PENDAHULUAN
MEMBICARAKAN citra perempuan di dalam al Qur’an sebenarnya tidak cukup hanya menelaah tema ayat-ayat yang ada di dalam al Qur’an tapi juga harus melacak hidden story (sejarah tersebunyi) dibalik ayat-ayat itu. Dengan berupaya mendeskripsikan data-data historis baik itu pra-Islam (masa jahiliyah) sampai sekarang. Langkah ini adalah sebuah usaha untuk merujukkan ayat-ayat itu dengan konteksnya.
Seperti kita saksikan bahwa sejarah perempuan (history of women) adalah sejarah kelabu kemanusiaan yang selalu dirundung penindasan dengan dalih budaya, ekonomi, etika bahkan agama. Sejarah ini memperburuk citra perempuan dalam pentas peradaban sehingga orang seakan-akan menganggapnya sebuah “kodrat” yang mesti demikian alur ceritanya. Begitu dahsyatnya citra perempuan sampai-sampai dalam mitos keagamaan dikatakan bahwa perempuan adalah penggelincir nabi-nabi. Ingat kisah nabi Adam dan Hawa, Yusuf-Sulaikha, Sulaiman-Bilqis dan sebagainya. Ini artinya bahwa, perempuan adalah jenis manusia penggoda, hiasan, dan pelengkap penderita. Dan sisi lain kondisi objektif ini melahirkan bentuk partriakhi, sebuah dominasi laki-laki yang determinan terhadap perempuan yang termarginalkan.
Salah satu kondisi yang relevan di sini adalah data sejarah perempuan pra-Islam di Arab. Di mana posisi perempuan menempati wilayah yang sangat terpuruk. Setiap anak-anak perempuan yang lahir dianggap aib dan harus dibunuh. Motivasi ini didasarkan pada dua hal; (1) kemiskinan, (2) ketakutan menjadi malu. Selain itu, seorang laki-laki dapat menikah hingga 100 perempuan. Para istri akan menjadi warisan ketika suaminya meninggal, mengurung mereka hingga mereka memiliki harta yang dapat dipertukarkan dengan kebebasan, atau menikahkan mereka dengan laki-laki lain dan mendapatkan mas kawin. Perempuan tidak diijinkan mewarisi, menyuruh mereka terjun ke prostitusi. Perempun hanyalah menjdi komoditi untuk meraih kenikmatan dan keuntungan.
Dalam kondisi demikian, Islam lahir sebagai seorang pahlawan. Tatanan sosial yang sudah mendarah daging itu didekonstruksi dengan menuansakan nafas-nafas profetis. Nabi Muhammad tak henti-hentinya meneriakkan kebebasan di antara ummatnya.
Selanjutnya bagaimana dengan nasib perempuan ? Apa sebenarnya peran Islam khususnya al Qur’an dalam pencitraan selanjutnya? Bagaimana al Qur’an melukiskan mereka dalam bait-bait ayat-ayatnya? Dan bagaimana realitas sejarah perempuan sekarang? Itulah mungkin beberapa pertanyaan yang cukup penting.
Peran Islam dalam Pencitraan Perempuan
Setelah Islam mulai bersinar di negeri Arab, dengan diprakarsai oleh Nabi Muhammad, agama ini kemudian meniupkan angin segar kebebasan bagi masyarakat Arab. Dengan perjuangan yang amat panjang dan melelahkan, akhirnya Nabi Muhammad dapat membangun sebuah peradaban Madani yang berlandaskan nilai-nilai Qur’ani dengan semangat kemanusiaan yang tinggi.
Pada awal perjuangannya kita banyak mengenal keterlibatan perempuan seperti istri beliau Khatijah binti Khwailed, dan juga yang tercatat oleh sejarah juga adalah Suhur binti Lukman dan Jum’a binti al Habis al Ayadi, dan juga para ksatria perempuan yang menemani Nabi berjuang; Naseebah al Maziniah dan Azdah binti el Harith binti Kanadah. Atau penyair perempuan terkenal di antaranya al Khansa dan Um Jandad.
Peran perempuan yang begitu besar ini, telah memberikan sebuah paradigma baru sekaligus image yang berbeda 180 % ketimbang masa sebelumnya. Inilah salah satu gebrakan yang dilakukan oleh Nabi dalam mengemban misi profetisnya. Libration, trancendental, dan humanization.
Perempuan dalam Ayat-Ayat al Qur’an
Pelebelan (streotype) perempuan di dalam al Qur’an selalu terangkai dengan laki-laki. Rangkaian-rangkaian ini mengindikasikan bahwa adanya unity baik laki-laki maupun perempuan. Mengapa demikian? Itulah salah satu persoalan yang ingin dijawab disini, bahwa berbicara tentang perempuan tidak bisa dilepaskan dengan eksistensi yang lain, ada sebuah hubungan yang jalin berkelindan disini. Ungkapan نفس وحدة(an-Nisa’:1) merupakan rangkaian yang sangat kuat antara laki-laki dan perempuan di mana kata nafs dikonotasikan pada adam. Ini artinya bahwa penyatuan diri perempuan dalam laki-laki itu merupakan penyatuan karakter maskulinitas yang ditubuhkan pada laki-laki dan feminimitas yang dijiwakan dalam diri perempuan. Dan penyatuan ini dalam tradisi mistisisme merupakan kajian yang menarik, karena Tuhan bagi mereka adalah penyatuan unsur yin dan yang atau jamil dan jamal.
Ayat-ayat yang tersurat di dalam al Qur’an yang berbicara tentang penciptaan perempuan adalah surat al-Hujurat:13:
يايها الناس انا خلقنكم من ذكر وانثى وجعلنكم شعوبا وقبا ئل لتعارفوا ان اكرمكم عند الله اتقكم ان الله عليم خبير
Ayat ini berbicara tentang asal kejadian manusia —baik laki-laki dan perempuan— sekaligus berbicara tentang kemuliaannya. Ayat yang sangat popular mengenai penciptaan itu adalah surat an-Nisa’: 1:
يايها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس وحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالا كثيرا ونساء
Dalam ayat di atas, banyak ahli tafsir yang kemudian mendiskriditkan Hawa (istri Adam). Bahwa ia dipandang sebagai bagian dari Adam. Al Qurthubi misalnya mengatakan bahwa Hawa itu diciptakan dari tulang rusuknya sebelah kira yang bengkok, karena itu perempuan bersifat ‘bengkok dan tidak lurus’. Penafsiran ini didasarkan pada sebuah hadis riwayat Tirmidzi dari Abu Hurairah. “Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok.” Padahal di dalam ayat yang lain, betapa begitu jelasnya al Qur’an mengatakan sekaligus menekankan persamaaan (equality) kedudukan antara Adam dan Hawa (QS. Al Isra:70):
ولقد كرمنا بنى ادم وحملنهم فى البر والبحر ورزقنهم من الطيبت وفضلنهم على كثير ممن خلقنا تفضيلا
Hal ini juga dipertegas oleh surat Ali Imran: 195 بعضكم من بعض Ayat-ayat yang tersebut seluruhnya menampakkan proses penciptaan manusia, baik laki-laki dan perempuan sangat sejajar, tidak ada pemihakan dan diskriminasi.
Dalam ayat yang lain al Qur’an juga membicarakan mengenai hak-hak perempuan dalam wilayah hak domistik, belajar, dan berpolitik.
Ayat-ayat itu adalah an-Nisa’: 32 :
للرجال نصيب مما اكتسبوا وللنساء نصيب مما اكتسبن
Ayat ini menjelaskan hak-hak perempuan secara umum, menyangkut banyak hal. Yang secara khusus berbicara mengenai hak perempuan di luar rumah adalah surat al Ahzab: 33.
وقرن فى بيوتكن ولا تبرجن تبرج الجهلية الاولى
Ayat ini seringkali dijadikan penghalang bagi perempuan untuk keluar rumah. Al Qurthubi (w. 671 H) mengatakan “makna ayat di atas adalah perintah untuk menetap di rumah. Walaupun redaksi ayat ini ditujukan kepada istri-istri Nabi tetapi selain dari mereka juga tercakup dalam perintah tersebut” kemudian dia juga menambahkan “boleh keluar asalkan dalam keadaan darurat”. Pendapat yang sama juga dianut oleh, Ibnu Arabi (1076-1148) dalam kitabnya Ayat-ayat al Ahkamnya, al Maududi dalam al Hijabnya. Pandangan yang agak radikal diberikan oleh Sayyid Quthb dalam tafsir fi Zihilal al Qur’annya, ia menulis “arti waqarna dalam firman Allah itu, berarti ‘berat, mantap, dan menetap’, hal ini bukan berarti bahwa mereka (para perempuan) tidak boleh meninggalkan rumah. Ini mengisyaratkan bahwa rumah tangga adalah tugas pokoknya, sedangkan selain itu adalah tempat ia tidak menetap atau bukan tugas pokoknya”.
Di dalam hak berpolitik ayatnya yaitu surat an-Nisa’: 34:
الرجال قومون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما انفقوا من امولهم
Meskipun ayat ini masih terjadi kontroversi di antara mufasir. Terutama penafsirannya terhadap lafadl qawwamun. Misalnya, al Thabari menegaskan bahwa qawwamun adalah penanggungjawab (ahl al-qiyam). Itu berarti bahwa laki-laki bertanggungjawab dalam mendidik dan membimbing istri agar menunaikan kewajibannya kepada Allah atau pada suaminya. Ibn Abbas mengartikan qawwamun adalah pihak yang memiliki kekuasaan atau wewenang (musallathun) untuk mendidik wanita.
Al-Zamakhsyari menekankan bahwa kata itu berarti kaum laki-laki berkewajiban melaksanakan amar ma’ruf nahy al-munkar kepada wanita sebagaimana penguasa kepada rakyatnya. Rasyid Ridla mengartikan kata itu sebagai pemimpin tetapi cara yang ditempuh bukanlah pemaksaan melainkan bimbingan dan penjagaan. Dan Muhammad Asad mengartikan lafadl qawwamun sebagai to takefull care of (menjaga sepenuhnya) karena menurutnya, qawwamun adalah intensif dari qa’im. Dan menjagaan itu meliputi fisik maupun moral. Penafsiran terhadap ayat itu, sangat jelas bahwa posisi laki-laki atas perempuan dalam tafsir begitu superior. Konsekuensi logisnya, laki-laki otomatis berkewajiban untuk memimpim keluarga. Pendapat-pendapat ini kemudian dimentahkan oleh para mufassir modern dengan melihat bahwa ayat di atas tidak seharusnya dimakana demikian, apalagi konteks ayat di atas berkenaan dengan kehidupan rumah tangga.
Beberapa ayat yang dikemukakan di atas, setidaknya, telah meyakinkan kita bahwa begitu komprehensifnya al Qur’an menjelaskan proses kejadian manusia (baca: perempuan) sampai pada peran dan hak-hak yang dimiliki oleh seorang perempuan. Dan cukup tergambar dibenak kita sebuah profil ideal tentang sosok perempuan seperti yang dijelaskan diatas.
Persoalannya sekarang adalah jika pada proses penciptaannya telah terjadi proses yang berkeadilan, equality, justice dan undiscrimination, maka apakah demikian juga pada realitasnya? Jika memang ada differensiasi apa sebenarnya yang menghalangi proses perbedaan itu? Perempuan dalam pentas sejarah seakan-akan menjadi setangah manusia dan setengah hewan. Hak-hak, peran serta eksistensinya disembunyikan dalam arkeologi pengetahuan yang dominatif. Apa sebenarnya yang menyebabkan sistem sosial ini menjadi tidak seimbang? Dimana akar persoalannya?
Citra Perempuan:
Antara Kehendak Teks dan Konteks
Kita sependapat bahwa teks agama sebenarnya tidak pernah, dan takkan pernah mendiskrimiasikan jenis makhluk tertentu dari yang lainnya. Hal itu telah dibuktikan sendiri dengan ayat-ayat yang mengindikasikan ke arah sana. Bahwa dihadapan Tuhan semuanya sama yang membedakan adalah tingkat kualitas ketaqwaannya.
Teks-teks seperti yang telah dikemukakan di atas, ketika ‘dikonsumsi’ manusia menjadi sangat interpretable. Ada beratus-ratus bahkan berjuta-juta makna yang coba ditangkap. Sehingga kemudian muncullah ayat-ayat yang misoginis. Penafsiran al Qur’an yang bias gender. Salah satu contoh ayat yang ingin saya kritisi adalah: Persoalan mitos penciptaan Adam dan Hawa dan juga persoalan pemimpin perempuan dalam tradisi Islam.
Asal Usul Penciptaan Perempuan
Seperti yang telah dijelaskan di atas, ayat yang membicarakan penciptaan perempuan adalah surat an-Nisa’ : 1, yang dijelaskan bahwa perempuan, seperti yang telah ditemukan dalam tafsir-tafsir, merupakan bagian dari Adam. Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Sehingga kalau tidak ada laki-laki maka tidak ada perempuan. Penafsiran ini memunculkan anggapan the second creation dan kemudian the second sex.
Penguatan anggapan teologis ini, diakui atau tidak, membuat kesadaran terhadap mendominasinya bentuk partiarkhi dalam masyarakat (male dominated society). Pola hubungan ini semakin mengucilkan perempuan dalam posisi yang terjepit.
Mendominasinya unsur maskulinitas dalam setiap sektor kehidupan tidak saja berdampak pada ketimpangan pola relasi gender, melainkan juga berdampak pada lingkungan makrokosmos. Unsur maskulin yang mengandung unsur struggeling/qahriyyah berupa penaklukan, eksploitasi. Sedang unsur feminim yang bersifat nurturing/rububiyah berupa pengasuhan, pelestarian, kedamaian, kepedulian dan kelembutan.
Yang menjadi catatan di sini adalah, kita harus kembali menginterpretasi ulang ayat diatas (an-Nisa’ : 1) dengan menjadikan nafs wahidah/a single self sebagai kata kunci. Jika tidak, maka kita juga telah membuat diskriminasi ini semakin menemukan ‘taqdir’nya (menganggapnya sebagai taqdir).
Ayat tersebut masih terbuka peluang untuk didiskusikan, karena ayat ini menggunakan kata-kata bersayap (ambigu). Para mufassir masih berbeda pendapat tentang siapa sebenarnya yang dimaksud dengan ‘diri yang satu’, siapa pula yang ditunjuk pada kata ganti (dhamir) ‘dari padanya’ (minha), dan apa yang dimaksud ‘pasangan’ (zauj) pada ayat tersebut ?
Jika diteliti secara cermat penggunaan kata nafs yang terulang 295 kali dalam berbagai bentuknya dalam al Qur’an, tidak satupun dengan tegas menunjuk kepada Adam. Kata nafs kadang-kadang berarti ‘jiwa’ (Q.S. al Maidah: 32), ‘nafsu’ (Q.S. al Fajr:27), ‘nyawa/roh’ (Q.S. al-Angkabut:57). Kata nafs al wahidah sebagai asal usul kejadian terulang lima kali tetapi itu semua tidak mesti berarti Adam. Karena pada ayat lain, seperti Q.S. al Syura:11, nafs itu juga menjadi asal usul binatang. Kalau dikatakan nafs al wahidah ialah Adam, berarti Adam juga menjadi asal usul kejadian hewan dan tumbuh-tumbuhan?
Perhatikan sekali lagi ayat ini menggunakan bentuk nakirah ‘dari satu diri’ (min nafsin), bukan dalam bentuk ma’rifat (min al-nafs), berarti menunjukkan kekhususan lalu diperkuat dengan kata ‘yang satu’ sebagai sifat dari min nafsin. Semua ini menunjukkan kepada substansi utama (the first resource), yakni asal (unsur) kejadian Adam, bukan adam-nya sendiri sebagai secondary resourse. Sekiranya Hawa makluk pertama (dari tulang rusuk) maka niscaya manusia bukan diciptakan dari satu ‘nafs’ tetapi dari dua ‘nafs’ .
Oleh karena itu, konsep teologi yang mengganggap Hawa berasal dari tulang rusuk Adam, jika tidak ditolak, akan berimplikasi psikologis, sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Kalangan feminis menganggap kisah itu hanyalah simbolis yang perlu dimaknakan lain. Dan Fatima Mernissi cenderung melakukan kritik terhadap jalur riwayat (sanad), materi Hadis (matan), asal usul (sabab wurud) terhadap beberapa hadis yang memojokkan perempuan yang diistilahkannya sebagai hadis-hadis misogini. Di samping melakukan kajian semantik dan sabab nuzul terhadap beberapa ayat al Qur’an yang berhubungan dengan perempuan.
Kedudukan Perempuan; analisa kasuistik dan interpretasi
a. Pemimpin Perempuan
Surat an-Nisa’: 34 yang menjadi argumentasi sufremasi terhadap perempuan bahwa laki-laki itu menjadi pemimpin bagi perempuan, (seperti yang telah dijelaskan di atas) diperlukan sebuah penafsiran baru. Karena Ajaran al Qur’an dalam bidang kemasyarakatan berintikan pada doktrin persamaan dan keadilan. Karena itu hubungan laki-laki dan perempuan harus berdasar semangat ini.
Atas itulah, para pemikir kontemporer telah berupaya membangun sebuah metodologi baru, misalnya Fazlur Rahman. Menurutnya, ungkapan “laki-laki adalah qowwamun atas perempuan ….” bukanlah perbedaan hakiki melainkan fungsional. Artinya, jika seseorang istri dibidang ekonomi dapat berdiri sendiri, baik karena warisan maupun karena sendiri, dan memberikan sumbangan bagi kepentingan rumah tangganya, maka keunggulan suaminya akan berkurang karena sebagai seorang manusia ia tidak memiliki keunggulan dibandingkan dengan istrinya. Demikian juga dengan Amina Wadud Muhsin mengatakan ayat itu tidaklah dimaksudkan bahwa superioritas itu melekat pada setiap laki-laki secara otomatis sebab hal itu hanya terjadi secara fungsional, yaitu selama yang bersangkutan memenuhi kreteria al Qur’an: memiliki kelebihan dan memberikan nafkah. Dan ini jelas tidak hanya berlaku bagi laki-laki melainkan juga bagi perempuan. sementara itu menurut Asghar Ali Engineer, pernyataan al Qur’an itu, sesungguhnya merupakan pengakuan bahwa dalam realitas sejarah, kaum perempuan pada masa itu sangat rendah dan pekerjaan domestik dianggap kewajiban perempuan. Sementara laki-laki mengganggap diri sendiri lebih unggul karen kekuasaan dan kemampuan mereka mencari nafkah dan membelanjakannya untuk perempuan. al Qur’an menggambarkan situasi sosial ini. Yang perlu diperhatikan, menurutnya ialah bahwa al Qur’an hanya mengatakan “laki-laki adalah qawwamun (pemberi nafkah atau pengatur urusan keluarga) dan tidak mengatakan bahwa laki-laki harus menjadi qawwamun. Menurutnya, laki-laki adalah qawwamun merupakan pernyataan kontekstual, bukan normatif.
Karena itulah, ayat tersebut tidak bisa dijadikan dasar untuk menekankan superioritas laki-laki atas kaum perempuan. apalagi penggunaan kata hum dalam ba’dhahum, yakni kata ganti ketiga untuk kaum laki-laki, dalam al Qur’an sering digunakan untuk menujuk keduanya laki-laki dan perempuan.
b. Pembagian Warisan
Salah satu persoalan yang cukup krusial adalah mengenai prinsip kewarisan dalam Islam. Ayat yang dijadikan rujukan adalah surah an-Nisa' (05) : 176 yaitu:
..... فللذ كر مثل حظ الانثيين
"Dan jika mereka (ahli waris) itu terdiri dari saudara-saudara pria dan perempuan, maka bagian seorang saudara pria sama dengan bagian dua saudara perempuan "
Perbagai penafsiran terdahulu yang melakukan interpretasi terhadap ayat ini melahirkan prinsip hukum yang lebih cenderung memberikan porsi lebih besar terhadap laki-laki. Semangat ini oleh banyak pemikir kontemporer dilihat sebagai sebuah semangat yang tidak berkeadilan ketika dikaitkan dengan kondisi masyarakat sekarang. Joda al-Maula memberikan alasan: karena pada waktu kawin nanti anak laki-laki harus membayar mahar atau mas kawin dan harus memberi nafkah kepada isteri serta serta menyediakan perumahan lengkap dengan perabotannya. Sebaliknya anak perempuan (kalau nanti kawin) akan menerima mahar atau mas kawin dan nafkah serta perumahan dari suaminya. Meskipun anak laki-laki menerima bagian lebih besar daripada anak perempuan tetapi bagian yang diterima itu akan banyak dikurangi karena dia harus membayar mahar atau mas kawin, memberikan nafkah dan tempat tinggal kepada isterinya. Sedang bagian yang lebih kecil yang diterima oleh anak perempuan itu akan tetap utuh dan kalau dia kawin bahkan akan bertambah karena dia akan menerima mahar, nafkah dan perumahan dari suaminya.
