FILSAFAT ABAD PERTENGAHAN
(FILSAFAT PATRISTIK DAN FILSAFAT SKOLASTIK)
FILSAFAT ABAD PERTENGAHAN
Istilah Abad Pertengahan merupakan istilah untuk menunjuk suatu jaman peralihan atau jaman tengah antara dua jaman penting sesudah dan sebelumnya; yakni Jaman Kuno (Yunani dan Romawi) dan Jaman Modern yang diawali dengan masa Renaissans pada abad ke-17.
Sejarah Abad Pertengahan dimulai kira-kira pada abad ke-5 sampai awal abad ke-17.
Peta Kronologis | ||
600 SM – 500 M Jaman Kuno Yunani-Romawi | 500 M – 1700 M Abad Pertengahan Dimulai tahun 476 M, yaitu masa berakhirnya Kerajaan Romawi Timur yang berpusat di Konstantinopel, berakhir 1492 penemuan benua Amerika oleh Columbus | 1700 M – SEKARANG Jaman Modern Masa Renaissans pada abad ke-17 |
Ciri Filsafat Abad Pertengahan
- Adanya hubungan erat antara Agama Kristen dan Filsafat. Dengan kata lain, filsafat Abad Pertengahan adalah filsafat Kristiani.
- Tema Filsafat Abad Pertengahan adalah hubungan antara iman yang berdasarkan wahyu-Ilahi dan pengetahuan yang berdasarkan kemampuan rasio-manusia.
- Dapatlah dikatakan bahwa Filsafat Abad Pertengahan adalah filsafat agama dengan agama kristiani sebagai basisnya.
Dua Jaman Penting Abad Pertengahan
Sejarah Abad Pertengahan dibagi menjadi dua jaman, yakni JAMAN PATRISTIK dan JAMAN SKOLASTIK
Jaman Patristik [Abad ke-2 sampai Abad ke-7]
Istilah "Patristik" (Patres, Latin) yang menunjuk pada Bapa-bapa Gereja, dan juga berarti pujangga-pujangga Kristen dalam abad pertama Masehi yang meletakkan dasar intelektual untuk agama Kristen. Dalam konteks saat itu, agama Kristen juga dihadapkan pada kebudayaan Yunani terutama pikiran-pikiran filosofis yang beredar dalam masyarakat. Di sinilah muncul pro dan kontra terhadap penerimaan filsafat. Karenanya, Jaman Patristik ditandai dengan usaha keras para Bapa Gereja untuk mengartikulasikan, menata, dan memperkuat isi ajaran Kristen serta membelanya dari serangan kaum kafir dan bid'ah kaum Gnosis. Menurut pendapat mereka, sesudah manusia berkenalan dengan Wahyu Ilahi yang tampak dalam diri Yesus Kristus, filsafat sebagai kecerdikan manusiawi belaka merupakan sesuatu yang berlebihan saja, bahkan suatu bahaya yang mengancam kemurnian iman kristiani.
Sebagai contoh, sebut di antaranya seperti;
1. YUSTINUS MARTIR melihat "Nabi dan Martir" Kristus dalam diri Sokrates. Dan dikenal sebagai Filsuf Kristen pertama.
2. TERTULIANUS mengatakan tidak ada hubungan antara Athena (simbol Filsafat) dan Yerussalem (simbol teologi ajaran kristiani).
3. ORIGENES berpendapat wahyu Ilahi adalah akhir dari filsafat manusiawi yang bisa salah. Orang hanya boleh mempercayai sesuatu sebagai kebenaran bila hal itu tidak menyimpang dari tradisi Gereja dan ajaran para rasul.
Kemudian pada abad ke-5, Augustinus muncul. Ajarannya yang kuat dipengaruhi oleh neo-Platonisme merupakan sumber inspirasi bagi pemikir Abad Pertengahan sesudah dirinya selama sekitar 800 tahun.
Tentang Augustinus
"Jiwa Resah Mendambakan Istirahat"
Kesan yang kita tanggap bagi seorang Agustinus bahwa hidup, berpikir, dan mencintai adalah satu kegiatan dalam iman. Dia dilahirkan di Tagaste tahun 354.
