan IM. Singkatnya, kebutuhan kita akan informasi berbanding lurus dengan kebutuhan-kebutuhan pokok manusia. Indikasi ini menegaskan bahwa hidup kita saat ini adalah sebuah hidup di mana teknologi informasi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita, ia layaknya sekeping mata uang logam yang memiliki dua sisi dan tak bisa dipisahkan dari kehidupan kita. Istilah ini sekarang dikenal dengan e-life.

Melihat fenomena ini kita patut merefleksikannya dengan serius, apalagi jika hal ini dikaitkan dengan dunia pendidikan sekarang. Ada stigma bahwa sekolah bermutu yang memiliki standar dan kualifikasi internasional adalah sekolah yang berbasis high technology di mana proses, prosedur dan mekanisme pembelajarannya telah menggunakan perangkat-perangkat digital. Semua sekolah pun berlomba-lomba berupaya menuju ke arah sana. Ditambah kurikulum nasional saat ini juga telah memasukkan materi TIK (Teknologi, Informasi dan Komunikasi) sebagai materi penunjang bagi siswa baik pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) ataupun Sekolah Menengah Atas (SMA) dan yang sederajat. Tentu hal ini semakin menguatkan asumsi di atas, bahwa sekali lagi penggunaan teknologi-informasi bukanlah isapan jempol belaka tapi sebuah pilihan sadar akan arti penting suatu pengembangan pendidikan masa depan yang lebih baik, efektif dan efesien. Persoalannya, apakah tujuan dan proyek besar bernama teknologi-informasi ini telah berjalan pada jalur yang semestinya ataukah keberadaannya bagi dunia pendidikan malah menjadi boomerang bagi proses pemberdayaan, pembudayaan, dan kebebasan yang seharusnya dijadikan sebuah paradigma bagi upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

TEKNOLOGI: INOVASI TIADA HENTI

PERTANYAAN tentang hakikat teknologi sebenarnya sudah muncul sejak zaman Yunani Kuno. Saat itu dikenal terma filsafat: techne dan poiesis. Poiesis adalah aktivitas praktis untuk membuat atau memproduksi sesuatu (transformasi atau fabrikasi). Sedangkan techne terkait dengan pengetahuan (cara) untuk memproduksi atau mentransformasikan.

Dalam Encyclopaedia Britannica, istilah teknologi berarti "penggunaan pengetahuan sainstis demi tujuan-tujuan praktis kehidupan manusia atau untuk merubah dan memanipulasi lingkungan manusia". (the application of scientific knowledge to the practical aims of human life or to the change and manipulation of the human environment).

Sementara terma teknologi (Inggris; technology) itu sendiri merupakan gabungan/kombinasi dari kata Yunani techne (seni, keahlian) dan logos (kata, pembicaraan). Dengan demikian, teknologi berarti diskursus tentang seni baik itu dalam konteks artifisial dan penggunaanya.

Menurut Martin Heidegger dalam bukunya The Question Concerning Technology, teknologi adalah bukan sesuatu yang bersifat teknologis, melainkan enframing; membuat, mencipta atau mentransformasikan (yang kemudian mengungkapkan sesuatu yang baru). Yang teknologis kemudian dimengerti bukan semata-mata teknis tetapi juga yang reflektif filosofis.

Ketika pertama kali muncul di Enggris pada abad ke-17, istilah teknologi digunakan hanya dalam konteks seni (arts) saja. Lambat laun 'seni' itu sendiri menjadi objek dari tujuannya. Baru pada awal abad ke-20, istilah tersebut mengalami perluasan arti yaitu dimaksudkan sebagai proses dan gagasan kaitannya dengan perangkat-perangkat (tools) dan mesin (machines). Pada pertengahan abad itu, teknologi telah berarti "the means or activity by which man seeks to change or manipulate his environment". Demi kepentingan manusia dalam 'menjinakkan' lingkungan maka penggunaan teknologi di segala bidang telah dilakukan, termasuk kaitannya dengan informasi.

Berkaitan dengan teknologi-informasi, apa yang terjadi pada abad ke-20 ini telah menampakkan perkembangan yang cukup pesat, apalagi jika itu dikaitkan dengan dunia pendidikan. Terobosan yang dilakukan, terutama, adalah berkaitan dengan metode dan efektifitas mengajar. Metode dan efektifitas dimaksud adalah apa yang dikenal dengan teaching mechines (perangkat mekanis yang di dalamnya berisi intruksi atau perintah sistematis untuk siswa) dan programmed instruction (intruksi atau perintah yang disampaikan dalam bentuk rangkaian langkah-langkah, biasanya dilakukan dengan komputer atau perangkat yang lain). Namun secara umum, tawaran yang diinginkan dengan adanya teknologi dalam pendidikan itu adalah khayalan nyata dan perubahan dalam metode-metode mengajar yang menjadi lebih simpel, praktis dan cepat.
Di dalam Ensiklopedia Wikipedia Indonesia, teknologi-informasi dijelaskan sebagai hasil rekayasa manusia terhadap proses penyampaian informasi dari bagian pengirim ke penerima sehingga pengiriman informasi tersebut akan lebih cepat, lebih luas sebarannya, dan lebih lama penyimpanannya.

Proses penyampaian informasi tersebut, pada awalnya terjadi melalui bahasa. Maka bahasa adalah sebuah teknologi pertama. Dengan bahasa manusia dapat memahami informasi yang disampaikan satu sama lainnya. Tetapi bahasa yang disampaikan dari mulut ke mulut hanya bertahan sebentar saja, yaitu pada saat si pengirim menyampaikan informasi tersebut saat itu. Setelah ucapan itu selesai, maka informasi yang dipahami oleh si penerima akan dilupakan dan tidak bisa disimpan lama serta jangkauannya juga terbatas. Untuk jarak tertentu, meskipun masih terdengar, informasi yang disampaikan lewat bahasa suara akan terdegradasi bahkan hilang sama sekali.

Tahapan selanjutnya, teknologi penyampaian informasi berkembang melalui gambar. Gambar ini bisa dibawa-bawa dan disampaikan kepada orang lain. Selain itu informasi yang ada akan bertahan lebih lama dan jangkauannya pun bisa lebih jauh. Beberapa gambar peninggalan jaman purba masih dapat kita nikmati hingga sekarang dan manusia dapat mencerna dan memahami muatan informasi yang ingin disampaikan pembuatnya.
Ditemukannya alfabet dan angka arabik memudahkan cara penyampaian informasi yang lebih efisien dan efektif dari cara penyampaian sebelumnya. Suatu gambar yang merefresentasikan suatu peristiwa dapat dibuat dengan kombinasi alfabet, atau dengan penulisan angka, seperti MCMXLV diganti dengan 1945. Teknologi dengan alfabet ini memudahkan dalam penulisan informasi itu.

Kemudian saat ini, teknologi percetakan memungkinkan pengiriman informasi lebih cepat lagi. Teknologi elektronik seperti radio, televisi, komputer dan lainnya telah mengakibatkan informasi menjadi lebih cepat tersebar di area yang lebih luas dan lebih lama tersimpan.


TEKNOLOGI-INFORMASI DALAM RANAH PENDIDIKAN

Seperti telah kita mafhumi bahwa Teknologi Informasi adalah suatu teknologi yang digunakan untuk mengolah data, termasuk memproses, mendapatkan, menyusun, menyimpan, memanipulasi data dalam berbagai cara untuk menghasilkan informasi yang berkualitas, yaitu informasi yang relevan, akurat dan tepat waktu, yang digunakan untuk keperluan pribadi, bisnis, pendidikan, dan pemerintahan serta merupakan informasi yang strategis guna pengambilan keputusan (decision making).

Dalam ranah pendidikan atau biasa dikenal dengan e-education. Masuknya teknologi ke dalam dunia pendidikan telah memunculkan suatu pergeseran paradigma (shifting paradigm). Perubahan itu dapat ditangkap dari beberapa pendapat di bawah ini:
1. Globalisasi telah memicu kecenderungan pergeseran dalam dunia pendidikan dari pendidikan tatap muka yang konvensional ke arah pendidikan yang lebih terbuka (Mukhopadhyay M., 1995). Sebagai contoh di Perancis terdapat proyek "Flexible Learning?". Hal ini mengingatkan kita pada ramalan Ivan Illich di awal tahun 70-an tentang “Pendidikan tanpa sekolah (Deschooling Society)” yang secara ekstrimnya guru tidak lagi diperlukan.

2. Bishop G. (1989) meramalkan bahwa pendidikan masa mendatang akan bersifat luwes (flexible), terbuka, dan dapat diakses oleh siapapun juga yang memerlukan tanpa pandang faktor jenis, usia, maupun pengalaman pendidikan sebelumnya.

3. Mason R. (1994) berpendapat bahwa pendidikan mendatang akan lebih ditentukan oleh jaringan informasi yang memungkinkan berinteraksi dan kolaborasi, bukannya gedung sekolah. Namun, teknologi tetap akan memperlebar jurang antara di kaya dan si miskin.

4. Tony Bates (1995) menyatakan bahwa teknologi dapat meningkatkan kualitas dan jangkauan bila digunakan secara bijak untuk pendidikan dan latihan, dan mempunyai arti yang sangat penting bagi kesejahteraan ekonomi.

5. Alisjahbana I. (1966) mengemukakan bahwa pendekatan pendidikan dan pelatihan nantinya akan bersifat "Just on Time". Teknik pengajaran baru akan bersifat dua arah, kolaboratif, dan inter-disipliner.

Dari berbagai pendapat dan pandangan di atas, ada suatu kasus dalam ranah pendidikan yang saat ini mengemuka dan lagi tren; yaitu tentang Distance Learning atau apa yang dikenal dengan "pembelajaran jarak jauh".

Dalam laporannya Michael R. Simonson yang ditulisnya untuk Encarta Encyclopedia, dia menulis bahwa Distance Learning merupakan salah satu perubahan yang didasarkan pada teknologi yang terjadi dalam ranah pendidikan sekarang. Teknologi-Informasi ini memungkinkan peserta didik untuk menerima instruksi walaupun berbeda secara geografis dan waktunya, yang hal ini tidak mungkin terjadi dalam pembelajaran konvensional (tradisional).

Distance Learning merupakan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (learner-centered education) di mana peserta didik dapat memilih waktu, materi dan lainnya dengan sangat leluasa (flexible). Program pembelajaran jarak jauh ini menggunakan media cetak, beberapa media telekomunikasi, dan yang jelas antara peserta didik dan guru dipisah secara geografis dan waktunya karena inilah yang menjadi karakteristik fundamental dari program ini. Mereka hanya dipertemukan dengan perangkat multimedia seperti jaringan komputer, sistem video, atau televisi yang dapat dihubungkan dengan kelas. Satelit, video, dan fiber-optic digunakan untuk waktu yang sama (same-time) tapi tempat yang terpisah. Metode ini dikenal dengan synchronous dalam pembelajaran jarak jauh. Namun juga, seorang peserta didik dapat belajar pada waktu dan tempat yang tidak bersamaan, dan cara ini dikenal dengan asynchronous.

Hanya saja, ada beberapa hal yang dianggap masalah dalam Distance Learning yaitu tidak adanya interaksi antara guru/dosen dan peserta didik. Tidak adanya "pertemuan" secara fisik ini jelas akan mengurangi kedekatan emosional dan psikologis antara keduanya. Namun pembela program ini berdalih bahwa dengan media internet sangat dimungkinkan untuk melakukan interaksi antara guru/dosen dan peserta didik baik dalam bentuk real time (waktu nyata) atau tidak. Dalam bentuk real time dapat dilakukan misalnya dalam suatu chatroom, interaksi langsung dengan real audio atau real video, dan online meeting. Yang tidak real time bisa dilakukan dengan mailing list, discussion group, newsgroup, dan buletin board.

Dengan cara di atas, interaksi guru/dosen dan peserta didik di kelas mungkin akan tergantikan walaupun tidak 100%. Bentuk-bentuk materi, ujian, kuis dan cara pendidikan lainnya dapat juga diimplementasikan ke dalam web, seperti materi guru/dosen dibuat dalam bentuk presentasi di web dan dapat di download oleh peserta didik. Demikian pula dengan ujian dan kuis yang dibuat oleh guru/dosen dapat pula dilakukan dengan cara yang sama.

Karenanya, prasyarat yang harus dipenuhi dalam pendidikan jarak jauh berbasis web ini antara lain harus memiliki unsur sebagai berikut:
(1) Pusat kegiatan peserta didik; sebagai suatu community web based distance learning harus mampu menjadikan sarana ini sebagai tempat kegiatan peserta didik, di mana peserta didik dapat menambah kemampuan, membaca materi kuliah/pelajaran, mencari informasi dan sebagainya.
(2) Interaksi dalam grup; peserta didik dapat berinteraksi satu sama lain untuk mendiskusikan materi-materi yang diberikan guru/dosen. Guru/dosen dapat hadir dalam group ini untuk memberikan sedikit ulasan tentang materi yang diberikannya.
(3) Sistem administrasi peserta didik; di mana para peserta didik dapat melihat informasi mengenai status, prestasi peserta didik dan sebagainya.
(4) Pendalaman materi dan ujian; Biasanya guru/dosen sering mengadakan kuis singkat dan tugas yang bertujuan untuk pendalaman dari apa yang telah diajarkan serta melakukan test pada akhir masa belajar. Hal ini juga harus dapat diantisipasi oleh web based distance learning.
(5) Perpustakaan digital; Pada bagian ini, terdapat berbagai informasi kepustakaan, tidak terbatas pada buku tapi juga pada kepustakaan digital seperti suara, gambar dan sebagainya. Bagian ini bersifat sebagai penunjang dan berbentuk database.
(6) Materi online di luar materi pelajaran/kuliah; Untuk menunjang pelajaran/perkuliahan, diperlukan juga bahan bacaan dari web lainnya. Karenanya pada bagian ini, guru/dosen dan siswa dapat langsung terlibat untuk memberikan bahan lainnya untuk di publikasikan kepada peserta didik lainnya melalui web.

Mewujudkan ide dan keinginan di atas dalam suatu bentuk realitas bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, tapi bila kita lihat ke negara lain yang telah lama mengembangkan web based distance learning, sudah banyak sekali institusi atau lembaga yang memanfaatkan metode ini. Bukan hanya skill yang dimiliki oleh para engineer yang diperlukan tapi juga berbagai kebijaksanaan dalam bidang pendidikan sangat mempengaruhi perkembangannya. Jika dilihat dari kesiapan sarana pendukung misalnya hardware, maka agaknya hal ini tidak perlu diragukan lagi. Hanya satu yang selalu menjadi perhatian utama pengguna internet di Indonesia yaitu masalah bandwidth, tentunya dengan bandwidth yang terbatas ini mengurangi kenyamanan khususnya pada non text based material. Di luar negeri, khususnya di negara maju, pendidikan jarak jauh telah merupakan alternatif pendidikan yang cukup digemari. Metoda pendidikan ini diikuti oleh para mahasiswa, karyawan, eksekutif, bahkan ibu rumah tangga dan orang lanjut usia (pensiunan). Beberapa tahun yang lalu pertukaran materi dilakukan dengan surat menyurat, atau dilengkapi dengan materi audio dan video. Saat ini hampir seluruh program Distance Learning di Amerika, Australia dan Eropa dapat juga diakses melalui internet.

Studi yang dilakukan oleh Amerika, sangat mendukung dikembangkannya e-learning, menyatakan bahwa computer based learning sangat efektif, memungkinkan 30% pendidikan lebih baik, 40% waktu lebih singkat, dan 30% biaya lebih murah. Bank Dunia (World bank) pada tahun 1997 telah mengumumkan program Global Distance Learning Network (GDLN) yang memiliki mitra sebanyak 80 negara di dunia. Melalui GDLN ini maka World Bank dapat memberikan e-learning kepada mahasiswa 5 kali lebih banyak (dari 30 menjadi 150 mahasiswa) dengan biaya 31% lebih murah.

DIGITALISASI PENDIDIKAN:
Pemberdayaan atau Keharusan

Bagian ini kita akan melihat, apakah keberadaan teknologi-informasi bagi pendidikan merupakan suatu yang memberdayakan atau hanya pastas-pantasan (formalitas) saja untuk menegaskan bahwa sebuah lembaga pendidikan telah memiliki standarisasi kualitas yang baik.

Mengutip pernyataan di awal tulisan ini, Jacques Ellul – seorang filsuf Prancis ¬– mengemukakan bahwa “Manusia tidak bisa mengontrol dan mengatasi kemajuan teknologi. Hanya teknologi yang dapat mengontrol dan mengatasi dirinya sendiri.” Pernyataan itu menegaskan akan suatu efek yang dibawa oleh teknologi dengan berbagai variannya. Efek itu melahirkan implikasi etis, sosiologis, dan ekologis dari kemajuan teknologi. Dan itu hanya dapat diatasi oleh teknik itu sendiri. Ini suatu fakta yang tak bisa kita pungkiri. Satu contoh yang dapat dikemukakan misalnya; untuk mengatasi persoalan tingkah laku siswa di kelas diperlukan teknologi baru untuk memantaunya apakah dengan CCTV atau lainnya. Sehingga teknik terus menerus maju untuk mengatasi kekurangan-kekurangan yang ada pada dirinya. Ia bergerak dengan sendirinya layaknya sebuah organisme.

Dengan pernyataan di atas, barang siapa yang menolak teknologi (antitechnology) pada akhirnya akan tersingkir dan tereliminasi dari dunia-kehidupan. Karena teknik adalah syarat bagi kehidupan. Namun demikian, Habermas –seorang filsuf dari Jerman– menegaskan bahwa kemajuan teknologi pada akhirnya akan menentukan kesadaran masyarakat modern. Self-understanding masyarakat modern tentang dunianya menurut Habermas dimediasikan oleh aprosiasi hermeneutis terhadap budaya teknologi yang bergerak secara teknologis. Ini memberikan sebuah asumsi bahwa jaring-jaring logika teknik kemudian menjadi determinan utama kesadaran. Aksi-intensi kemudian ditentukan oleh logika dan hukum yang berlaku dalam dunia teknologi.

Akibatnya, lanjut Habermas, pengejawantahan rasio melulu bersifat teknis, artinya dimensi praktis rasio adalah kegiatan produktif yang hanya mengungkapkan nilai-nilai efesien dan fungsional. Dimensi praktis rasio kemudian semata-mata dimengerti sebagai aplikasi teknis yang merupakan penerapan sains dan rasionalitas. Hal inilah yang kemudian menggejala dalam bentuk kontrol teknis terhadap alam. Akibatnya, tujuan utama pencerahan (emansipasi sosial) terlupakan. Ilmu pengetahuan kemudian semata-mata dimengerti sebagai mode atau cara bagaimana mengontrol dan memanipulasi alam. Inilah yang membuat masyarakat modern tenggelam dan terarahkan oleh dimensi teknis dari pengetahuan. Padahal tujuan utama pencerahan adalah emansipasi sosial yang terkait dengan kesadaran bahwa lewat pengetahuan kita dapat melepaskan diri dari segala dogmatisme dan kepicikan.

Perkembangan Teknologi-Informasi dalam ranah kehidupan, khususnya dunia pendidikan telah merubah wajah pendidikan kita menjadi sebuah teknologis sifatnya. Dan saya mengistilahkannya sebagai 'digitalisasi pendidikan', karena proses, prosedur dan mekanisme kerjanya berlangsung dalam sebuah dunia digital. Dengan segala kelebihan yang kita ulas di depan serta perkembangan-perkembangan yang menyertainya, kita patut berbangga bahwa proses pendidikan telah melaju sedemikian pesatnya hingga kita tak sempat lagi membayangkannya.

Namun satu hal yang tak bisa kita pungkiri bahwa digitalisasi pendidikan telah membawa kita pada suatu paradigma berpikir saintis (scientific paradigm) yang secara epistemologis ukurannya adalah empiris-logis-positivis. Manusia sebagai makhluk pembelajar (homo educandus) senantiasa ditekankan hanya pada wilayah penguasaan materi dan pengalaman empiris saja dari dimensi manusia yang kompleks. Sementara nilai-nilai etika kurang tersentuh bahkan menjadi elemen yang dianggap kurang penting. Tujuannya, manusia dalam konteks ini adalah manusia yang mampu menguasai banyak hal dan memiliki kemampuan yang mengesankan secara sainstis.

Salah satu yang menarik untuk kita kaji adalah banyak program atau software yang mampu mengalihkan teks-teks tertulis (apakah buku, kitab suci, dan lainnya) dalam bentuk digital. Sebuah program aplikasi Al-Qur'an digital misalnya, yaitu sebuah program teknologi yang mampu memanipulasi teks-teks Al-Qur'an ke dalam bentuk digital dan dapat diintegrasikan dengan perangkat teknologi seperti handphone, komputer dan lainnya. Ataupun sekarang kita juga sudah bisa membaca literatur-literatur klasik seperti kitab-kitab mu'tabarah (apakah tafsir, Hadis, fiqh dan lainnya) yang ditulis oleh para ulama-ulama awal Islam seperti para imam mazhab dalam bentuk software, seperti Maktabah al-Syamilah, Kutub al-Tis'ah, Jami'u al-fiqh al-Islami dan lainnya.

Hadirnya software-software seperti tersebut di atas, tentu melahirkan kontroversi. Misalnya ungkapan, "Apakah saya wajib punya wudhu' ketika kita membaca Al-Qur'an digital yang ada di HP saya?" "Bagaimana pula hukumnya, jika saya membaya HP saya ke Kamar Kecil atau WC jika HP saya ada Al-Qur'annya?" dan banyak lagi ungkapan-ungkapan senada lainnya.

Terlepas dari kontroversi di atas, bagi saya, hadirnya teknologi-informasi harus disikapi secara positif. Artinya bukan semata suatu keharusan formalitas, untuk mengatakan bahwa lembaga pendidikan kita berkualitas. Karenanya, kita harus menyadari betul perannya dalam konteks perubahan metode pendidikan saat ini. Dengan tanpa menghilangkan tujuan pendidikan bagi anak didik seperti baik yang tertuang dalam prinsip-prinsip ajaran agama ataupun dalam Tujuan Pendidikan Nasional. Di mana goals settingnya adalah pendidikan harus membantu anak didik menjadi manusia. Singkatnya, pendidikan itu pada akhirnya harus merupakan proses pembebasan, pemberdayaan, dan pembudayaan.

Ada suatu contoh menarik di SMP Alternatif Qaryah Thayyibah, sebuah sekolah di Salatiga, Kalibening, yang dianggap sebagai salah satu tujuh keajaiban dunia. Sekolah ini merupakan lembaga pendidikan berbasis komunitas dengan mengembangkan sistem pendidikan "yang berbeda" dengan sistem konvensional lainnya. Salah satu yang nampak adalah penggunakan teknologi-informasi seperti jaringan internet sebagai sumber ajar sekaligus komunitas belajarnya. Para siswanya memang diakrabkan dengan perangkat tersebut. Karena dalam pemikiran pengelolanya, Bahruddin, pendidikan itu harus disesuaikan dengan karakter jaman dan tuntutan kebutuhan. Salah satu landasan yang dijadikan pijakannya adalah kata-kata Sayyidina Umar : "Addibu auladakum bighairi tarbiyatikum fainnakum khuliqu lizamanin ghairi zamanikum." (Didiklah anak-anakmu dengan pola pendidikan yang berbeda dengan pola pendidikan yang kalian dapatkan karena sesungguhnya mereka itu dilahirkan untuk jaman yang berbeda dengan jamanmu).

Belajar dari pengalaman SMP Alternatif Qaryah Thayyibah, yang patut kita renungkan adalah bagaimana membuat sistem yang baik bagi pendidikan, karena hal itu lebih penting ketimbang hanya menghias pendidikan kita dengan perangkat teknologi tanpa kita mampu menggunakannya, memamfaatkannya atau bahkan mengendalikannya. Letak kesuksesan pengembangan pendidikan kita bukan ditentukan seberapa banyak lembaga pendidikan itu menggunakan perangkat teknologi, tapi lebih pada seberapa signifikan peran perangkat teknologi tersebut dalam membantu anak didik kita menjadi manusia. Di sinilah kita perlu merenungkannya !

1 komentar:

  1. Bagus sekali artikelnya, meski pembelajaran jarak jauh masih belum begitu populer, untuk itulah mari kita mendekatkan jarak meski kita berada di tempat yang jauh. Salah satunya dengan menggunakan teknologi agcyber yang memungkinkan melakukan pertemuan atau pembelajaran seperti layaknya kita bertatap muka meski kita ada di belahan dunia manapun. Sebagai pelengkap wawasan kunjungi blog kami di www.agmeet.co.cc/

    BalasHapus