04 Februari 2009

BEYOND COSMOLOGY:Wajah baru Agama di Barat

“Satu dari kecenderungan-kecenderungan zaman kini yang sangat mengherankan dan tak dapat diramalkan adalah: pertanyaan kembali (the asking) masalah Allah dari dalam orbit pembicaraan ilmiah mengenai alam semesta” (Peter, Cosmos as Creation, Theology and Science in Consonance, Nashville, 1990)

“….apakah anda seorang agamis ? No, jawab Jody Poster, aku seorang moralis.” (Itulah sebuah cuplikan dialog dalam film Contact yang merupakan usaha saintis dalam mencari Tuhan).

Tak jarang, agama sering dikonfrontasikan dengan sains dan kosmologi dalam konsepsinya, apakah ia terjadi harmonisasi atau sebaliknya, mengantarkan pada sebuah asumsi bahwa apakah benar kemajuan sains dan teknologi merupakan ancaman bagi agama. Atau bagaimana menjelaskan bahwa sering orang yang beragama mencurigai sains dan teknologi yang cenderung untuk menolak agama sebagai sesuatu yang tidak relevan? Sikap konfrontatif atau kecurigaan ini tentu didasarkan pada pengetahuan yang minim dari pengetahuan dan kompetensi masing-masing mengenai yang terjadi dalam bidang riset ilmiah dan apa yang khas bagi monoteisme otentik.

Cerminan ini tergambar dari meluasnya faham rasionalisme yang dimotori oleh Rene Descartes dengan I think, therefore I am (cogito ergo sum) yang kemudian mengawali faham positivistik dalam perkembangan sains. Tentu saja faham ini telah membawa masyarakat abad pertengahan pada apa yang disebut sebagai jaman pencerahan dan pada proses selanjutnya mencetuskan revolusi besar di Eropa baik Prancis dan Inggris. Arus rasionalisme ini sebagai paradigma dalam sains (the old story of science) membentuk kaidah-kaidah ilmiah yang menitikberatkan pada kebenaran ekprementasi, keteraturan, dan keajekannya. Kosmologi sebagai sebuah ilmu yang focus pada persoalan kosmos baik kaitannya dengan yang macro ataupun yang micro mengambil proses sainstis sebagai landasan metodologisnya. Sehingga muncullah beberapa teori dalam bidang ini seperti The Big Bang (teori Dentuman Besar), The Large-Number Hypothesis, dan The Anthropic Principle.

Akhir-akhir ini konsep awal tentang kosmologi klasik itu, telah mendapat sorotan yang tajam sekaligus kritik. Terutama dari The New Story of Science, atau visi ilmiah post-modernisme. Munculnya buku seperti Return to Cosmology adalah sebuah jawaban atas persoalan itu, merehabilitasi konsepsi klasik tentang kosmologi. Subjudul dari buku itu yang bertitel: Post-modern Science and the Theology of Nature adalah suatu pandangan ilmiah (dalam bidang sains) yang rasional bahwa bagaimana alam semesta lahir dan berkembang bagi sains sendiri hanya mendapatkan jawaban yang abstak saja. Tentu makna signifikansi atau tujuannya alam semesta ini harus dielaborasi dengan konsep agama. Kecenderugan baru ini tidak hanya merupakan suatu usaha kompromis antara sains di satu sisi dengan agama pada sisi yang lain. Tapi suatu kecenderungan baru tentang kegelisahan manusia modern tentang makna spritualitas agama. Seorang William D. Philips, 53 tahun, pemenang hadiah Nobel bidang fisika pada 1997. Philips dan keluarganya adalah pemeluk teguh Kristen. "Iman saya bukannya tak rasional, tapi jelas tak ilmiah, karena tak dapat difalsifikasi," tuturnya. Jelas persoalan ini tidak sederhana, apa yang diramalkan oleh Sayyed Hossen Nars dengan krisis spritualitas manusia modern semakin menemukan legitimasinya pada dekade ini. Krisis ini, meminjam istilah Capra (seorang fisikawan kuantum), adalah akibat kesalahan berpikir peradaban dunia (terutama Barat) dalam menggunakan paradigma, budaya yang disusun saat ini hanya menggunakan satu paradigma; paradigma sains (Scientific Paradigm). Sehingga, lanjut Capra, peradaban Barat telah terpuruk, penuh kontradiktif, dan hancur. Mereka tidak mengembangkan suatu paradigma holistik.

KOSMOLOGI:
mitos, rasionalisme, dan kecenderungan-kecenderungan baru

“The most incomprehensible thing about the universe is comphesible”
(Albert Einstein)


Sebagai suatu ilmu, kosmologi merupakan suatu cara atau metode manusia untuk memahami alam semesta. Lebih dari itu, Kosmologi dalam istilah Yunaninya kosmos; susunan, atau juga: ketersusunan yang baik. Lawannya adalah khaos; keadaan kacau balau. Pengertian istilah kosmologi ini dalam perjalanan sejarah, baik masa awal (Ancient; Yunani) sampai sekarang, telah mengalami suatu paradigma. Pergeseran paradigmatik ini merupakan suatu revolutionary science dari angan-angan masyarakat Yunani yang memperdebatkan wilayah mitos dan logos.

Masyarakat Yunani adalah sebuah masyarakat yang mempercayai dongeng-dongeng atau mitos. Mereka mempercayai kekuatan-kekuatan kosmos (alam semesta) dan menganggap manusia tak punya kuasa apapun untuk mengetahui fenomena-fenomena yang terjadi di alam, misalnya terjadinya hujan, gerhana matahari, ataupun munculnya perasaan takut dan cemas karena hidupnya merasa terancam oleh alam sekitarnya. Wacana ini terjadi sebelum abad VI SM.

Sekitar abad VI SM. Muncullah para pemikir yang merespon wacana mitos itu dengan mulai mengajukan logos sebagai jawabannya. Mereka berupaya memecahkan misteri yang ada di alam semesta ini dengan menolak mitos-mitos itu. Usaha ini nampak pada apa yang dilakukan oleh para filsuf Pra-Socrates, seperti Thales, Anaximenes, Anaximander dan lainnya. Mereka ini disebut sebagai filsuf alam. Mereka mencari arche (asas pertama) yang merupakan asal mula dari segala realitas yang ada. Menurut mereka ‘alam’ adalah Physis. Istilah yang dirujuk adalah universe yang menunjuk pada keseluruhan benda, segala sesuatu yang ada, bumi, matahari, bintang dan isi-isinya. Pandangan ini berawal dari berbagai pandangan, tepatnya pada tahun 140 SM, terutama konsepnya Ptolomeus yang menguasai pemikir kaum intelektual abad pertengahan tentang bahwa bumi itu merupakan sebuah bola yang tetap di tengah-tengah benda-benda. Ini merupakan pandangan yang geosentrik tentang alam. Kemudian seorang Copernicus, pada abad ke 16, mengajukan suatu pandangan yang heliosentrik (yang berpusat pada matahari).

Para filsuf awal ini telah mengawali suatu masa baru dalam narasi pemikiran Barat khususnya pada abad ke-17 yaitu ketika ilmu-ilmu sains berkembang melalui ekprimentasi-ekprementasi yang akhirnya menjadi suatu usaha ilmiah yang serius. Adalah Descartes, Locke, Hume dan Kant sebagai filsuf yang tak dapat dipisahkan dari fenomena ini. Mereka adalah pioner dari rasionalisme dan empirisme. Pengetahuan bagi mereka harus bersifat pasti dan bersifat analitis a priori (Descartes), a posteriori dan sintetis a posteriori (Locke dan Hume), dan a priori a posteriori (Kant). Metode berpikir ini mempengaruhi cara pandang dunia, termasuk juga dalam kosmologi. Munculnya fisikawan seperti Isaac Newton dengan karyanya Principia yang berisi teori gravitasi. Dalam pandangannya, Jagad raya ini tak terbatas dan besarnya tak-berhingga; sebab kalau ia terbatas, bintang dan galaksi yang ada di tepi akan merasakan gaya tarik gravitasi dari suatu sisi saja, yaitu ke arah pusat alam semesta, sehingga lama kelamaan benda-benda langit itu akan mengumpul di sekitar pusat tersebut. Lebih dari itu, alam tidak hanya tak-berhingga besarnya dan tak terbatas, tetapi juga tidak berubah keadaannya sejak waktu tak-berhingga lamanya yang telah lampau sampai waktu tak-terhingga lamanya yang akan datang. Sebab materi itu kekal adanya. Apa pun reaksi yang dialaminya, kimiawi atau fisis, massanya tak pernah hilang atau paling akan berubah menjadi energi yang setara. Konsepsi ala Newton ini, kemudian diperluas lagi oleh Lavoisier (sekitar akhir abad ke-17) dan Einstein (pada masa sekarang) menjadi kekekalan massa dan energi atau kekekalan materi.

Dalam tahun 1929 terjadi peristiwa penting yang menjadi permulaan dari pergeseran pandangan fisika tentang penciptaan alam, yang mengubah secara radikal konsepsi para fisikawan mengenai munculnya jagad raya. Sebab dalam tahun itu Hubble, yang mempergunakan teropong bintang terbesar di dunia, melihat galaksi-galaksi di sekililing kita, yang menurut analisis pada spektrum cahaya yang dipancarkannya menjauhi kita dengan kelajuan yang sebanding dengan jaraknya dari bumi; yang terjauh bergerak paling cepat meninggalkan kita. Kejadian ini merupakan pukulan berat bagi Einstein, karena observasi yang dilakukan oleh Hubble itu menunjukkan bahwa alam kita ini tidak statis, melainkan merupakan alam yang dinamis seperti modelnya yang pertama.

Perdebatan sekitar teori jagad raya tersebut mendorong suatu kecenderungan baru dalam wilayah kosmologi. Kosmologi selain masih konsisten dengan sense of science nya pada wilayah yang lain terdapat dimensi metafisisnya yang spritualis. There is no physics without some metaphysics (tidak ada fisika tanpa metafisika) kata Max Planck. Terutama ketika narasi besar post-modernisme yang mendekonstruksi segala wacana modernitas, maka perbincangan mengenai kosmologi saintis an sich tidak memadai untuk menjawab kompleksitas persoalan yang muncul.

Kecenderungan baru ini sebenarnya terjadi karena adanya sebuah spektrum yang melanda cara berpikir (the way of thought) post-modernisme yang berbeda dengan cara berpikir modernisme. Seperti diketahui, manusia klasik dari modernitas bukan bagian kodrati dari alam semesta. Dia adalah majikan dari alam semesta, tetapi bukan suatu bagian dari alam semesta. Misalnya, Teilhard de Chardin mengatakan bahwa Personalisme Barat pada umumnya bersifat a-kosmis (alfa negatif). Juga manusia modernitas tertutup di dalam imanensinya, tanpa keterbukaan terhadap transendensi. Subjek manusiawi dari modernitas itulah yang didekonstruksi, dalam trend filosofis post-modern tertentu (Deleuze, Derrida, Foucault dll.) Sebaliknya visi baru mengenai alam semesta, popularitas baru dari kosmologi, The New Story of Science dengan keterbukaan barunya terhadap dimensi religius dan metafisik manusia. Dengan upaya de-konstruksi ini dapat dilahirkan suatu bentuk manusia yang berharmoni dengan alam semesta.

‘KOSMOLOGI BARU’:
antara logika saintis dan persoalan spritualitas agama

Pada awal 1980-an, gelombang baru muncul. "Kini teologi dan sains memasuki sebuah hubungan baru," kata Robert John Russel, fisikawan yang kemudian menjadi ahli teologi, pendiri Center for Theology and Natural Sciences di Berkeley pada 1998. Alih-alih mendepak faktor iman dan spiritualitas, temuan-temuan sains yang ada justru membuat iman mereka semakin mendalam. Kosmologi big-bang, misalnya, kini membawa para ilmuwan pada kesimpulan bahwa di belakang penciptaan semesta terdapat sebuah desain dan tujuan.

Istilah ‘kosmologi baru’ adalah sebuah terma yang merujuk pada sebuah spektrum baru dalam pemikiran ‘alam’ yang meletakkan manusia sebagai titik sentralnya. Kesadaran inilah yang melahirkan sebuah kinds of types dari wajah sains baik itu yang berorientasi klasik atau baru (the new story of science dan the old story of science). Pergeseran paradigma ini dengan tepat digambarkan oleh Capra dalam bukunya The Turning Point: Science, Society, and The Rising Culture. Pergeseran itu, kata dia, pertamakali terjadi pada teori relativitas dan mekanika kuantum, yang kemudian dikenal dengan sebutan New Physics. Yang menarik dari analisa buku itu adalah sebuah kecenderungan baru tentang usaha pencarian kesejajaran antara pandangan-pandangan New Physics dengan agama.

Atas dasar itu pula suatu usaha yang serius juga dilakukan oleh Paul Davies, seperti yang ia tuturkan dalam bukuya The Mind of God; The Scientific for a Rational World. Buku ini merupakan salah satu bentuk upaya dalam memahami pikiran Tuhan dalam konteks rasionalitas. Dia mencoba mengekplorasi berbagai persoalan kosmos ini dengan mengolah pikiran-pikiran brilian mulai dari Newton, Einstein sampai yang lebih mutakhir Stephen Hawking dan Richard Feynman. Akhir dari bahasan itu, Davies menyimpulkan bahwa “dengan menggunakan sains kita dapat memahami apa yang menjadi maksud pikiran Tuhan”.

Kegelisahan yang menimpa manusia modern ini, merupakan suatu bentuk penolakan yang keras terhadap berbagai fenomena yang melanda dunia saat ini, di mana seluruh persoalan saintis hanya memberikan tawaran yang a cosmis. Meminjam deskripsi yang ditulis oleh Capra bahwa, awal dua dasa warsa terakhir abad ke-20, banyak kita ditemukan diri kita dalam suatu krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks dan multi dimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan hidup, hubungan sosial, ekonomi, teknologi, dan politik. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spiritual; suatu krisis yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia.

Untuk mengatasi hal itu, maka menjadi penting melibatkan spritualitas agama sebagai salah satu solusinya. Bahwa keintiman dialogis antara sains dan agama harus segera dikumandangkan. Hal senada juga diberikan oleh John Polkinghorne dalam One World, the interaction of Science and Theology (1987), Science and Creation (1988), dan Science and Providence (1989). Dalam buku-buku ini, Polkinghorne menekankan adanya sebuah suasana dialogis yang sangat intensif, dan keduanya saling mendukung satu sama lain. Atau juga apa yang ditulis oleh Griffiths, seorang pastor Benedictine di Tamil Nadu, India, dalam A New Vision of Reality: Western Science, Eastern Mysticism and ChristianFaith (1989). Dalam buku ini ia mengelaborasi secara mendalam apa yang disebut perkembangan baru sains dalam biologi, teori evolusi, alam material dan kesadaran, dibandingkan dengan ajaran tradisional agama Hindu, Buddha, Islam dan lebih-lebih Kristen.

Beberapa diskripsi ini mengantarkan kita pada suatu pemahaman yang jelas tentang suatu orientasi sekaligus usaha manusia modern untuk membangun suatu paradigma baru dalam wajah kosmologi. Yang tentunya seperti dicatat oleh Greg utomo arus kosmologi baru ini mencirikan dirinya, pertama, Kosmologi masuk menjadi objek kajian dalam dunia sains. Kedua, makna dan nilai religius dari kosmologi menemukan pendasaran empiris dan ekprementalnya.

DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996.

Baiquni, Ahmad, “Filsafat Fisika dan al-Qur’an”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 4, Vol.1.1990/1410 H., p. 4-12.

Bakker, Anton, Kosmologi & Ekologi; Filsafat Tentang Kosmos Sebagai Rumah Tangga Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Brouwer, M.A.W. dan M.P Heryadi, B.Ph. Sejarah Filsafat Barat dan Sezaman, Bandung: Penerbit Alumni, 1986.

Davies, Paul, The Mind of God; The Scientific for a Retional World, New York: Touchstone, 1993.

Delfgaauw, Bernard, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992.

Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban, Yogyakarta: Bentang Budaya, 1997.

Hampshire, Stuart, The Age of Reason; The 17th Century Philosophers, New York:
Mentor Books, cet. V, 1960.

Hoodbhoy, Parvez, Ikhtisar Menegakkan Rasionalitas; Antara Sains dan Ortodoksi Islam, Bandung: Mizan, 1992.

Kuhn, Thomas, The Structure of Scientific Revolution, Chicago: The University of Chicago Press, 1962.

Laeyendecker, L., Tata, Perubahan, dan Ketimpangan; Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, Jakarta: Gramedia, 1991.

Leahy, Louis, “Dimensi Kosmologis dari Post-Modernitas (Wawancara dengan Pater A. Brotodarsono, S.J)” dalam majalah Basis, Desember 1993, p. 459-462.

Lechte, John, 50 Filsuf Kontemporer; dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Nasr, Sayyed Hossen, Krisis Manusia Modern, Bandung: Mizan, 1990.

Nolan, Titus Smith, Persoalan-Persoalan Filsafat, diterj. dari Living Issues in Philosophy, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

Rahman, Budhy Munawar, “New Age: Gagasan-Gagasan Mistik-Spritual Dewasa ini” dalam Muhammad Wahyuni Nafis (ed) Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, Jakarta: Paramadina, 1996.

Soetomo, Greg, Sains & Proablem Ketuhanan,Yogyakarta: Kanisius, 2000

1 komentar:

  1. Ketika aku masih kecil, ketika aku baru tersadar kalau aku baru saja terlahir sebagai manusia di dunia ini, otakku pun dipenuhi dengan pertanyaan.

    ini adalah sungguh sebuah keajaiban, aku bisa bergerak, aku bisa berfikir dan lain sebagainya sedangkan benda mati seperti batu tidak sepertiku, begitu juga binatang dan tumbuhan yang tidak sesempurna manusia.

    hidup begitu indah, hidup adalah sebuah anugerah yang tak ternilai harganya. aku mempunyai perasaan, aku bisa berfikir, aku hiduuuup.....

    namun hidup ini hanyalah sementara, semua orang akan mati, sayang sekali rasanya bila aku yang bisa berfikir dan hidup ini suatu saat akan lenyap dimakan usia dan waktu. entah bagaimana rasanya ketika ajal menjemput.

    hidup ini terasa sangat indah dan ajaib terlebih jika kita ingat kalau hidup ini hanyalah sementara. seandainya hidup itu abadi mungkin hidup tak akan terasa indah dan spesial sama seperti udara yang mudah kita dapatkan, kalau begitu hidup akan terasa biasa saja.

    itulah hidup, dalam hidup ini ada rasa senang dan sedih, suka dan duka. namun suka tak mungkin ada tanpa duka, duka tak mungkin ada tanpa suka. jika dalam hidup ini tak ada suka duka maka semua akan menjadi netral yang tak jauh beda dengan kehampaan, ketiadaan atau kematian.

    suka dan duka bagaikan gelap dan terang. semakin gelap dunia maka cahaya akan tampak semakin terang, semakin terang cahaya makan kegelapan tampak semakin pekat.

    hidup ini betul2 penuh dengan dikotomi hitam-putih, gelap-terang, benar-salah, pria-wanita, positif-negatif dan seterusnya. karena semua dilotomi itulah yang menyebabkan adanya kehidupan. tanpa adanya dikotomi tersebut dunia adalah sesuatu yang hampa.

    begitu juga perubahan, dunia ini tak akan ada tanpa adanya perubahan, bayangkan saja kalau semua dari dulu tak berubah, maka kehidupan itu tak akan mungkin ada.

    hidup adalah terlahir dari dikotomi hitam-putih dan perubahan. itulah nenek moyang kita. makan segala sesuatu di dunia ini tak luput dari perubahan, begitu juga hidup ini, cepat atau lambat pasti kita akan berubah menjadi mati.

    jangankan manusia, planet, tata surya dan bahkan galaksipun mempunyai umur. jangankan manusia yang sangat kecil dan berada dalam wadah galaksi, adalah hal yang sangat bodoh kalau ada manusia yang ingin hidup abadi. itu semua sangat jauh dari kemungkinan.

    maka dari itu tak ada alasan untuk takut mati. mungkin dalam taraf tertentu masih diperlukan seperti orang takut mati sehingga dia tidak terjun dari gedung.

    bagaimanakah alam semesta sebenarnya? sebenarnya kita tinggal di alam apa dan dimana ini?

    yang jelas dan pasti alam semesta ini memang ada, tak ada yang pernah menciptakan dan tak ada yang bisa memusnahkan atau melenyapkan. alam semesta abadi tak akan pernah lenyap namun alam semesta terus berubah. sesuatu yang tak pernah diciptakan dan tak pernah hancur adalah bisa diterima oleh akal sehat manusia. contohnya adalah sebuah atom, anggaplah atom itu adalah benda terkecil walaupun sangat tak masuk logika kalau benda terkecil itu ada di dunia ini.

    bayangkan saja, alam semesta tak mempunyai batas. tinggi setinggi tingginya, lebar selebar lebarnya, luas seluas luasnya. kita menginjak sebuah planet, planet mengelilingi matahari, matahari mengelilingi galaksi bima sakti, bima sakti, andromeda, orion dan lain2 mengelilingi apa lagi? sepertinya begitu seterusnya dan tak ada batas. jadi keatas tak ada batas, lalu bagaimanakah dengan kebawah?

    kebawah ada atom, dibawahnya ada elektron dan lain sebagainya. bayangkan saja seandainya jauh diatas galaksi bima sakti ada lagi banyak buletan dan ada manusia yang sangat besar, seperti apakah dia melihat kita? dia tidak akan bisa memikirkan keberadaan kita karena dia melihat partikel terkecil sebagai matahari kita. sama seperti kita melihat atom. bayangkan saja berapa perbandingan ukuran tubuh manusia dengan matahari. manusia raksasa tersebut tak pernah dan tak bisa memikirkan kalau ada manusia sekecil kita.

    begitu juga kita, seberapa kecilkah benda terkecil itu? jawabannya adalah sekecil dan sehalus pikiran manusia. kenapa? karena benda terkecil itu hanyalah ada di piliran manusia. sesungguhnya dilihat dari segi logika tak ada batas. di dalam alam semesta ini sama sekali tak ada ruangan kosong, dalam udara ternyata ada oksigen, di luar angkasa ternyata dipenuhi kosmik dan eter.

    makan jika benda atau partikel terkecil itu ada maka alam semesta akan kaku dan tak dapat bergerak dan tak dapat berubah atau menjadi mati. memang terdengar konyol, namun masuk di logika. dunia ini adalah sebuah ilusi, dunia sangat halus hanya saja benda2 tertentu terlihat padat.

    kembali ke persoalan kekekalan alam. alam tak pernah ada yang menciptakan dan tak akan ada yang pernah bisa melenyapkannya. jika ada paling2 hanya sebatas dirubah menjadi bentuk lain. seandainya saja alam semesta ini ada yang menciptakan dengan suatu kekuatan, makan pencipta tersebut pasti hidup di sebuah alam dan alam tersebut siapa yang menciptakan?

    sama seperti kekekalan energi, energi tak bisa diciptakan dan tak dapat dimusnahkan namun energi bisa dikonversi. sesuatu yang dikonversi sering kita lihat sebagai sesuatu yang musnah.

    apakah begitu juga halnya dengan hidup? apakah kesadaran ini adalah sebuah zat yang berbeda dimensi dengan benda fisik?jika iya, atau dengan kata lain kalau roh memang ada berarti roh itu bersifat abadi dan reinkarnasi dapat diterima secara logika. stock kehidupan adalah itu2 saja. sama seperti atom dia hanya berubah wujud dan komposisi.

    dunia ini tak bisa dipikirkan, tak masuk logika. sama sepertu menelan air laut. katanya semakin diminum maka kita akan semakin haus. begitu juga alam semesta, semakin dipikirkan dan diperjelas maka dia akan semakin kabur. jadi hiduplah tetap di duniamu yang penuh dengan batas. alam semesta tak usah dipikirkan, alam semesta menyesatkan dan hanyalah sebuah ilusi. yang nyata adalah kematianmu.

    so, just enjoy your life, gak usah berfikir macem2,

    hiduplah menjadi manusia biasa,

    kejarlah keinginan dan cita2

    nikmatilah hidup ini,

    hidup adalah sebuah kesempatan, manfaatkanlah sebaik2nya

    dont miss it

    BalasHapus