Agustinus muda adalah lelaki yang suka foya-foya dan menikmati kesenangan duniawi yang kelak perbuatannya itu dianggap sebagai "kebejatan nafsu daging", "kegilaan nafsu birahi yang liar". Yang khas dalam pandangan Agustinus adalah mengenai pengenalan diri adalah keterarahannya pada Tuhan:
"Aku mengenal diriku hanya di dalam terang kebenaran dari Dia, yang selalu mengenal (menciptakan) aku" Dengan iman, manusia dapat mengembangkan berbagai kemungkinan pengetahuannya. Begitu juga sebaliknya, dengan pengetahuan, manusia dapat meneguhkan imanya! Maka, "percayalah untuk bisa mengetahui, dan upayakanlah pengetahuan agar dapat percaya" (Crede ut intelligas, intellige ut credas).
Ajaran Mengenai Iluminasi
Ajaran ini terkait erat dengan penolakannya pada SKEPTISISME; yaitu suatu faham yang mengajarkan bahwa manusia tidak dapat mencapai kepastian pengetahuan. Dulunya, Agustinus menganut paham ini tapi kemudian menolaknya. Alasannya, memang tentang segala sesuatu di luar aku, aku bisa menyangsikan kepastiannya. Akan tetapi, dengan menyangsikan kepastian segala sesuatu, ada satu kepastian yang tidak dapat aku sangsikan lagi, yakni kepastian bahwa aku ini tengah menyangsikan segala sesuatu. Dengan kata lain, harus diterima bahwa pasti ada Aku yang tengah sangsi, keliru, bingung, ragu-ragu, dan seterusnya: "Jadi, kalau aku keliru, aku ada" (Si enim fallor, sum).
Atas dasar pemikiran di atas, Agustinus mengemukakan jalan menuju kepastian pengetahuan. Namun, bukan di luar, melainkan di dalam, pada batin atau jati diri manusia itu sendiri. Kata-katanya yang terkenal:
"Janganlah pergi ke luar, kembalilah ke dalam dirimu sendiri; di dalam batin manusia tinggal kebenaran" (noli foras ire, in te ipsum redi; in interiore homine habitat veritos).
Di dalam batinnya, manusia menemukan kebenaran-kebenaran yang niscaya dan berlaku di mana-mana. Kebenaran ini tidak berasal dari pengalaman inderawi, karena pengalaman indrawi sendiri mengandaikan adanya ide-ide tertentu. Pertanyaannya? Bagaimana kita bisa mendapatkan ide-ide mengenai sesuatu, tanpa tergantung pada pengalaman indrawi?
Manusia dapat mencapai kebenaran-kebenaran yang abadi dan sejati berkat terang (lumen, Latin) dari Allah. Karena dalam keyakinan Agustinus, manusia secara alamiah sudah terdapat suatu benih kebenaran yang tidak dapat padam atau mati. Inilah ajaran Agustinus tentang ILUMINASI.
Proses ilumniasi dapat dianalogkan dengan akibat yang dihasilkan Sang Surya pada penglihatan kita. Mata kita adalah daya / kekuatan manusia (yakni rasionya, di mana ada "benih kebenaran"), benda yang diterangi merupakan objek-objek pengetahuan kita, sedangkan Sang Surya sendiri adalah sumber kebenaran pengetahuan kita (Tuhan).
Dalam analog yang lain, Agustinus mengambil contoh dalam dunia pendidikan. Bahwa proses belajar-mengajar hanya mungkin karena adanya "dasar pengetahuan" atau "pengertian" dalam diri manusia. Ini tinggal dihidupkan saja dengan perkataan dan penjelasan bapak guru. Tindakan "menghidupkan" ini tentu sama sekali berbeda, misalnya, dengan sekedar "memberikan" pengetahuan seperti memberikan sebuah jeruk kepada seorang anak.
Jaman Skolastik [Abad ke-9 sampai Abad ke-14]
Para sejarawan filsafat membagi Jaman Skolastik ini ke dalam tiga periode;
- Periode Skolastik Awal (800-1200 M)
- Periode Skolastik Puncak (1200-1300 M)
- Periode Skolastik Lanjut/Akhir (1400 M)
Istilah Skolastik erat kaitannya dengan didirikannya banyak sekolah (schola, Latin) pada Abad Pertengahan. Namun dalam arti yang lebih khusus, kata "Skolastik" menunjuk pada suatu metode tertentu, yakni "metode skolastik". Dengan metode ini, berbagai masalah dan pertanyaan diuji secara tajam dan rasional, ditentukan pro-kontra nya untuk kemudian ditemukan pemecahannya. Karenanya, ciri filsafat skolastik adalah "tuntutan ke-masuk-akal-an dan pengkajian yang teliti dan kritis atas pengetahuan yang diwariskan".
1. Periode Skolastik Awal (800-1200 M)
Ajaran Agustinus dan neo-Platonisme banyak berpengaruh. Pada periode ini, diupayakan misalnya, pembuktian Tuhan berdasarkan rasio murni tanpa berdasarkan Kitab Suci. Tokohnya adalah ANSELMUS.
Selain para pemikir dari kristen, jangan pula dilupakan peran filosof Islam seperti IBN SINA dan IBN RUSHD. Keduanya berperan hebat dalam memperkenalkan pemikiran Aristoteles dan neo-Platonis sehingga juga mempengaruhi Abad Pertengahan. IBN SINA misalnya, berusaha mensintesiskan neo-Platonisme dan Aristotelianisme.
2. Periode Skolastik Puncak (1200-1300 M)
Filsafat Aristoteles memberikan pengaruh yang besar. Universitas-universitas pertama didirikan di Bologna (1158), Paris (1170), Oxford (1200). Pada periode ini pula, terjadi kontrontasi dua golongan rohaniawan (ordo) antara ordo Fransiskan (berorientasi pada filsafat Agustinus) dan ordo Dominikan (berorientasi pada filsafat Aristoteles).
Pada abad ke-13, terjadi sintesis besar dua khazanah pemikiran antara kristiani (ajaran Augustinus) dan filsafat Yunani (Plato, neo-Platonisme, dan Aristoteles). Tokohnya, Yohanes Fidanza (Bonaventura), Albertus Magnus, dan Thomas Aquinas. Hasil sintesis ini disebut Summa (keseluruhan, Latin).
- Periode Skolastik Lanjut/Akhir (1400 M)
Kepercayaan orang pada kemampuan rasio dalam memberi jawaban atas masalah-masalah iman mulai berkurang. Timbullah semacam keyakinan bahwa iman dan pengetahuan tidak dapat dipersatukan. Rasio tidak dapat mempertanggungjawabkan ajaran Gereja. Dan hanya iman yang dapat menerimanya. Kesalehan dan hidup mistik mendapatkan perhatian istimewa. Tokohnya seperti THOMAS A. JEMPIS. Dan muncul tokoh lainnya di Jerman, NICOLAUS CUSANUS. Ia menampilkan "Pengetahuan mengenai Ketidaktahuan" ala Socrates dalam pemikiran kristianinya: "Aku tahu bahwa segala sesuatu yang dapat kuketahui bukanlah Tuhan."
Setelah periode ini, filsafat mulai memasuki periode jaman modern yang diawali dengan jaman Renaissans, jaman "Kelahiran Kembali" kebudayaan Yunani-Romawi di Eropa.
Tentang Thomas Aquinas
Filsuf Sekaligus Teolog
Tidak dapat dibantah bahwa Thomas Aquinas adalah tokoh terpenting kala itu pada jaman Skolastik. Ia berjasa dalam memadukan secara orisinil pemikiran Augustinus dengan filsafat Aristoteles. Lewat sebuah ensiklik (surat edaran dari kepausan). Ajaran Thomas Aquinas dinyatakan sebagai dasar bagi filsafat kristiani dan wajib diajarkan pada semua sekolah filsafat dan teologi Katolik.
Menurut Thomas, iman dan akal budi tidak mungkin bertentangan karena keduanya berasal dari Allah. Maka baik teologi maupun filsafat pada akhirnya akan sampai pada kebenaran hakiki yang sama. Hanya saja keduanya menggunakan metode yang berbeda. Filsafat memulai penyelidikannya dari benda-benda ciptaan (dalam kawasan yang alamiah), dan dari sinilah dapat mencapai Allah. Sementara teologi justru sudah menerima Allah sebagai asal dan fundamen untuk penyelidikannya atas benda-benda alamiah. Maka, teologi memerlukan wahyu Allah.
Dengan beriman, ia dapat mencapai pengetahuan adikodrati yang disampaikan wahyu kepadanya (misalnya pengetahuan tentang misteri trinitas, inkarnasi, sakramen). Semua pengetahuan ini memang berada di luar batas-batas akal budi, namun sama sekali tidak boleh dikatakan bahwa pengetahuan itu bersifat irasional atau bertentangan dengan prinsip-prinsip akal budi, melainkan jauh melampaui dan mengatasinya. Dengan kata lain, semua pengetahuan yang berasal dari wahyu bersifat metarasional (meta, Yunani: sesudah, di atas).
- Periode Skolastik Lanjut/Akhir (1400 M)