Alasan tersebut mungkin dapat kita terima, tetapi bagaimana halnya kalau budaya masyarakat tidak lagi demikian. Misalnya, dalam masyarakat Islam Indonesia sekarang ini mahar atau mas kawin itu tinggal merupakan formalitas saja. Bentuknya tidak lagi berupa uang tunai atau benda berharga tetapi hanya seperangkat alat sholat, yang sama sekali tidak mahal. Selain itu, suami dan isteri sama-sama mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga: pangan, sandang dan papan. Dengan demikian maka hubungan antara yang memberi dan yang menerima, melainkan hubungan antara dua anak manusia yang sepakat untuk hidup bersama dan membina keluarga atas dasar gotong royong, masing-masing bekerja mencari nafkah untuk tegaknya rumah tangga. Dalam bentuk keluarga seperti itu, alasan yang dikemukakan oleh al Maula di atas mengapa anak laki-laki mendapat bagian dua kali lebih besar dari yang diterima oleh anak perempuan itu tidak relevan lagi.
Kalau penafsiran al Qur'an itu dilakukan secara menyeluruh, artinya dalam mengartikan suatu ayat harus dikaitkan dengan ayat-ayat al Qur'an yang lain, kiranya masalah itu dapat diatasi. Misalnya, dalam memahami surah an-Nisa' ayat 176, yang menyatakan bahwa anak laki-laki mendapatkan bagian dua kali lebih besar dari yang diterima oleh anak perempuan, itu dikaitkan dengan surat al-Nahl ayat 90 yang berbunyi: "Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berlaku adil dan berbuat kebajikan …" Tegasnya, kita diharapkan agar memamfaatkan akal atau nalar kita untuk menilai apakah suatu ketentuan hukum itu sesuai dengan semangat keadilan di tengah masyarakat di mana hukum itu akan diberlakukan.
Beberapa kasus di atas. Mengilustrasikan sebuah tarik menarik kepentingan antara makna teks disatu sisi dan keinginan konteks disisi yang lain. Dalam memutuskan problematika ini, tidak bisa tidak kita harus berupaya memahami apa yang menjadi semangat dari ajaran Islam itu sendiri yaitu semangat keadilan tanpa harus terjadi diskriminasi. (wa allu a’lamu)
Daftar Pustaka
Asad, Muhammad, The Message of the Qur’an, Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980.
Engineer, Asghar Ali, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terjemahan oleh Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, Yogyakarta: Bentang, 1994.
Al-Hibri, Azizah (ed.), “A Study of Islamic History; or How did We Ever Get Into This Mess?” dalam Women and Islam, Pergamon Press 1982.
Ibn Abbas, Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas, Abu Tahir ibn Ya’qub al-Fayruzabadi (penyunting), Beirut: Dar al Fikr, tt.
Al-Maula, Joda, Muhammad al-Matsal-u 'l-Kamil, Solo: AB Sitti Syamsiyah.
Muhsin, Amina Wadud, Wanita di dalam al Qur’an, terjemahan oleh Yaziar Radianti, Bandung: Pustaka, 1992.
Murata, Sachiko, The Tao of Islam. Albany, 1992.
Rahman, Fazlur, Tma Pokok al Qur’an, terjemahan oleh Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1983.
Rida, Rasyid, Tafsir al-Manar, Jilid 5, Beirut: Dar al-Fikr, 1973.
Sjadzali, Munawir, Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1997
Al-Thabari, Ibn Jarir, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayat al-Qur’an, jilid 14,Beirut: Dar al-Fikr, 1988,
Zamakhsari, al-Kasysyaf, jilid I, Beirut: Dar al-Fikr, 1977.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar