Diskursus cinta adalah tema abadi yang senantiasa tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Ia sesuatu yang fitri sekaligus manusiawi. Artinya, setiap dari kita mesti akan mengalami apa yang namanya cinta, entah mencintai ataupun juga dicintai.
Berbicara cinta dalam ranah remaja seringkali tema ini menjadi hal yang complicated (begitu jelemet) karena biasanya bercampur baur dengan dimensi lainnya, seperti nafsu birahi, fantasi-fantasi (auham) dan gejolak-gejolak yang sering kali destruktif. Pertanyaan mengenai apakah cinta (sebagai kata benda) dapat memotivasi seseorang meraih prestasi atau bahkan menjerumuskannya pada kegagalan adalah persoalan-persoalan yang sering menimpa para remaja kita ketika sedang menempuh pendidikannya. Di akui atau tidak, fakta atau fenomena sosial yang terjadi akhir-akhir ini begitu menggelisahkan kita semua khususnya dikalangan pelaku pendidikan. Berapa banyak kasus siswa/siswi dengan atas nama cinta merelakan kehormatannya demi “cinta” yang katanya fitri itu, atau atas nama “cinta” pula sering juga mereka putus sekolah untuk mengejar mimpi-mimpi sesaat. Yah.. begitulah cinta dimaknai, ditafsiri, dipraktekkan oleh mereka yang memuja cinta sekaligus menghempaskannya pada kuburan sejarah yang kelabu. Kita merenung, apakah itu yang namanya Cinta !
Memaknai cinta seperti di atas, tentu jauh api dari panggang. Cinta membutuhkan kesiapan, cinta membutuhkan mental kedewasaan, dan tentunya cinta membutuhkan pengorbangan. Karena cinta bukan barang biasa maka semestinyalah ia juga diperlakukan secara istimewa. Di antara kita, banyak yang mengartikan cinta hanya sebatas hasrat untuk memiliki pasangan jenis kita (baca: pacar). Ataupun yang lebih parah, cinta hanya untuk cipika-cipiki agar tampak bahwa kita saling mencinta. Dan ada banyak lagi hal-hal yang lainnya. Tapi menurut saya, cinta dalam pengertian itu adalah cinta dalam maknanya yang sangat umum –bahkan bisa jadi itu bukan cinta– makanya, pacaran atas dasar cinta demikian tidak jarang membunuh pemiliknya sendiri, menggagalkan cita dan masa depannya. Sementara cinta pada dimensinya yang dalam (substansial), senantiasa menginspirasi seseorang untuk melakukan hal-hal positif, berfikir logis ataupun memperkaya intuitifnya untuk lebih mengenal sesama atau bahkan mengenalkannya pada sang “pemilik hakiki” dari cinta itu sendiri; yaitu, Tuhan. Nah.. mungkin pada makna cinta yang kedua inilah, ia menjadi motivator untuk meraih prestasi dan cita-citanya. Kalaupun istilah “pacaran” harus ada, tentunya harus didasarkan pada model makna cinta yang kedua ini; mencerahkan (enlightment), menginpirasikan (inspiration), dan mencerdaskan.
Pacaran pada model cinta yang kedua, adalah ta’aruf dalam konteks Islam jika kaitannya dengan sesama makhluk. Ta’aruf dilakukan untuk penjajakan, saling mengenal. Tujuannya agar terjadi kehamonisan dan kebahagiaan dikemudian hari jika biduk rumah tangga telah terajut. Ta’aruf adalah solusi bagi kita untuk memastikan dan menguji cinta itu apakah cinta-birahi atau cinta-suci. Kita percaya bahwa cinta suci tak ada dibelakangnya nafsu kotor yang hanya biologis-oriented. Mengejar kenikmatan sesaat dan mengorbankan kebahagian abadi. Opini saya tentang pacaran yang membawa mashlahah pada prestasi harus dilihat dalam kontek cinta model apa yang dianutnya. Cinta madhhab birahi atau cinta madhhab ilahi/suci? Dimanakah cinta kita ![]
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus